Halaman

Kamis, 05 Juli 2012

Kemarau


Di luar hujan sudah jarang datang. Tidak tampak lagi dedaunan basah yang baru bercumbu dengan rintik yang turun perlahan. Tidak terinderai lagi genting-genting  kuyup sehabis diguyur air yang tercurah tak berkesudahan. Semua berubah ritme. Kemarau sudah menghadang di hadapan.

Lihatlah sekawanan capung yang bermigrasi di atas awan. Menutupi biru menjadi kelabu. Menciptakan ilusi mendung yang seperti menipu. Mereka terus terbang, berbondong-bondong mencari tempat ke utara yang lebih basah untuk sekedar beranak pinak. Meneruskan garis keturunan. Menghindari kemarau yang menjanjikan dahaga lewat kerontang tanah yang retak terpecah belah. Mereka menjadi tanda, kemarau akan segera tiba.

Atau coba dengarkan dengan seksama, banyak bunyi tonggeret yang kencang saling bersahut-sahutan. Serangga dengan kemampuan bersuara yang tidak seimbang dengan bentuk dan ukuran tubuhnya. Mereka menyanyikan lagu seolah bergembira menyambut kemarau yang sudah di depan mata, membalas dendam karena saat hujan suara mereka dibungkam di dalam lubang. Mereka bersuka ria, bersembunyi di balik daun-daun yang siap absisi. Mengasah pita suara yang lagi-lagi menjadi tanda, kemarau tidak lama lagi akan tiba.

Semua berubah. Hujan berpamitan lewat kunjungannya yang kadang-kadang. Kemarau mulai menyapa lewat coklat daun yang terpanggang sempurna. Tidak ada lagi embun yang dapat disesap pagi hari, tidak banyak lagi gutasi yang dapat dilihat menetes dari ujung-ujung rumput yang lembut. Semua berubah, melewati siklus yang terus berulang. Hujan digantikan kemarau. Rimbun digantikan ranggas yang bertahap. Mencipta serasah yang menggunung di atas tanah.

Coba kau ingat lagi, kemarau ini kemarau keberapa kita saling menghindar? Saling mencari jalan yang berlainan padahal dari jauh kita sudah bisa saling memandang. Di persimpangan, ketika aku memilih ke kiri maka kamu akan memutuskan untuk berputar lewat belakang. Di jalanan buntu, ketika kamu memilih untuk terus melaju maka aku akan diam membalikan badan. Berusaha untuk tidak terlihat dengan membuat banyak kesibukan. Dan kamu pura-pura tidak tahu. Tidak saling menunjukan perhatian padahal kita saling mencuri pandang. Sejenak.

Sebetulnya apa yang kita hindari? Perasaan saling menyakiti? Perbincangan mengenai hati? Atau justru yang kita hindari hanyalah serangkaian basa basi? Aku yakin kamu juga pasti tidak mengerti. Seperti sudah ditandatangani dalam hati kalau menghindar adalah jalan paling aman untuk diambil saat ini, entah sampai kapan. Mungkin sampai nanti ketika kita sudah bisa berkompromi, ketika kita sudah bisa meraba hati sendiri dan menyadari bahwa menghindar bukanlah solusi.

Sudah berapa kali kemarau kita begini? Mencampakan perasaan yang mungkin masih tersisa sedikit dari kegiatan saling mengungkit. Membenamkan hati pada kubangan tanpa penyelesaian. Saling menyakiti, saling menyalahkan dan saling tidak mau mengalah.

Aku bosan menghindar. Kamupun pasti demikian. Mengambil jalan memutar untuk sekedar saling menghindar hanya membuat kita seperti naik komedi putar. Berputar-putar dilintasan yang sama tanpa beranjak kemana-mana.

Masalah diantara kita sudah lama selesai. Seharusnya. Kalau saja kita tidak sama-sama mempertahankan hati dengan ego yang bercokol tak mau pergi. Semua perasaan sudah enyah, kalaupun masih tersisa itu hanya remah-remah yang tidak pantas dipunguti untuk kemudian dihidangkan. Sudah tidak ada lagi cinta, tapi kenapa yang muncul justru benci. Sudah tidak ada lagi rasa, tapi kenapa kita masih saja menyimpan kecewa.

Kemarau sudah datang, dan ini kemarau kesekian kita saling menghindar. Kenapa di kemarau yang sepertinya masih panjang ini kita tidak duduk bersama. Berbicara. Bukan untuk mengungkit luka lama, tapi justru mengobati luka yang mungkin masih menganga. Menyelesaikan pertikaian yang seharusnya sejak dulu disudahi. Membuka lembaran baru tanpa lagi saling membenci .

Sini duduklah di dekatku. Kita nikmati sekawanan capung yang terbang bermigrasi menutup biru menjadi kelabu. Kita dengarkan lagu bebunyian tonggeret yang bersembunyi di balik daun yang siap absisi. Kita berbicang, tidak perlu saling menggenggam tapi tidak perlu juga saling mendendam. 

4 komentar:

Gloria Putri mengatakan...

ini bukan kemarau, ini summer
wkwkwkwkwk....instead of kemarau, aq koq lbh suka musim panas y kang? ngga tau kesannya 'sadis' aja klo kemarau.....aniway, seperti biasa, kombinasi kata2nya indah :)

Apisindica mengatakan...

@glo: ah kamu sok ngingris. hehehe...

Di indo mana ada musim panas, yang ada musim hujan sama kemarau. Begitu kata guru SD jaman dulu. Xixixixi

Falra mengatakan...

hahaha... lho, bukannya musim ada tiga? kemarau, hujan dan musim paceklik. haha

Apisindica mengatakan...

@Falra: hahaha, masih ada musim kawin kalau begitu....