Halaman

Jumat, 26 Maret 2010

Hendry Ginanjar

Aku memafkanmu teman! Atau mungkin agar kamu lebih tenang, aku mengampunimu.

Kejadiannya sudah lama sekali, ketika kita masih bisa dikategorikan anak-anak. Mungkin belum bisa membedakan mana bercanda kelewat batas atau mana bercanda yang masih bisa ditolerir. Saat itu kita masih berpakaian putih-biru.

Kamu ingat bagaimana kamu menggangguku setiap hari? Bagaimana kamu mengikutiku bagai hantu yang senantiasa menggoda dengan segala polahmu yang aku bilang sangat berlebihan? Mungkin kamu lupa, tapi aku tidak. Aku masih dengan jelas mengingat semuanya, setiap detail teror yang kamu lancarkan setiap harinya. Kamu adalah alasan terbesarku untuk malas pergi ke sekolah, waktu itu.

Berusaha untuk membuatku terjatuh dengan kakimu, menarik bajuku sampai keluar dari celana, mengacak-acak rambutku hingga masai, merebut jajananku dan kemudian melahapnya sampai habis, mengotori celanaku dengan serbuk kapur, dan masih banyak tingkah jahilmu yang aku tidak pernah tahu atas dasar apa kamu melakukannya. Mungkin untuk kesenangan semata, karena kamu selalu terbahak-bahak setelah ‘aksi’ mu berhasil.

Aku lebih sering diam daripada melawan, karena apabila aku melawan maka kamu akan seperti biasa mengerahkan teman-teman lain untuk membantu aksimu menjahili aku lebih parah. Aku juga heran kenapa teman-teman yang lain selalu tunduk padamu. Mereka seakan tidak peduli dengan aku yang meronta sedemikian rupa. Mereka ikut tertawa melihat aku yang terperdaya. Seringkali aku juga turut membenci mereka.

Aku biasanya menangis diam-diam, mengutuki diri yang merasa tidak berdaya.

Kamu bilang membenciku karena aku terlalu pintar, aku terlalu rapih. Kamu juga complain karena aku jarang pulang bareng dengan kamu dan teman-teman yang lain karena lebih sibuk mengambil les ini dan itu. Kamu tidak suka dengan keaktifan aku di kelas, dengan kepiawaianku menarik rasa sayang guru dengan menjadi anak baik dan penurut. Kamu bilang kamu tidak suka semua itu, kamu bilang kamu muak.

Dulu aku bertanya-tanya, betulkan semua alasan itu yang menyebabkan kamu membenciku? Betulkah semua itu yang menjadikanmu seseorang yang membuatku selalu tidak tenang? Menciptakan iklim horor setiap harinya di sekolah. Betulkah semua itu Hendry Ginanjar?? Lihat, aku masih mengingat namamu sampai sekarang.

Kamu mungkin lupa pernah membuatku terjerembab sampai mencium lapangan basket sepulang sekolah, tapi aku tidak. Aku ingat hingga kini, mungkin selamanya. Aku bangkit dan kemudian berlari pulang. Sepanjang perjalanan aku menangis sambil membuat strategi pembalasan untuk esok hari. Yang terpikir adalah bagaimana cara membunuhmu. Mengenyahkanmu selamanya dari dunia. Kamu adalah satu-satunya orang yang membuatku memutar otak bagaimana caranya membunuh. Kamu harus mati besok, begitu aku membatin.

Alhamdulillah, semuanya tidak kejadian. Akal sehatku masih menuntunku untuk berpikir logis. Menghadapimu seperti hari-hari biasa kemudian menjadi pilihanku sambil berharap suatu saat kamu akan berhenti karena bosan.

Tak terasa, kita sudah berjalan jauh dari waktu itu dan aku yakin kamu pasti sudah lupa semuanya. Aku sudah memaafkanmu dari dulu walaupun susah sekali menghapus kejadian-kejadian buruk yang kamu ciptakan dalam memori jangka panjangku. Aku sudah memaafkanmu ketika hari perpisahan. Hari terakhir dimana aku melihat kamu, setelah itu aku tidak pernah sekalipun bertemu kamu lagi sampai hari ini.

Tapi semalam, aku mendapat kabar. Hendry Ginanjar, orang yang pernah membuatku ingin menjadi seorang pembunuh, orang yang pernah menjelma menjadi monster dalam kehidupanku telah meninggal dunia karena sakit. Perpisahan SMP itu ternyata telah menjadi titik akhir dari pertemuan kita.

Teman, aku mengampunimu. Memaafkanmu dengan ikhlas, tanpa dendam. Aku hanya sukar melupakan. Semoga Kamu bersemayam dengan tenang dalam keabadian. Apabila nanti dalam kubur kamu ditanya pernah menyakiti seseorang dan kamu teringat aku, jangan khawatir, Malaikat pasti tahu kalau aku sudah mengampunimu.

Selamat jalan Hendry!

10 komentar:

Ninneta - MissPlum mengatakan...

Oh Tuhan.... Semoga dia tenang ya di sisinya..... Dan keluarga diberikan ketabahan. Amin

Apisindica mengatakan...

@ninneta: amiin, semoga dia tenang selamanya di sana!

Ginko mengatakan...

Turut berduka cita.

Apisindica mengatakan...

@ginko: terima kasih!

Pohonku Sepi Sendiri mengatakan...

waduh, malah jadi terharu baca bagian akhir postingnya..
semoga dilapangkan waktu penantian bagi temanmu itu ya bro..

Apisindica mengatakan...

@pohon: amiiiin. Semoga dalam penantiannya itu dia mendapatkan kebahagiaan!

lucky mengatakan...

gw juga pernah punya teman yang dulu menjadi momok gw waktu sd. tapi gw ga tau dia masih hidup ato udah mati ya.....*gw heran, kenapa dulu gw ga berani melawan ya??*

Apisindica mengatakan...

@lucky: mungkin kayak gw, bukan nggak berani melawan tapi kita tetap konsisten dengan stereotype "anak baik-baik"

tapi jujur aja, orang yang seperti mereka itulah yang membuat kita sangat dewasa, baik dalam tingkah laku maupun perasaan.

SerasaSore mengatakan...

apakah setiap kita jadi momok waktu SD ato SMP bahkan SMA???
gag tau yah, beda beda nasib orang.
kalo saya, mungkin iya,,,

waktu itu kelas III SMP, dan ada yang jail banget emang nempel nempelin permen karet ke celana saya...

hari jumat tuh, kebetulan saya ada latian dan... saya siy ngelawan ajah, saya sabetin pake sabuk...hahahaha...

namanya hery, tengil banget orangnya, kecil lagi...

gag tau yah tuw nasib dia gimana selanjutnya, tapi yang pasti gag kapok tuh anak, tetep aja...melakukan aksinya, bukans ama saya doank siy, sama yang laen juga...

note : buat temen nya apis : semoga mendapat tempat terbaik bersama Tuhan disana ;)

jm

Apisindica mengatakan...

@jinggamerah: setiap orang punya jalannya masing-masing, jadi tidak bisa disamaratakan.

melawan atau tidak itu kadang menjadi suatu pilihan. Tapi seringkali justru kita tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih.

just enjoy our life, with or without tears!