“Tuhan, Saya tidak pernah meminta untuk lahir duluan. Saya
tidak pernah meminta jodoh saya untuk datang terlambat. Tapi apabila jodoh adik
saya datang terlebih dahulu, maka atas nama-Mu aku ikhlas dan ridho”
Air mata saya menetes padahal sekuat tenaga saya sudah
menahan diri untuk tidak terlalu terlarut dalam suasana yang memang syahdu sore
itu. Lantunan kecapi suling dengan tembang entah apa semakin memperparah
sesenggukan saya. Terbata-bata saya mengucapkan kalimat di atas. Kalimat yang
saya buat sendiri untuk kepentingan acara tersebut. Kalimat yang menggantikan
kalimat-kalimat yang sudah dipersiapkan oleh pihak WO. Kalimat yang menurut
saya sederhana tetapi syarat makna.
Adik saya akan menikah, dan kebiasaan dalam tradisi sunda
diadakan upacara langkahan sebelum upacara siraman apabila sang pengantin
ternyata lebih dulu menikah dibanding kakaknya. Sore itu saya dan adik saya
menggunakan pakaian tradisional sunda lengkap dengan bendo-nya (di jawa:
blankon). Duduk saling berhadapan dengan posisi saya duduk di atas dan dia
duduk di bawah. Adik saya meminta izin untuk menikah, melangkahi saya.
Sebetulnya apa yang dia ungkapkan adalah hal yang biasa.
Lumrah untuk didengar. Apalagi keputusan untuk dia menikah bukan keputusan yang
tiba-tiba. Dari awal saya setuju, jadi seharusnya tidak perlu upacara pelangkah
ini dilakukan. Orang tua saya yang bersikukuh, katanya ini semacam tradisi.
Semacam kebiasaan yang lazim dilakukan apabila adik akan melangkahi kakaknya.
Saya menyerah. Upacara pelangkah ini akhirnya saya lakoni.
Saya tidak ingin jadi bahan tontonan. Cukuplah saya dicibir
oleh orang-orang yang tidak pernah tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya.
Melakukan upacara tradisi yang disaksikan banyak orang hanya akan membuat saya
duduk di kursi pesakitan. Semakin mendapat tatapan belas kasihan. Padahal saya
tidak butuh itu. Saya bahagia, sangat bahagia karena adik saya berani
merealisasikan kebahagiaanya. Jadi tidak ada alasan untuk saya bersedih. Kalaupun
air mata saya sore itu tidak berhenti menetes itu semata-mata karena saya
sangat terbawa suasana. Suasana dikondisikan sedemikian rupa membuat saya
berulang kali seperti mengunyah hati.
Apa saya malu karena dilangkahi? Tidak. Untuk apa malu? Saya
punya pekerjaan, saya mandiri secara finansial, saya tidak hidup bergantung
seperti benalu pada orang lain, jadi untuk apa saya malu. Dilangkahi menikah
bukan sebuah aib meski banyak orang berpendapat demikian. Buat saya dilangkahi
hanya sebuah permainan waktu. Adik saya lebih dahulu menjejak finish kalau
menikah itu diibaratkan sebagai garis finis, sementara saya masih melangkah di
belakang. Beda usia 6 tahun ternyata tidak membuat saya berlari lebih cepat.
Tapi apakah itu masalah?
Buat saya tidak. Mungkin buat orang lain iya. Saya paham
orang lain selalu berdiri dengan penilaian mereka sendiri, dan itu tidak salah
seperti halnya saya yang tidak salah ketika nasib mengantarkan pada moment
dimana akhirnya saya harus dilangkahi menikah. Jodoh adik saya lebih dahulu
tiba, jadi kenapa saya harus menghalangi mereka hanya karena jodoh saya belum
lantas kelihatan. Saya berhak untuk bahagia, dan dalam memperjuangkan kebahagian
saya tidak sepantasnya mempertaruhkan kebahagian orang lain. Dalam hal ini adik
saya.
Saya baik-baik saja. Tidak seperti yang orang bayangkan.
Tidak perlulah saya dikasihani, karena saya tidak menderita. Dilangkahi menikah
bukanlah bencana yang harus ditangisi. Ikutlah berbahagia seperti halnya saya
yang sangat bahagia melihat adik saya akhirnya memantapkan hati pada wanita
yang dia puja. Turutlah senang seperti saya yang tidak sungkan merogoh tabungan
untuk sekedar menyumbang. Dilangkahi bukan menjadi alasan untuk saya sebagai
kakak kehilangan peran dalam pesta yang akan dilangsungkan.
Saya berusaha tidak egois karena saya tidak merasa
dikalahkan. Mungkin satu-satunya egois yang saya lakukan adalah egois terhadap
orang tua saya. Saya bisa sedemikian rupa menulikan pendengaran, membebalkan
muka kepada orang-orang yang selalu ingin ikut campur, tapi orang tua saya
mungkin tidak. Mau tidak mau pasti hal itu menjadi bahan pikiran. Dan saya
sedih karenanya, membayangkan orang tua saya diintimidasi secara verbal dengan
pertanyaan-pertanyaan kenapa anak sulungnya belum juga menikah.
Banyak cara untuk membahagiakan orang tua, menikah mungkin
salah satu jalannya. Tapi tolong untuk saat ini biarkan saya mengambil jalan
memutar. Biarkan saya membahagiakan orang tua dengan cara saya sendiri. Cara
yang mungkin buat orang-orang di luar lingkaran itu sukar dipahami.
4 komentar:
Hai Apis.... Long time no see
Saya akan melakoni hal yang sama, adik saya-pun akan segera menggelar pernikahannya, saya tahu betul perasaanmu.
Meneteskan air mata bukan berarti selalu sedih bukan? Saya ikut berbahagia atas pernikahan adikmu, berbahagia atas kebesaran hati mu.. :)
Cheers
Hihihi akhirnya keluar juga fotonya walopun nampak punggung saja.
6 tahun lalu, saya juga dilangkahi adik laki-laki untuk menikah. secara pribadi, ikhlas tanpa beban. tapi keluarga yang lain mempertanyakan itu. memang, bukan dilangkahinya yang bikin sakit, tapi perasaan "sial" dengan nasib sebagai gay selalu membayangi hingga kini, karena belum menikah juga. sempet gencar mencari, tetapi kadang malas dengan lika likunya yang ternyata menguras energi jiwa. entah, kadang orang tua dengan pedas mengkritik dam mempertanyakan kesendirian saya, hingga perasaan ini remuk. entah balasan kebahagian apa yang akan ku temui setelah kejadian seperti itu... entah, saya ga tau
Hiks.. sebagai adik, gw malah ga pernah minta izin ngelangkahi kakak gw.. Kasian juga sih dia terlangkahi begitu saja... *apadeh
Posting Komentar