Halaman

Jumat, 22 Mei 2009

Ambigu


Panggil saja aku ambigu karena tidak ada kata yang menggambarkan siapa diriku selain ambigu. Aku lahir dari dunia yang nyata, dibesarkan dengan cara yang nyata tapi aku tumbuh dalam keambiguan. Karenanya aku merasa aku ambigu.

Awalnya aku merasa diriku tidak ambigu. Aku sama dengan anak-anak lain yang sering bermain di pekarangan depan atau taman belakang rumahku. Aku tidak berbeda dengan mereka, meski kadang mereka kemudian merasa kalau aku berbeda dan meninggalkanku sendirian. Apa aku sedih? Awalnya, tapi setelah itu tidak. Kukunci pintu pagarku, kemudian kukeluarkan ratusan mainan yang dibawa pulang oleh orang tuaku ketika mereka bertugas ke luar negeri sebagai oleh-oleh. Kugelar semuanya berantakan. Dan ketika mereka, teman-teman itu melongok dari terali pagar ke arah mainan, maka dengan sombong aku akan membereskan semuanya ke dalam kotak dan masuk ke rumah dengan perasaan menang. Lihat, dari kecil aku sudah bisa menyiasati bagaimana menghadapi mereka yang memandangku ambigu. Entah siapa yang mengajarkan.

Kesendirian dan kesepian kadang menjadi pupuk bagi kemabiguanku. Kesendirian membuatku merasa nyaman dengan dunia penuh ilusi, penuh pengharapan, penuh warna yang tidak hanya ada biru dan kuning. Sementara kesepian membuatku menkritisi arti ambigu yang setelah kutemukan artinya, aku semakin menikmatinya. Kesendirian dan kesepian ternyata tidak membunuhku, hal-hal itu justru membuatku menjadi seseorang dengan hati yang tertempa.

Sampai saat ini aku tidak mengerti kenapa aku nyaman dengan perasaan ambigu ini. Aku merasa ambigu bukanlah hal nista karena aku tetap bisa tumbuh jadi sosok yang menurutku tidak memalukan. Aku bisa membawa diriku ke jalan yang semua orang tidak bisa. Mungkin memang itu semua hanya keberuntungan, semua kesenangan yang aku alami hanya berupa keberuntungan. Apakah kemudian ambigu bagiku juga merupakan sebuah keberuntungan? Aku tidak tahu.

Dulu aku merasa bahwa yang ambigu hanya aku dan duniaku. Makanya kadang aku merasa terasing dengan lingkungan sekitarku, merasa marginal meski aku tetap bahagia. Selayaknya anak autis yang tetap bersemangat dalam dunia kaca kehidupannya. Tapi ketika aku membuka mataku lebar-lebar ternyata banyak juga yang ambigu sepertiku, bahkan jauh sebelum aku merasa bahwa aku ambigu. Mereka sudah berada di dunia mereka yang sekarang ternyata sedikit banyak bersinggungan dengan duniaku.

Keambiguanku semakin bertambah ketika aku bertemu kemudian jatuh cinta dengan seseorang yang ambigu juga. Jatuh cinta tetap indah, meski kata orang cinta kami aneh, cinta kami tidak lazim, cinta kami salah. Siapa yang berani menggugat cinta? Apa karena mereka merasa mereka tidak ambigu kemudian mereka merasa yang paling benar dan menyalahkan cinta kami. Sekali lagi cinta tidak bisa digugat. Biarkan kami merasakan cinta meski menurut kalian itu salah. Bagi kami, cinta kami tidak salah, cinta kami seperti juga cinta kalian. Tulus dan tidak membebani.

Aku tidak merugikan kalian semua meskipun aku dicap ambigu. Aku tidak lantas mejelma menjadi orang yang jahat dan berhati busuk meskipun memiliki cinta yang selalu kalian cerca. Aku manusia biasa, meski ambigu. Aku masih berhak memutuskan jalan kehidupanku sendiri walau kalian tetap melihatnya salah. Aku akan tetap menjadi aku yang ambigu.

Kalau kalian mau bersikap adil padaku, cukup buka mata kalian lebar-lebar. Yang menurut kalian ambigu hanya satu dari sekian aspek yang bisa kalian nilai atas kehidupanku. Tidak adil rasanya kemudian jika kalian menggeneralisasi semua tentang aku hanya dari sisi itu, yang kebetulan ambigu. Anomali dalam perspektif kalian. Tapi yakinlah meskipun aku mabigu dan anomali, aku tetap memiliki hati yang sama seperti kalian. Hati untuk berbagi. Hati untuk saling berjabatan tangan dan bergandengan dalam persahabatan dan damai.

Hari ini, aku yang ambigu, yang memiliki perspektif lain tentang makna sebuah cinta hanya ingin berteriak lantang. Aku bangga menjadi aku yang ambigu, karena meskipun kalian seringnya merendahkan keambiguanku, aku tetap bisa mengalahkan kalian yang menurut kalian sendiri normal dan tidak ambigu dalam beberapa hal. Tidak semua memang, tapi aku tetap saja bangga. Aku bangga menjadi aku yang ambigu. Sekarang, besok dan nanti.

Sekali lagi, panggil saja aku ambigu….

6 komentar:

Zhou Yu mengatakan...

Yang menurut kalian ambigu hanya satu dari sekian aspek yang bisa kalian nilai atas kehidupanku. Tidak adil rasanya kemudian jika kalian menggeneralisasi semua tentang aku hanya dari sisi itu, yang kebetulan ambigu. Anomali dalam perspektif kalian. Tapi yakinlah meskipun aku mabigu dan anomali, aku tetap memiliki hati yang sama seperti kalian. Hati untuk berbagi. Hati untuk saling berjabatan tangan dan bergandengan dalam persahabatan dan damai. Gw suka nih yang bagian ini. Tetep setia dengan pendapat bahwa, it doesn't make us completely different than them. Dan parahnya lagi, poin ini kemaren kupake untuk bikin essay waktu tes melamar kerjaan! Huahahahahaha!

menjadimanusia mengatakan...

aduh... berat tulisannya... berat banget...

kepompong bego mengatakan...

ambigu tuh apaan yaaa..?????
apa sama dengan lugu..???
( bengong lugu -ato bego-,topang dagu, sambil ketok2 meja )

sintingmaut mengatakan...

hahaha.... gw kok kaya lagi berkaca sama diri sendiri ya beib... ga nyangka loe dah segitu dalemnya mengenali gw, padahal kita saling kenal ngga lebih dari 1 tahun belakangan dan baru ketemu ngga lebih dari 6 bulan ini... hahaha... *GR Mode always ON*

hahaha... salut banget buat loe dan tulisan ini...


Note : O iya, kalo dah balik prajab loe liat postingan yg ini, ada hadiah buat loe disana...

take care ya darl...

reallylife mengatakan...

dan dalam keambiguan itu, jangan pernah menyerah, tetap semangat, dan memandang bhidup dengan indah bersama ambigu yang bersamamu
Ambigu

Anonim mengatakan...

salut buat yg ambigu.... kalah jauh gw. good luck sobat... tetaplah rendah hati...