Halaman

Senin, 04 Februari 2013

L.I.M.A.


Pernah suatu hari beberapa bulan yang lalu di shout box blog saya ada yang nulis “Ini blog gay bukan sih?”

Kaget. Waktu itu saya tidak bereaksi apa-apa tapi kemudian saya bertanya  apakah tulisan saya terlalu “girly” untuk seorang laki-laki? Mungkin jawabannya iya. Laki-laki berperawakan lumayan besar menulis dengan bahasa mendayu-dayu berpedoman pada kaidah diksi dan berlindung dalam makna-makna terselubung pasti akan dipikir kemayu. Entah kemudian itu dianggap sebagai gay atau bukan. Siapa yang salah? Saya? Bukan. Yang salah kultur kita yang mengkotak-kotakan jenis kelamin berdasarkan patokan yang entah dari mana juga awalnya. Laki-laki itu harus suka warna biru. Perempuan itu merah. Dan pink untuk banci. Stigma sudah terpola turun menurun.

Soal tulisan-tulisan saya, malah banyak yang mengira kalau saya adalah seorang perempuan. Perempuan yang dianiaya takdir dan jalan kehidupan. Perempuan yang menulis dengan hati berdarah-darah atau paling tidak menulis dengan air mata yang menetes perlahan. Saya tertawa. Sungguh. Tidak ada niatan dari awal untuk membuat pencitraan semacam itu. Saya hanya menulis yang kemudian menemukan pola tersendiri. Sebuah ciri. Cara yang membuat saya nyaman. Cara yang membuat saya menulis mengalir seolah tanpa beban.

Salah saya. Dari permulaan tulisan-tulisan saya memang ambigu sudut pandangnya. Orang yang membaca bisa mengartikan apa saja. Membentuk karakter saya seperti siapa saja. Bisa perempuan, bisa laki-laki atau bahkan bisa diantara keduanya seperti yang dipertanyakan seseorang di shout box taman aksara. Apa saya keberatan? Tidak. Apa saya kemudian murka? Lebih tidak terpikirkan.

Orang bilang tulisan saya memiliki ciri. Ciri yang saya temukan ketika saya terus berjalan. Menuliskan kisah-kisah pendek yang saya rasakan atau sesuatu yang muncul begitu saja dalam pikiran. Ciri yang kemudian mengantarkan saya pada nyaman dan kekhasan. Pernah seorang sahabat menyampaikan keberatannya ketika saya menulis tidak dengan “cara” saya. Katanya di tulisan tersebut saya tidak menjadi saya. Padahal saya ingin belajar menulis dengan banyak ragam. Mengkayakan kemampuan dalam menceritakan apa yang saya rasakan. Tapi dia benar, cara yang lain itu tidak membuat saya nyaman karenanya saya kembali lagi ke titian awal. Menulis dengan taburan diksi. Menjadi diri saya sendiri.

Dan hari ini tempat saya belajar dan kemudian menemukan ciri tengah berulang tahun. 5 tahun silam, sebuah taman dibangun sebagai tempat bercerita. Apa saja. Dari mulai hal konyol hingga percintaan dan penderitaan, meski dua hal yang saya sebutkan belakangan adalah tema yang paling sering ditampilkan. Di taman tersebut, apisindica si lebah madu mengalami berulang-ulang metamorfosis sempurna, membentuknya menjadi pribadi yang (mudah-mudahan) tangguh. Tidak hanya dalam menulis tetapi juga dalam kehidupan nyata di luarnya.

5 tahun bukan waktu yang sebentar. Ratusan tulisan sudah terpampang dihidangkan. Tidak pernah terpikir kalau akan dibaca oleh sekian banyak orang. Tidak pernah terbanyang lewat tulisan, saya mendapatkan sekian banyak teman. Sahabat yang menjadi alasan terkuat untuk saya tidak berhenti mengurai cerita. Tidak lantas mati dalam menuliskan apa saja. Kalianlah alasan kenapa taman aksara masih ada sampai sekarang.

Memang saya tidak seproduktif dulu. Kesibukan memberangus banyak alur cerita yang temanya sebetulnya sudah ada di kepala. Terlalu sering bergulat dengan tulisan ilmiah, membuat otak saya buntu menulis sesuatu di luar itu. Tapi saya berusaha. Tetap merawat taman aksara lewat kedatangan yang tidak bisa dipaksakan. Tidak rutin sehingga saya tidak bisa menjanjikan kapan bougenville di pojokan taman mengeluarkan kembang, atau kapan sakura stek-kan yang saya curi batangnya dari halaman kampus ranggas hingga bunganya berserakan. Saya tidak bisa menjanjikan. Tapi saya pasti bakal datang.

Di ulang tahunnya yang ke-5 seperti biasa taman aksara ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk orang-orang yang telah melungkan waktu datang menyambangi. Orang-orang terkasih yang sering menjadi sumber inspirasi, sahabat, kawan bahkan lawan. Kalian semualah yang menjadikan semuanya indah. Kalianlah yang membuat matahari di taman aksara tidak pernah bosan menyinari. Kalianlah yang membuat metamorfosis apisindica terus berlangsung tak kenal perubahan iklim alam.

Terima kasih sudah menjadi saudara dengan cara yang tidak biasa. Terima kasih sudah banyak mengapresiasi dan mengkritisi. Apisindica bukan penulis profesional, jadi mohon dimaafkan apabila banyak yang kemudian tidak berkenan. Baik dalam hal bentuk penyampaian, ataupun dalam hal tema yang dikembangkan. Apisindica hanya berusaha menuliskan apa yang sedang dia rasakan. Bergumul dengan sebegitu banyak perasaan yang membuatnya terus mensyukuri apa yang sudah dikaruniakan Tuhan.

Apisindica juga bersyukur memiliki kalian. Sumber kehidupan sebuah taman yang semoga tidak pernah pernah kerontang dilindas pergerakan zaman, sehingga masih bisa bertemu dengan hari ini di tahun-tahun mendatang. 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat ultah ya ..
Ciri jangan dihilangkan karena itu menjadi character identity kita. Bayangkan kalau kita identity malah menjadi tidak khas kita. Tidak merasakan apa yang kita ekspresikan. Jadi tetaplah berkarakter sesuai ciri kita yang sudah di berikan Tuhan.

Mengenai gay atau bukan, percaya lah itu bukan karakter. Itu pencitraan yang kalau diyakini nanti malah jadi beneran. Bisa liat kan SBY? Banyak pencitraan maka lama kelamaan org lain melihatnya seperti yg ingin dicitrakan oleh SBY hehehe

So . Congrats .. keep on your writing style