Halaman

Senin, 17 Desember 2012

Aku Harus Membunuhnya


Matanya berkilat ketika aku mengembalikan dia pada posisi semula. Ada kemarahan yang menggebu-gebu di matanya, ada ketidaksudian yang berkobar bahkan ketika dia tidak meronta seperti beberapa menit sebelumnya ketika aku yang sudah kesekian kali mengembalikannya pada posisi semula. Mendudukannya di kursi kayu reyot tak jauh dari tempat aku berdiri.

Sudah tidak ada rontaan. Tidak ada lagi cacian dan serapah yang begitu lancar keluar dari bibirnya yang kecil. Kata-kata kotor yang tidak diperkenankan. Kata-kata berbau sampah yang aku sendiri tidak habis pikir dari mana dia menemukan dan mempelajarinya. Kali ini dia hanya diam. Tenang. Tidak melawan. Tapi matanya seakan mau menerkam, menelanjangi aku yang sudah kelelahan.

Aku juga diam. Badanku kuyup oleh keringat. Perlahan aku mengatur irama nafasku yang sempat tersenggal-senggal seperti habis ikut lari halang rintang. Letih baru terasa justru ketika aku sudah diam, padahal tadi dengan kekuatan entah dari mana aku seperti melayani permainannya. Berlari mengejar. Menghindari tendangan. Menangkis pukulan. Mengelak dari jambakan. Dan anehnya aku hanya selalu menghindar tanpa melawan. Mungkin karena aku sangat menyayanginya, dan aku tahu kalau dia juga tidak pernah bermaksud ingin menyakitiku. Dia hanya kadang tidak bisa mengontrol emosi.

Kami berkenalan sudah lama, ketika kami sama-sama masih berumur belasan.  Bersahabat tanpa banyak syarat yang mengikat. Awalnya aku tidak pernah sadar kalau dia itu ada, menganggapnya hanya sebuah ilusi yang konon memang bukan mimpi. Meski begitu dia tidak pernah jera mengajakku bermain. Tidak kapok dengan banyak penolakan yang aku pertontonkan. Dia tidak mengenal kata menyerah dan lama-lama aku yang justru menyerah. Pasrah. Mengikuti semua permainan yang dia tawarkan. Turut serta dalam berbagai rencana rahasia yang dia utarakan.

Awalnya menyenangkan. Bertahun-tahun aku merasa nyaman. Seperti punya sahabat yang bisa dipercaya tanpa takut ditinggalkan atau digunting dalam lipatan. Dia setia. Menemani tidak hanya dalam keadaan bahagia tetapi seringkali justru ketika sedih menghampiri.

Lama-lama aku merasa bosan, apalagi ketika dia berpikir kalau dia juga harus berteman dengan teman yang aku temukan kemudian. Padahal diantara mereka tidak pernah ada kepentingan. Dia mengikutiku ke sekolah, ke tempat les bahkan ke tempat pelarian ketika aku sebenarnya ingin sendirian. Dia seperti hidup dalam ketakutan. Takut aku tinggalkan, takut aku buang ke jalanan ketika aku merasa dia sudah tidak dibutuhkan.

Bersahabat dengannya ternyata menyulitkan. Membuatku kadang tidak bisa merefleksikan siapa aku sebenarnya. Dia selalu ingin ditampilkan. Dinomorsatukan. Muncul disaat-saat yang tidak tepat yang membuat aku kemudian menjadi bahan cemoohan. Dia seperti sengaja melakukan itu semua, agar aku tidak memiliki banyak kawan. Dia ingin aku merasa sendirian karena dia tahu ketika itu kejadian maka aku akan kembali kepadanya. Bermain seperti anak kecil yang tidak tahu jam. Berlarian tidak peduli bahaya di jalanan yang penuh kendaraan. Dia manipulatif. Menciptakan banyak keadaan yang tidak bisa aku hindarkan.

Matanya masih berkilat dan aku masih berdiri kelelahan. Tidak ada lagi rontaan ataupun kalimat-kalimat serapah yang bermunculan. Dia menelanjangiku dengan tatapan yang artinya tidak bisa diejawantahkan. Penuh amarah dia memandangiku yang nafasnya masih sedikit menderu. Sejenak dia tersenyum. Senyum picik yang menandakan kalau dia merasa memenangkan pertandingan. Senyum yang justru aku benci ketika aku merasa kalah.

Tapi itu dulu. Saat dimana aku sebetulnya mengalah karena lelah. Saat dimana aku berlaku mengenakan logika dibandingkan nafsu. Kali ini aku tidak boleh lagi kalah. Bosan rasanya menjadi marjinal di lingkungan yang seharusnya aku memegang peranan. Kali ini aku tidak boleh lagi mengalah, karena kesempatan yang banyak aku berikan justru menjadikannya tidak tahu aturan. Banyak kelonggaran justru menjadikannya kurang ajar.

Dia tersenyum sekali lagi. Dan demi Tuhan aku membenci caranya tersenyum. Matanya masih berkilat-kilat tapi kali ini bukan berisi amarah melainkan olokan. Sepertinya dia masih ingin bermain, menguji kesabaranku yang sudah setipis kelambu.

Mendadak dia bangkit sampai kursi kayu reyot yang didudukinya terjengkang ke belakang. Dia berlari melintasi ruangan menuju ke pintu yang sedikit terbuka. Sesaat dia membalikan badannya dan menjulurkan lidahnya tanda ejekan. Aku tidak kaget karena aku sudah menyimpan awahan. Ancang-ancang yang sudah dipersiapkan ketika dia tiba-tiba berulah seperti barusan.

Dengan kekuatan penuh aku mengejarnya dan ketika dia sudah ada dalam rengkuhan, aku cengkram bahunya. Dia terpelanting ke lantai, membalikan badannya dan tersenyum dengan cara yang sungguh aku benci. Dia salah kalau dia pikir aku akan mengangkat dan mendudukannya lagi di kursi. Tidak, kali ini dia salah. Aku tidak ingin bermain lagi. Aku lelah. Kurekatkan tanganku di lehernya dengan posisi kedua ibu jari ada di bagian depan. Aku mengalirkan tenagaku kesana. Aku mencekiknya.

Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak lama. Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak dulu. Aku seharusnya membunuh dia, anak kecil yang ikut tumbuh dalam tubuh dan pikiranku. 

Tidak ada komentar: