Halaman

Senin, 11 Februari 2013

Membunyi Genta


Aku hampir lupa bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh hati. Rasa beraroma kenangan lambat laun terkikis dan menghilang. Tidak ada lagi jejak yang dapat disesap setidaknya untuk memuaskan perasaan bahwa hati ini pernah ada yang memiliki. Waktu melunturkan semua, menggerusnya dalam putaran-putaran yang tidak bisa ditahan. Meninggalkan aku dengan sebuah perasaan kosong tak berisi yang dulu penuh oleh bilah-bilah kenangan usang.

Kasihan. Mungkin itu yang akan orang bilang ketika menyaksikan apa yang selalu aku pertontonkan. Sebuah pertunjukan tidak mutu yang ceritanya selalu itu melulu. Tidak saat hujan ataupun saat kemarau panjang, yang digugat hanyalah tentang kesendirian. Cerita kesedihan yang seharusnya bisa dengan mudah dienyahkan. Alur picisan yang membosankan seolah kebahagiaan menjadi barang langka nan mahal.

Pernah aku mencoba untuk membawa hati ini berlari. Tapi orang menganggapku bersembunyi. Gentar menghadapi kenyataan, takut menerima buah perbuatan. Padahal dengan berlari aku pikir aku bisa terbebas dari segala ketakutan yang mungkin tumbuh menjalar di dalam kepala. Ketakutan tidak beralasan hanya karena banyak pertimbangan ketika melihat dan menimbang suatu hal. Dengan berlari aku kira aku bisa lepas dari cengkraman perangkap yang mungkin sebetulnya aku pasang sendiri.

Sembunyi bukan solusi. Tidak terinderai bukan berarti mati suri. Kehidupan terus berjalan, tidak peduli hati yang sedang digenggam mengeluarkan banyak intuisi untuk berhenti. Berhenti berarti mati, dan mati menandakan harapan sudah tidak dapat lagi dikembangkan. Padahal masih banyak harapan-harapan yang masih bisa diraih. Masih banyak sejumlah mimpi yang sepertinya harus direalisasi. Problema hati hanya sekelumit kecil persoalan yang bisa dihilangkan.

Sayangnya sekecil apapun masalah tentang hati selalu menjadi batu sandungan untuk sekedar beringsut pergi. Perasaan dikebiri hanya karena sudah sekian lama tidak termiliki menjadi bilur yang menggoyahkan langkah. Perasaan diganduli kesendirian justru menjadi halangan terbesar untuk mendekati tujuan. Tujuan yang belum jelas karena hati sedemikian bebal tidak memberi ruang untuk mengikhlaskan apa yang sudah digariskan. Takdir yang sudah ditentukan. Jalanan yang sudah dipilihkan.

Aku hanya tinggal berjalan. Melepaskan banyak keraguan, menanggalkan semua pertanyaan yang semakin digadang justru akan menjadi halangan. Biarkan pertanyaan-pertanyaan itu kandas tak bertemu jawaban karena sunyi mungkin jawaban itu sendiri. Jawaban paling hakiki dibandingkan dengan berlari atupun sembunyi. Jawaban yang tidak perlu digugat mengenai keabsahannya tentang benar atau salah yang selama ini berputar-putar memusingkan.

Benar atau salah sudah ada yang menakar. Yang aku perlukan mungkin hanya sebuah keyakinan bahwa semua yang sudah dan akan terjadi adalah jalan Tuhan. Sendirian ataupun berpasangan bukan suatu persoalan besar. Langkah bijak yang seharusnya dilakukan untuk siap menghadapi kenyataan. Berontak hanya akan membuat riak menjadi gelombang. Pasrah hanya membuat mimpi selamanya dibingkai imaji tanpa realisasi.

Aku hampir lupa bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh hati. Kubunyikan genta, kuciptakan keriuhan. Andai bisa sesederhana apa yang aku lakukan barusan.