Aku terperanjat. Sontak melangkah beberapa acuan mundur ke
belakang. Langkah tanpa koordinasi yang membuatku sedikit terjengkang. Untung
masih ada pinggiran bufet yang bisa kujadikan sanggaan badan yang bereaksi
tanpa prediksi.
Sejenak aku terdiam, berusaha menenangkan diri. Mengatur
nafas yang tadinya berpacu seperti dikejar-kejar waktu. Lama. Ketenangan tidak
kunjung datang, aku masih saja ketakutan. Nafas masih saja menderu. Detak
jantung kurasakan lebih cepat beberapa kali dari biasanya. Keringat mulai
membanjiri dahi kemudian menjalar ke tengkuk dan punggung. Kuyup.
Aku melirik ke tempat dimana tadi aku menemukan sedikit
janggal. Sebuah pojokan temaram dimana di dindingnya menepel sebuah cermin
usang yang tidak pernah terjamah rupa. Mungkin sudah sedemikian lama dia tidak
bertemu bayangan yang tergambar. Sepertinya dia hanya mencumbui debu. Bersahabat
dengan sinar matahari yang terbias dari celah-celah atap rumbia yang tidak
kalah usang.
Penasaran, aku beringsut mendekat. Melangkah jingjit guna
meminimalisir suara yang yang pasti tercipta. Pelan-pelan sampai aku merasa
siap untuk melihat lagi ke arah cermin yang tadi menampilkan sosok yang tidak
aku kenal. Entah keberanian dari mana yang tersulut saat itu, yang pasti aku
hanya ingin membuktikan kepenasaranku. Membuktikan apa yang tadi kulihat bukan
sekedar bayangan semu seperti yang selalu terbentuk di dalam kepala. Aku hanya
mencari tahu.
Jarak sudah sedemikian dekat, ada perasaan ingin mundur dan
membiarkan apa yang baru saja kejadian menjadi misteri tanpa pembuktian. Tapi
keinginan untuk terus mendekat justru lebih besar hingga kini aku tepat berdiri
di depan cermin misterius itu. Aku menatap lurus ke arahnya, berharap ada yang
berubah seperti saat aku terjengkang ke belakang. Tidak ada perubahan. Yang
teramati hanya debu tebal yang menempel seperti karat. Tidak ada bayangan
padahal aku jelas berada tepat di depannya. Aneh.
Aku terpaku. Tidak lantas beranjak meskipun hasil yang
kuharapkan tidak aku temukan. Aku diam. Menunggu. Aku yakin pasti ada sesuatu.
Gemetar aku mengangkat sebelah tanganku, mencoba menyibak sedikit debu supaya
lebih banyak cahaya yang terkumpul. Belum genap tanganku sampai pada permukaan
cermin, tiba-tiba muncul bayangan seperti yang aku temui tadi di awal. Kali ini
aku tidak melangkah mundur ataupun terjengkang. Kali ini aku tetap berdiri di
hadapannya seperti menantang.
“Kamu siapa?” Seperti orang gila aku bertanya pada bayangan
dalam kaca. Tidak ada jawaban. Hanya hening yang terpapar.
Aku kemudian mengulang, “Kamu siapa?” Lama tidak ada sahutan
hingga aku hampir kehilangan kesabaran. Kuangkat tanganku, kukepalkan kemudian
berniat untuk menghantam. Tapi aku lantas diam dengan kepalan mengambang di
udara. Sosok di dalam cermin kusam itu tersenyum memamerkan sederetan giginya
yang rapi. Perlahan dia kudengar tertawa atau lebih tepatnya mentertawakan.
Sementara aku hanya bisa diam. Memperhatikan.
Dia masih saja tertawa. Menggema di hampir seluruh ruangan.
Suara tawanya seperti penuh ejekan meskipun aku tidak tahu apa yang dia
tertawakan atau apa yang dia cibirkan. Perlahan tawanya hilang. Perlahan aku
bisa menginderai sosoknya dengan benar. Dengan jelas. Tapi aku tidak punya
ingatan sedikitpun tentang sosok itu, mungkin ada sedikit tapi semuanya baur.
Bias oleh cahaya yang semakin lama semakin terkumpul seperti pusaran. Aku
berusaha mengingat, siapakah dia. Kenapa dia bisa muncul di dalam cermin yang
aku gunakan untuk berkaca.
“Kamu tidak tahu siapa aku?” Dia bertanya balik dengan
intonasi yang mengintimidasi. Aku menggeleng tanda aku tidak berhasil
membongkar kotak memori untuk mengingat siapa sosok itu. Dia kemudian tertawa.
Dengan isyarat tangannya dia memintaku untuk semakin mendekat.
Aku melangkah, awalnya ragu kemudian pasrah seperti dituntun
tanpa bisa melakukan perlawanan. Di depan cermin usang itu aku mendekatkan
telingaku. Perlahan kudengar dia berbisik “Aku adalah kamu!” Kaget, kujauhkan
telingaku. Kutatap dia seakan meminta penjelasan. Tanpa perlu ditanya sepertinya
dia sudah siap menjawab.
“Kamu berubah! Semenjak memiliki pasangan, kamu berubah.
Sedemikian berubahnya sampai kamu tidak lagi mengenali siapa dirimu sendiri” Setelah
mengatakan itu sosok dalam cermin usang menghilang dan yang aku rasakan hanyalah
hitam.
1 komentar:
Ah. Kamu tetaplah Apis yang ku kenal. Hanya saja sedang larut dalam euforia cinta saja. Nikmati sajalah, nanti ketika rutinitas tercipta, pasti akan ada sedikit ruang waktu untukmu menabur benih cerita du taman indah ini :)
Posting Komentar