Halaman

Kamis, 27 Desember 2012

This Day

30. Saya pernah berharap bahwa pada angka itu saya akan mengalami titik balik. Titik dimana saya mengakhiri petualangan di dunia semu, menamatkan perjalanan saya pada titian warna kelabu. Ternyata saya masih sebegitu betahnya dalam kesemuan itu, masih sebegitu nyamannya diayun ambingkan belenggu kelabu. Sampai hari ini, angka itu lebih 1.

Saat ribuan detik bergerak menuju pergantian waktu. Saat ribuan panah terlontar tanpa sarana. Saya duduk dalam kesederhanaan. Menikmati kesenyapan malam untuk sekedar menapaki hening. Berusaha mentafakuri segala yang pernah menimpa selama bertahun-tahun kebelakang. Hari ini saya diberi kenikmatan lebih oleh Tuhan. Menjejak usia 31.

Saya tidak muda lagi, saya tahu. Saya sudah harus bersikap dewasa, dari beberapa tahun yang lalu seharusnya. Saya harus lebih memikirkan jalan kedepannya akan seperti apa. Kadang jalan sudah terbentang menantang, maka saya tahu yang saya harus lakukan hanyalah berusaha menjalaninya dengan baik. Tanpa pemberontakan yang justru akan membuat jalannya jadi bergelombang.

Malam tadi, tak lagi ada pesta. Tak ada lagi perayaan dengan menghentak lantai dansa. Tak ada lagi berhura-hura. Saya hanya duduk sendiri, menatap redup lilin yang saya letakan di atas kue tart yang lagi-lagi saya beli sendiri. Saya merenung tentang semuanya, saya berdoa akan banyak harap. Semuanya saya lakukan dalam perasaan indah. Penuh kepasrahan.

Saya Apis, hari ini melontarkan ribuan ucap syukur atas umur yang Tuhan telah beri. Menguntai ribuan doa demi keinginan yang ingin terkabulkan. Tak lupa dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada semua keluarga, teman, sahabat, kolega atas berbagai pengalaman, doa, kesenangan dan kesedihan yang telah diberikan selama ini. Saya sadar tanpa kalian semua, Apis tidak akan sekuat ini. Ijinkan saya lebur dalam syukur karena dianugerahi kalian semua. Sesuatu yang tidak akan saya sesali sampai mati.

Hari ini saat saya berada di titik 31. Saya hanya bisa berharap dapat mengalami transformasi lanjut menjadi sosok yang jauh lebih baik dari sekarang. Berubah menjadi seseorang yang hidup dalam kebenaran menurut Tuhan, bukan lagi kebenaran menurut saya.

Tuhan, saya hanya ingin bahagia. Kalaupun bahagia menurut saya sangat sulit untuk dikabulkan, maka ijinkan saya meminta diberi kebesaran hati untuk berdamai dengan jalan yang telah Engkau gariskan. Ijinkan saya meminta perasaan sederhana yang terus bertambah subur dalam memaknai takdir yang telah Engkau tuliskan. Biarkan saya terus belajar mengerti bahagia yang telah Engkau tentukan.

Senin, 24 Desember 2012

Pada Satu Ketika


Seperti dua orang asing kami duduk bersisian di sebuah lobi hotel yang lenggang. Hujan yang sedikit lebat sepertinya membuat penghuni hotel enggan meninggalkan kenyamannya bergelung dengan selimut tebal di ranjangnya. Seperti yang seharusnya aku lakukan. Seandainya. Ya seandainya aku tidak bertemu dengannya sore tadi ketika lift terbuka dan mempertemukan kami dari 2 dimensi yang sepertinya berbeda. Dia hendak keluar dan aku beranjak masuk.

Jeda tercipta diantara kami berdua. Waktu seperti berhenti berputar dan udara mendadak hampa. Tidak ada reaksi. Tidak ada senyuman atau sekedar kata yang terumbar sembarangan. Kami hanya dibalut diam sampai kami tersadar kalau kami menghalangi jalan. Masih dengan balutan sunyi kami saling menghindar, terpisahkan oleh pintu yang otomatis tertutup. Rapat. Seperti hati kami beberapa tahun ke belakang.

Malam itu kami berbaring saling memunggungi. Masing-masing sibuk dengan jalan cerita yang direka di dalam kepala. Bisa jadi satu jalinan cerita atau malah sama sekali berbeda. Tidak ada bebunyian yang memperiuh, menjadikan adegan demi adegan yang ditayangkan seolah film bisu. Hanya aku dan dia dalam sebuah scene yang berantakan. Tak jelas plotnya, tak jelas siapa yang menjalankan peran antagonis atau sebaliknya.

Aku sudah bisa menerka kemana cerita akan bermuara. Sudah sekian banyak jalinan cerita serupa aku rasa. Hati sudah bebal mungkin meninggalkan jejak kapalan saking seringnya ditimpa kesakitan. Tidak pernah ada penyesalan karena semuanya memberikan pembelajaran. Pembelajaran yang tetap membuatku terperosok pada lubang yang sama berulang-ulang. Dan sepertinya aku tidak lantas kapok, tidak berhenti mencoba melempar peruntungan karena siapa tahu kali ini aku tidak mendapatkan ujung yang bergelung. Kusut.

Dan sepertinya aku benar. Di tengah jalan cerita yang berjalan tanpa aturan, dia kemudian membalikan badan. Memelukku dari belakang. Seketika aku berharap tidak pernah mengenal suara. Bermimpi kalau gendang telinga dan cairan kokhlea bisa menyaring suara mana yang ingin aku dengar dan mana yang ingin aku enyahkan. Seketika aku berharap tuli, mengambil langkah tidak peduli. Tapi aku salah, kenyataan lagi-lagi dijejalkan paksa dalam selaksa perasaan. Membuatku sesak. Limbung seperti orang linglung.

Bedanya kali ini tak ada air mata. Hulu kelenjarnya sudah mengering diganjar kemarau tak berkesudahan. Kesakitan demi kesakitan yang dikecap menebalkan jaringannya, menyisakan luka parut yang menghalangi jalannya cucuran. Tidak pernah ada lagi tangisan, tidak peduli seberapa berat jalan perpisahan yang harus ditelan. Tidak pernah ada lagi isakan, karena aku menjelma kuat. Selalu siap dengan kemungkinan terburuk ketika memulai sebuah hubungan. Hubungan yang seringkali justru tidak menemukan jalan untuk mengantarkanku pulang.

Malam itu dia menggagas perpisahan. Katanya dia sekarang sudah menemukan jalan yang benderang. Jalan yang dari awal tidak pernah dia temukan dari hubungan kami yang hanya dibangun atas dasar kekeliruan. Hubungan yang diretas hanya karena kebimbangan membawa hati berlari. Hubungan yang kemudian dimaknai sebagai sebuah kesalahan dalam memahami jalan yang sudah digariskan.

Dia bilang dia akan menikah. Meninggalkan jalanan becek yang hanya membuat telapaknya kotor oleh lumpur. Menanggalkan semua yang pernah dia kecap sebagai manis tipuan yang hanya membuatnya ketagihan. Dia tersadar, dengan aku dia hanya memperoleh temaram. Hanya menempatkannya di pojokan tanpa sinar. Karenanya dia beringsut pulang, menjajal jalanan yang katanya sudah terbentang. Haluan yang bisa mengantarkannya pada kebahagian.

Aku turut senang sekaligus mendoakan. Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika bisa melihat orang yang disayang menemukan apa yang selama ini dia harapkan. Aku sadar, dengan aku dia tidak akan mendapat apa-apa. Cukuplah aku hanya menjadi sepenggal kenangan yang menyaksikan bagaimana dia tumbuh dan beranjak dewasa hingga akhirnya berlari ketika dia kemudian menyadari. Tidak perlu mempedulikan apa yang aku rasakan, karena rasa seperti itu sudah biasa aku telan. Tidak lagi menyisakan kesakitan mendalam.

Lobi hotel itu semakin ramai. Sepertinya para penghuni mulai bosan dengan petakan ruang yang sebetulnya dibuat nyaman. Mereka memilih untuk sekedar mengopi di kedai yang terletak di dalam lobi sambil mengamati hujan dari jendela-jendela besar di sekeliling ruangan. Aku mendapati ketidaknyamanan di matanya. Dia yang semula lebih banyak diam kemudian mempertontonkan kegelisahan. Menggoyang-goyangkan kakinya seperti anak kuliahan yang sedang menunggu giliran sidang.

Aku hanya diam. Menunggu dia bergerak duluan. Bukan karena aku seperti jual mahal tapi aku tidak ingin memperpanjang perkara yang sebetulnya sudah selesai di belakang. Tidak ada yang perlu lagi dipersoalkan, tidak ada rincian utang yang harus dipertanggungjawabkan. Semua sudah lunas ketika dia beranjak pergi membawa perpisahan. Tidak ada lagi yang perlu dibayar. Tidak ada lagi yang harus diselesaikan.

Setengah berbisik dia berkata sesuatu. “Ikut ke kamarku yu! Aku rindu”

Solo, 13 Desember 2012 

Sabtu, 22 Desember 2012

Rahasia


Tidak akan pernah mudah hidup dengan menenteng rahasia. Apalagi rahasia yang sebetulnya adalah sebuah jalan Tuhan yang tidak bisa dintentang. Rahasia yang akhirnya menjadi semacam pemakluman diri sendiri atas apa yang sudah digariskan. Rahasia yang dimaknai sebagai takdir yang tidak bisa dihindari.

Hidup dengan rahasia seringkali menyulitkan. Membuat semua jalinan yang harusnya mudah dilalui menjadi diperumit karena seribu satu alasan. Proses sembunyi dan pencitraan menjadi hal yang harus biasa dijalani. Berkedok orang lain demi menyimpan rahasia yang masih belum bisa dibongkar sembarangan. Belenggu normatif membuat rahasia yang sudah sekian lama disimpan tetap berada di tempatnya yang aman.

Aku hidup dalam rahasia itu. Bertumbuh dari satu persembunyian ke persembunyian lainnya. Tidak pernah bosan menjadi sosok yang kadang tidak jelas aku kenal. Aku hanya meminjam raganya demi sebuah rahasia yang masih tersimpan rapi di kotaknya.

Aku hidup dalam rahasia itu. Sekuat tenaga menyimpan dalam kubangan agar tidak mudah terbongkar. Alasan klise tidak ingin menyakiti perasaan orang-orang tersayang menjadi hal yang selalu aku gadang. Biarkan aku yang menanggung sendirian, tidak peduli kalau yang justru aku terima hanya sekian banyak kesakitan. Aku mampu. Aku bisa. Bertahan dari deraan agar orang-orang yang aku sayang terselamatkan. Lagipula ini jalan Tuhan, biarkan saja aku dan Dia yang mengetahuinya dalam diam.

Aku hidup dengan sebuah rahasia yang sesekali terinderai. Mungkin tidak sengaja terkuak atau justru malah terbaca secara gampang. Tidak selalu mudah untuk terus bersembunyi. Terkadang sulit untuk terus berlindung di balik sosok asing yang justru malah menyulitkan jalan. Ketika hal ini kejadian aku hanya bisa berdamai. Bernegosiasi agar rahasia yang sudah terinderai tidak menjadi suatu daftar acuan untuk menghakimi. Aku masih aku yang sama. Hanya saja hidup dengan menenteng sebuah rahasia.

Seorang perempuan tampaknya diam-diam bisa membaui. Mengetahui rahasia yang aku simpan sedemikian lama tanpa perlu bantuan perkataan. Dia tahu, tapi seperti halnya aku dia kemudian memilih hidup dalam penyangkalan. Memilih memberikan selimut hangat untuk aku tetap bertahan. Memilih mengesampingkan semua perkiraan dengan tetap mencurahkan perlindungan tanpa takut ancaman yang akan mengintai. Perempuan itu menjelma perisai, benteng kokoh yang melindungi aku dan rahasiaku. Perempuan itu aku panggil Ibu.

Ibu, aku tahu engkau mengetahui apa-apa yang tidak pernah aku jelaskan. Aku tahu sebetulnya engkau bisa membaca dan meraba apa yang tidak aku perinci dengan teliti. Dan aku tahu engkau tidak pernah peduli dengan semua itu karena engkau hanya ingin tetap menjadi ibuku. Ibu yang berjiwa ksatria yang tidak pernah rela anaknya terpanggang di dalam bara. Lewat kasihmu ibu aku belajar banyak hal, tidak peduli kalau rahasia yang aku tenteng semakin berat dari hari ke hari.

Lewatmu aku belajar berjuang. Melaluimu aku belajar proses mengesampingkan. Mendahulukan kebahagiaan orang di atas kepentingan diri sendiri yang sebetulnya juga tidak pernah gampang. Terima kasih untuk senantiasa selalu berada di sampingku ibu. Menjadi Ibu, teman, sahabat dan partner bertengkar yang mengasyikan. Terima kasih juga untuk mau terus hidup dengan rahasia yang aku simpan tanpa ada gugatan. Aku tahu kalau ibu juga pasti tahu.

Selamat hari Ibu, Ibu. Aku mencintaimu.

Senin, 17 Desember 2012

Aku Harus Membunuhnya


Matanya berkilat ketika aku mengembalikan dia pada posisi semula. Ada kemarahan yang menggebu-gebu di matanya, ada ketidaksudian yang berkobar bahkan ketika dia tidak meronta seperti beberapa menit sebelumnya ketika aku yang sudah kesekian kali mengembalikannya pada posisi semula. Mendudukannya di kursi kayu reyot tak jauh dari tempat aku berdiri.

Sudah tidak ada rontaan. Tidak ada lagi cacian dan serapah yang begitu lancar keluar dari bibirnya yang kecil. Kata-kata kotor yang tidak diperkenankan. Kata-kata berbau sampah yang aku sendiri tidak habis pikir dari mana dia menemukan dan mempelajarinya. Kali ini dia hanya diam. Tenang. Tidak melawan. Tapi matanya seakan mau menerkam, menelanjangi aku yang sudah kelelahan.

Aku juga diam. Badanku kuyup oleh keringat. Perlahan aku mengatur irama nafasku yang sempat tersenggal-senggal seperti habis ikut lari halang rintang. Letih baru terasa justru ketika aku sudah diam, padahal tadi dengan kekuatan entah dari mana aku seperti melayani permainannya. Berlari mengejar. Menghindari tendangan. Menangkis pukulan. Mengelak dari jambakan. Dan anehnya aku hanya selalu menghindar tanpa melawan. Mungkin karena aku sangat menyayanginya, dan aku tahu kalau dia juga tidak pernah bermaksud ingin menyakitiku. Dia hanya kadang tidak bisa mengontrol emosi.

Kami berkenalan sudah lama, ketika kami sama-sama masih berumur belasan.  Bersahabat tanpa banyak syarat yang mengikat. Awalnya aku tidak pernah sadar kalau dia itu ada, menganggapnya hanya sebuah ilusi yang konon memang bukan mimpi. Meski begitu dia tidak pernah jera mengajakku bermain. Tidak kapok dengan banyak penolakan yang aku pertontonkan. Dia tidak mengenal kata menyerah dan lama-lama aku yang justru menyerah. Pasrah. Mengikuti semua permainan yang dia tawarkan. Turut serta dalam berbagai rencana rahasia yang dia utarakan.

Awalnya menyenangkan. Bertahun-tahun aku merasa nyaman. Seperti punya sahabat yang bisa dipercaya tanpa takut ditinggalkan atau digunting dalam lipatan. Dia setia. Menemani tidak hanya dalam keadaan bahagia tetapi seringkali justru ketika sedih menghampiri.

Lama-lama aku merasa bosan, apalagi ketika dia berpikir kalau dia juga harus berteman dengan teman yang aku temukan kemudian. Padahal diantara mereka tidak pernah ada kepentingan. Dia mengikutiku ke sekolah, ke tempat les bahkan ke tempat pelarian ketika aku sebenarnya ingin sendirian. Dia seperti hidup dalam ketakutan. Takut aku tinggalkan, takut aku buang ke jalanan ketika aku merasa dia sudah tidak dibutuhkan.

Bersahabat dengannya ternyata menyulitkan. Membuatku kadang tidak bisa merefleksikan siapa aku sebenarnya. Dia selalu ingin ditampilkan. Dinomorsatukan. Muncul disaat-saat yang tidak tepat yang membuat aku kemudian menjadi bahan cemoohan. Dia seperti sengaja melakukan itu semua, agar aku tidak memiliki banyak kawan. Dia ingin aku merasa sendirian karena dia tahu ketika itu kejadian maka aku akan kembali kepadanya. Bermain seperti anak kecil yang tidak tahu jam. Berlarian tidak peduli bahaya di jalanan yang penuh kendaraan. Dia manipulatif. Menciptakan banyak keadaan yang tidak bisa aku hindarkan.

Matanya masih berkilat dan aku masih berdiri kelelahan. Tidak ada lagi rontaan ataupun kalimat-kalimat serapah yang bermunculan. Dia menelanjangiku dengan tatapan yang artinya tidak bisa diejawantahkan. Penuh amarah dia memandangiku yang nafasnya masih sedikit menderu. Sejenak dia tersenyum. Senyum picik yang menandakan kalau dia merasa memenangkan pertandingan. Senyum yang justru aku benci ketika aku merasa kalah.

Tapi itu dulu. Saat dimana aku sebetulnya mengalah karena lelah. Saat dimana aku berlaku mengenakan logika dibandingkan nafsu. Kali ini aku tidak boleh lagi kalah. Bosan rasanya menjadi marjinal di lingkungan yang seharusnya aku memegang peranan. Kali ini aku tidak boleh lagi mengalah, karena kesempatan yang banyak aku berikan justru menjadikannya tidak tahu aturan. Banyak kelonggaran justru menjadikannya kurang ajar.

Dia tersenyum sekali lagi. Dan demi Tuhan aku membenci caranya tersenyum. Matanya masih berkilat-kilat tapi kali ini bukan berisi amarah melainkan olokan. Sepertinya dia masih ingin bermain, menguji kesabaranku yang sudah setipis kelambu.

Mendadak dia bangkit sampai kursi kayu reyot yang didudukinya terjengkang ke belakang. Dia berlari melintasi ruangan menuju ke pintu yang sedikit terbuka. Sesaat dia membalikan badannya dan menjulurkan lidahnya tanda ejekan. Aku tidak kaget karena aku sudah menyimpan awahan. Ancang-ancang yang sudah dipersiapkan ketika dia tiba-tiba berulah seperti barusan.

Dengan kekuatan penuh aku mengejarnya dan ketika dia sudah ada dalam rengkuhan, aku cengkram bahunya. Dia terpelanting ke lantai, membalikan badannya dan tersenyum dengan cara yang sungguh aku benci. Dia salah kalau dia pikir aku akan mengangkat dan mendudukannya lagi di kursi. Tidak, kali ini dia salah. Aku tidak ingin bermain lagi. Aku lelah. Kurekatkan tanganku di lehernya dengan posisi kedua ibu jari ada di bagian depan. Aku mengalirkan tenagaku kesana. Aku mencekiknya.

Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak lama. Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak dulu. Aku seharusnya membunuh dia, anak kecil yang ikut tumbuh dalam tubuh dan pikiranku. 

Senin, 10 Desember 2012

Harita

Nemu tulisan ini di komputer lama :


Eta surat ondangan masih keneh dicekelan ku sim kuring. Kertasna geus lecek kusabab sering dibuka, diremes terus dibuka deui. Sigana kuring geus ngalakukeun puluhan nepi ka ratusan kali eta lalampahan ti mimiti eta ondangan nepi ka leungeun kuring .

“Kuring hayang anjeun datang. Kuring hayang anjeun nyakasian eta poe sakral, poe dimana sabenerna kuring miceun hiji impian, salilana. Impian anu can kungsi kuring perjuangkeun, can sempet oge kuring mimitian. Hanjakal, kuring leuwih tiheula digeuingkeun ku kaayaan. Waktu ngageuingkeun paksa kuring tina impian, maksa kuring ngaguar lampah dina lorong kanyataan” manehna ngomong bari nyodorkeun ondangan nu warnana gandaria ka hareupeun kuring.

Kaayaan rumah makan beurang eta rame pisan, tapi hate kuring sepi. Cipanon rasana parebut menta dikaluarkeun, tapi sakuat tanaga kuring nahan. Rasana geus cukup kuring ceurik balilihan, kusabab ceurik henteu nganteurkeun kuring ka dimensi anu dipikaharep. Kuring tetep jadi kuring, jelema anu dipaksa ngadange hatena soek. Sorangan. Kuring narima eta ondangan dina parasaan hampa, satengah eungap.

“Jang naon kuring datang? Kapentingana naon kuring kudu ngahadiran eta acara? Teu bisa kitu anjeun ngaraba hate kuring sakeudeung, mikirkeun parasaan kuring. Geuslah, kuring geus berusaha ikhlas ngaleupas anjeun. Entong ngabebani deui kuring!” Satengah ngagorowok kuring ngucapkeun eta kalimat, untung kuring masih sadar mun eta kajadian lumangsung di tempat umum. Kuring cengkat terus indit ti hareupeunana.

“Tulunglah....demi kuring!” Masih keneh jelas kuring ngadenge manehna ngucapkeun eta permohonan.

Poe eta datang oge, poe kawinan manehna. Kawinan lalaki anu pernah jadi lalaki kuring. Jelema anu ngenalkeun getar asmara kuring anu mungggaran ka dunia abu-abu. Jelema nu datang sabagai jawaban tina kagelisahan kuring nu beda tinu lian. Bareng manehna kuring ngecap bahagia, bareng manehna kuring nyobaan nu kubatur disebut nista.

Kuring memang datang poe eta, tapi kuring teu kaluar tina mobil. Kuring ukur muka kaca jandela, nempokeun ti jauh. Manehna, lalaki nu pernah kuring puja, lancar tur wibawa ngucapkeun ijab kabul, ngawinan awewe nu geus dipilihkeun kolotna. Manehna, lalaki nu pernah nyieun gambar hate dina dada kuring pinuh, gumujeung pas ratusan tamu ondangan mere ucapan salamet tur untaian doa. Kuring ninggali manehna bahagia, kuring bisa ngarasakeunana.

Duh anjeun panganten lalaki, kuring datang ka kawinan anjeun. Minuhan jangji jeung namatkeun kabahagiaan kuring. Anjeun meureun teu sadar mun kuring datang, kuring memang teu niat ngadatangan anjeun sacara langsung. Kuring ngan ngilu ngadoakeun sangkan anjeun hirup bahagia salalawasna jeung awewe eta. Istri anjeun anu sah. Kuring harep anjeun teu ninggali deui ka tukang, tamatkeun bae jalinan kisah anjeun jeung kuring anu sarua lalaki nepi ka dieu.

Kuring nutup kaca jandela, terus lalaunan nutup panto hate sabari cirambai.

Tulisan ini d buat sebagai tugas pada acara Pasanggiri Mojang Jajaka Jawa Barat 2003. Lewat tulisan ini juga si penulis terpilih sebagai Jajaka Calakan Jawa Barat 2003.

Senin, 03 Desember 2012

I'm What I'm


“Kalau kita terlambat bertemu dengan jodoh, bukan berarti kita harus menghambat orang lain untuk bertemu jodohnya”

Itu quote yang saya buat sendiri sekitaran akhir tahun lalu. Quote yang tiba-tiba muncul di dalam kepala ketika adik saya bertunangan dengan kekasihnya yang sudah dia pacari hampir 3 tahun lamanya. Pertunangan yang dilakukan sebagai langkah awal untuk menuju perkawinan yang direncanakan terjadi tahun ini. Tahun 2012.

Apakah saya sedih? Apakah saya kecewa? Apakah saya merasa ditinggalkan? Apakah saya merasa Tuhan tidak berlaku adil terhadap saya? Jawabannya hanya satu. Tidak. Tidak ada sedikitpun saya merasa sedih, kecewa, ditinggalkan apalagi merasa dizhalimi Tuhan. Boleh percaya atau tidak, tapi itu sesungguhnya yang saya rasakan. Mungkin kebanyakan orang termasuk keluarga dekat saya yang bukan keluarga inti tidak mempercayainya. Tapi saya tidak peduli. Saya tidak hidup dalam opini mereka.

Kalaupun misalnya saya bersedih, kecewa kemudian merasa ditinggalkan apa yang bisa orang-orang itu lakukan? Memberikan penghiburan? Memberikan semangat? Saya tidak butuh semua itu karena sekali lagi saya tegaskan kalau tidak ada perasaan-perasaan semacam itu ketika adik saya yang memang terpaut umur 6 tahun akan melangkah ke gerbang perkawinan. Saya justru ikut bahagia karena dia lebih cepat bertemu dengan jodohnya. Lebih cepat menyempurnakan agamanya.

Rencana hanya tinggal rencana. Adik saya dan kekasihnya karena satu dan lain hal harus mengubur keinginannnya. Selamanya. Mereka membatalkan pertunangannya. Memberi akhiran pada jalinan kasih yang sudah mereka bina selama tiga tahun untuk alasan yang tidak perlu saya tuliskan. Adik saya bersedih, orang tua saya bersedih, sayapun ikut bersedih. Adik saya sedih karena sebetulnya dia masih sangat mencintai kekasihnya. Orang tua saya sedih karena melihat anak bungsunya bersedih. Saya bersedih karena saya juga kasihan dengan adik saya. Dan kadar sedih sayapun bertambah ketika banyak orang di luaran sana yang mengatakan bahwa putusnya hubungan mereka adalah karena doa yang saya panjatkan.

Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran picik semacam itu. Sebetulnya saya tidak lantas peduli. Saya menganggapnya angin lalu meskipun ketika saya konfrontir mereka mengklarifikasinya sebagai sebuah candaan. Candaan yang menurut saya sangat tidak lucu. Candaan dangkal yang tidak perlu saya perpanjang. Tuhan yang paling tahu apa yang saya rasakan. Sampai berbuih seperti apapun saya menjelaskan, kalau orang lain memilih tidak percaya maka ujungnya hanya akan sebuh ketidakpercayaan. Karenanya saya mengembalikan kepada Tuhan, Dzat yang tidak bisa disangkal.

Waktu terus bergerak. Adik saya disembuhkan. Adik saya kemudian bertemu lagi dengan seseorang. Dan romansa kembali dituliskan. Adik saya memiliki kemampuan untuk move on jauh lebih cepat dari pada saya yang seringkali masih tertambat pada perasaan di belakang. Saya harus belajar banyak dari adik saya. Bagaimana melenyapkan atau menyimpan masa lampau. Apakah lagi-lagi saya merasa ditinggalkan? Tidak. Saya kenal siapa adik saya, tipe orang yang tidak pernah bisa sendirian. Semakin cepat dia berpasangan, semakin cepat bahagia akan dia jelang. Dan saya turut bahagia.

Tidak memiliki seseorang selama bertahun-tahun mengajarkan saya untuk tidak pernah bergantung pada orang lain. Saya mampu datang ke undangan pernikahan siapapun sendirian. Saya mampu berbelanja sendirian. Tidak gentar untuk makan di restoran sendirian. Tidak peduli saat sekian banyak mata mempertanyakan ketika saya datang ke bioskop sendirian. Tidak pernah ada masalah. Saya hanya belajar untuk kuat walau tidak dipungkiri kadang saya iri. Sebatas iri yang datang kadang-kadang tanpa diundang.

Sekarang bulan sudah Desember. Satu tahun silam adik saya bertunangan meski kemudian digagalkan. Dan tahun ini rencana seperti dulu kembali diperdengarkan. Adik saya berencana menikahi kekasih barunya tahun depan. Tanpa pertunangan karena mungkin ada sedikit rasa trauma yang menggelayuti selaksa perasaan. Dan saya tetap saya seperti satu tahun silam. Tidak sedih, tidak kecewa atau merasa dizhalimi Tuhan. Mungkin sudah takdir kalau harus adik saya yang terlebih dahulu menemukan tulang rusuknya yang hilang. Saya tidak keberatan.

Katanya lahir, jodoh dan mati sudah diatur oleh Tuhan. Kenapa sebagai hamba saya harus merasa sangsi? Saya yakin Tuhan sudah mempersiapkan seseorang untuk melengkapi hidup saya. Kalau tidak sekarang, mungkin nanti tahun-tahun ke depan. Doakan saja semoga stok sabar saya tidak lantas berkurang.