Aku berbisik pada angin, mengirim isyarat pada bulan sabit
yang menggantung di cakrawala hitam yang tergambar sempurna tadi malam. Tidak
banyak yang ingin aku sampaikan kecuali kerinduan yang seringkali memberangus
pijakan bahwa semua ini sudah disepakati. Tidak banyak yang ingin aku utarakan,
hanya ingin membewarakan bisikan hati kalau banyak masa yang sudah dilewatkan
dengan membuat goresan-goresan pagar di tanah halaman belakang hingga berbuah
sebuah perjumpaan yang terasa jarang.
Memang tidak selalu perasaan ini diberondong rasa ingin
saling berpandangan. Tidak selalu tangan ini merasa perlu untuk saling
menggenggam, tapi selalu ada masa-masa dimana hati berasa sedang di kuadran
paling bawah dari sebuah lingkaran. Nyaris menyentuh dasar. Seperti menaiki
bianglala tetapi pada posisi terbawah ketika kita baru saja menaikinya
sementara ketika kita menengadah terpampang pemandangan yang indah dengan
banyak lampu-lampu berkelipan menyodorkan setangkup iri yang tidak bisa
dijelaskan. Kata lenyap terbakar udara tepat ketika kita membuka suara. Bisu
digigilkan dingin.
Gemetar aku melangkahkan kaki di setapak kecil yang nampak
mengkerdilkan. Beringsut dari satu koordinat ke koordinat lain berharap hati
segera terbebaskan. Bukan berharap bertemu dengan ujung yang akan mempertemukan
karena jadwal sudah disusun dengan matang. Kapan bisa bersentuhan dan kapan
kembali terenggangkan sudah dituliskan rapih di lembaran-lembaran lontar. Hati
hanya berharap beranjak dari kubangan kesepian. Lepas dari jeruji kesendirian
sehingga bisa berlarian lagi di taman. Bermain ayunan atau prosotan seperti
hidup yang tanpa beban. Hidup yang tidak diganduli perasaan kosong hanya karena
sendirian.
Sering aku terbebas dari belenggu itu tapi seperti halnya
siklus, aku akan menjejak di titik yang sama pada lain kesempatan. Kembali kaki
terperosok pada kubang kesedihan sehingga sulit beranjak padahal sekuat tenaga
sudah dikerahkan maksimal. Bodohnya ingatan jangka panjang menolak untuk
dipanggil ulang. Entahlah dia berkomplot dengan siapa. Mungkin dengan keadaan.
Atau bisa jadi bersekutu dengan setan. Senang melihat hati yang lagi-lagi
terseok membawa beban buah dari perasaan kosong yang hadir tanpa diundang.
Riang menyaksikan hati yang meringis karena menahan tangis akibat teriris buluh
kerinduan.
Katanya aku disuruh mencari berbagai kesibukan agar semua
luka bisa dialihkan. Katanya aku dianjurkan untuk banyak berkawan sehingga ada
yang bisa mendengarkan atau setidaknya berbagi penderitaan. Dan betul, semua
memberikan jawaban. Mengurangi penat yang menghimpit, memberikan suntikan udara
pada ruang yang terasa hampa. Tapi ketika aku kembali ke ruangan yang memaksa
aku sendirian, maka perasaan itu lagi-lagi datang tanpa diundang. Seandainya
aku tidak perlu beristirahat dari menyibukan diri, seandainya kawan-kawan itu
bisa terus bersisian sehingga membentuk ingkaran dalam diagram, tentu aku tidak
perlu berjalan pulang pada kesendirian.
Lalu hati bertanya sampai kapan. Sampai kapan akan terus
menggunakan banyak kesibukan sebagai sebuah bentuk pelarian. Sampai kapan
kawan-kawan bisa diandalkan dan diharapkan selalu datang ketika hati remuk
redam. Kedewasaan tidak datang dari pelarian dan uluran tangan para handai
taulan. Kedewasaan justru hadir dari sebuah keterpaksaan. Keterpaksaan mengerti
bahwa titah alam adalah sesuatu hal yang memang harus dijalankan. Suka atau
tidak suka kita diharuskan belajar menjadi dewasa dengan caranya sendiri. Dalam
kasus aku sekarang adalah menjalani hubungan jarak jauh yang membatasi
pertemuan.
Bohong kalau aku bilang hubungan terpisah jarak mudah untuk
dijalankan. Dusta kalau aku kemudian berujar aku selalu keluar sebagai pemenang
ketika diberondong rasa rindu yang tidak lantas bertemu jawaban. Tapi aku
belajar menikmati, dipaksa untuk menikmati lebih tepatnya. Aku belajar bersabar
menghitung perubahan pagi-siang-petang hingga malam dan kembali pagi lagi.
Terus menerus berulang sampai aku sampai pada tujuan. Sebuah pertemuan yang
layak untuk dirayakan. Sebentuk jumpa yang membuat nafas lega untuk dihela.
Jarak, berbaik hatilah pada kami. Aku tahu engkau tidak
mungkin diperpendek dan dimanipulasi. Tapi selalu ada jalan keluar yang
sekarang disebut dengan teknologi. Ada suara di ujung jalan yang bisa
menghangatkan hati ketika berkecamuk perasaan seakan sendirian. Karenanya dukunglah
apa yang tengah kami jalankan. Janganlah engkau berkomplot dengan hati sehingga
memperburuk perasaan yang harusnya bebas berkeliaran untuk sekedar
menghilangkan penat dan kesepian. Jangan pula bersekutu dengan kepala dan
memboikotnya sehingga tidak bisa menterjemahkan keadaan. Jarak, aku mohon.
Tidak hanya sekarang, tapi untuk seterusnya sampai kami menemukan jalan untuk
pulang sambil berjalan bersisian.
1 komentar:
Sabar ya :).
Kisahnya baru di mulai. Tapi as long as you guys on the right track, smoga happy ending! Hehehe...
Posting Komentar