Halaman

Sabtu, 18 Juli 2009

Dilanda Dilema


Rasanya aneh dan kikuk melihatmu lagi secara langsung sore itu. Aku terakhir kali melihatmu di bandara saat kamu akan beranjak ke negeri Singa. Hampir 2 bulan yang lalu. Dan semenjak itu kita hanya berkomunikasi lewat kata, itupun berhenti sebulan terakhir karena aku memutuskan untuk berhenti. Iya, aku yang memutuskan untuk berhenti, karena kata yang kemungkinan tercipta hanya akan membuahkan air mata dan rasa sakit. Karenanya aku memutuskan berhenti.

Sore itu ketika aku dan kamu berjanji untuk bertemu, sekedar untuk meleburkan rasa rindu yang memang masih mengendap berat di hatiku, entah di hatimu. Damn, ternyata aku masih merindukanmu teramat sangat. Sayang kamu bukan siap-siapa lagi untukku. Hanya seorang sahabat baru hasil metamorphosis dari seseorang yang dulu aku sebut kekasih, pasangan jiwa.

Aku masih bisa melihat binar cinta di matamu senja itu, dan aku yakin di mataku juga menyemburat binar yang sama. Sekuat apapun aku berusaha menyembunyikan cinta yang ternyata masih menganga, pasti sebagian alurnya merembes lewat retina dan terpancar perantara mata. Rasanya aku menemukan oase di tengah tandus pencarianku akan cinta yang menghilangkan dahaga. Apa itu tandanya aku masih mencintainya? Apakah itu artinya kemarin aku hanya terpenjara dalam bingkai egoisme hati karena terlanjur sakit? Aku tidak bisa menjawab dengan jelas. Semua nanar oleh kabut dan temaram.

Salahkah aku jika kemudian di sore itu dan hari-hari selanjutnya dalam rentetan pertemuan yang terjadi membiarkannya mengecup lembut kening ini seperti kebiasaanya dulu setiap kali bertemu? Salahkan aku ketika labuh sesaat dalam dekap erat tubuhnya, sekedar mengentaskan rindu. Dalam beberapa detik dekap itu berlangsung, ternyata aku masih bisa merasakan gelombang yang sama. Turbulen yang kemudian memporakporandakan pertahananku akan cinta, seperti dulu, saat aku pertama kali menganggukan kepala dan menerimanya menjadi seorang kekasih.

Aku bingung, aku dilanda dilema. Otak dan kata hati seakan bergerak berlawanan dalam koridor yang sama. Kenapa otak tidak memerintahkan hati untuk sejalan dengannya. Adakah kesalahan sinapsis yang terjadi sehingga jalur rambat otak terganggu? Atau mungkin hati memberontak dan tidak tunduk pada perintah otak seperti biasanya. Hati mungkin sudah muak dengan otak yang selalu memerintahkan aku untuk bergerak meninggalkan, tidak memaafkan dan tidak memberikan kesempatan kedua untuk dia. Hati berontak karena merasa bahwa otak hanya mempengaruhiku dengan logika. Padahal cinta bukan logika, tak ada yang pasti dalam cinta.

Aku kemudian bingung, haruskah aku memberinya kesempatan kedua? Sebetulnya bukan dia yang aku beri kesempatan, tapi lebih ke mampukah aku memberi kesempatan hatiku sendiri untuk berdamai dengan keadaan? Karena aku kemudian tidak bisa berbohong. Masih ada cinta disana.

Mungkin aku harus memaafkan dan kemudian bergerak. Bergerak kembali ke arahnya adalah suatu pilihan yang tercipta. Pertanyaanya hanya, maukah aku?

2 komentar:

menjadimanusia mengatakan...

Apapun itu, kami (bukan hanya saya) mendukung keputusanmu. Kalau kata orang, mempercayai adalah memberikan semua logika terhadap perasaan. Jadi hanya perlu percaya kepada hati sendiri atau dia...

Apisindica mengatakan...

@days: argh, so sweet deh days! Konsep kami sudah mulai digunakan. Senangnya liat days kembali senang.
iya, mungkin jalan satu-satunya hanya percaya!!!