Halaman

Senin, 24 Desember 2012

Pada Satu Ketika


Seperti dua orang asing kami duduk bersisian di sebuah lobi hotel yang lenggang. Hujan yang sedikit lebat sepertinya membuat penghuni hotel enggan meninggalkan kenyamannya bergelung dengan selimut tebal di ranjangnya. Seperti yang seharusnya aku lakukan. Seandainya. Ya seandainya aku tidak bertemu dengannya sore tadi ketika lift terbuka dan mempertemukan kami dari 2 dimensi yang sepertinya berbeda. Dia hendak keluar dan aku beranjak masuk.

Jeda tercipta diantara kami berdua. Waktu seperti berhenti berputar dan udara mendadak hampa. Tidak ada reaksi. Tidak ada senyuman atau sekedar kata yang terumbar sembarangan. Kami hanya dibalut diam sampai kami tersadar kalau kami menghalangi jalan. Masih dengan balutan sunyi kami saling menghindar, terpisahkan oleh pintu yang otomatis tertutup. Rapat. Seperti hati kami beberapa tahun ke belakang.

Malam itu kami berbaring saling memunggungi. Masing-masing sibuk dengan jalan cerita yang direka di dalam kepala. Bisa jadi satu jalinan cerita atau malah sama sekali berbeda. Tidak ada bebunyian yang memperiuh, menjadikan adegan demi adegan yang ditayangkan seolah film bisu. Hanya aku dan dia dalam sebuah scene yang berantakan. Tak jelas plotnya, tak jelas siapa yang menjalankan peran antagonis atau sebaliknya.

Aku sudah bisa menerka kemana cerita akan bermuara. Sudah sekian banyak jalinan cerita serupa aku rasa. Hati sudah bebal mungkin meninggalkan jejak kapalan saking seringnya ditimpa kesakitan. Tidak pernah ada penyesalan karena semuanya memberikan pembelajaran. Pembelajaran yang tetap membuatku terperosok pada lubang yang sama berulang-ulang. Dan sepertinya aku tidak lantas kapok, tidak berhenti mencoba melempar peruntungan karena siapa tahu kali ini aku tidak mendapatkan ujung yang bergelung. Kusut.

Dan sepertinya aku benar. Di tengah jalan cerita yang berjalan tanpa aturan, dia kemudian membalikan badan. Memelukku dari belakang. Seketika aku berharap tidak pernah mengenal suara. Bermimpi kalau gendang telinga dan cairan kokhlea bisa menyaring suara mana yang ingin aku dengar dan mana yang ingin aku enyahkan. Seketika aku berharap tuli, mengambil langkah tidak peduli. Tapi aku salah, kenyataan lagi-lagi dijejalkan paksa dalam selaksa perasaan. Membuatku sesak. Limbung seperti orang linglung.

Bedanya kali ini tak ada air mata. Hulu kelenjarnya sudah mengering diganjar kemarau tak berkesudahan. Kesakitan demi kesakitan yang dikecap menebalkan jaringannya, menyisakan luka parut yang menghalangi jalannya cucuran. Tidak pernah ada lagi tangisan, tidak peduli seberapa berat jalan perpisahan yang harus ditelan. Tidak pernah ada lagi isakan, karena aku menjelma kuat. Selalu siap dengan kemungkinan terburuk ketika memulai sebuah hubungan. Hubungan yang seringkali justru tidak menemukan jalan untuk mengantarkanku pulang.

Malam itu dia menggagas perpisahan. Katanya dia sekarang sudah menemukan jalan yang benderang. Jalan yang dari awal tidak pernah dia temukan dari hubungan kami yang hanya dibangun atas dasar kekeliruan. Hubungan yang diretas hanya karena kebimbangan membawa hati berlari. Hubungan yang kemudian dimaknai sebagai sebuah kesalahan dalam memahami jalan yang sudah digariskan.

Dia bilang dia akan menikah. Meninggalkan jalanan becek yang hanya membuat telapaknya kotor oleh lumpur. Menanggalkan semua yang pernah dia kecap sebagai manis tipuan yang hanya membuatnya ketagihan. Dia tersadar, dengan aku dia hanya memperoleh temaram. Hanya menempatkannya di pojokan tanpa sinar. Karenanya dia beringsut pulang, menjajal jalanan yang katanya sudah terbentang. Haluan yang bisa mengantarkannya pada kebahagian.

Aku turut senang sekaligus mendoakan. Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika bisa melihat orang yang disayang menemukan apa yang selama ini dia harapkan. Aku sadar, dengan aku dia tidak akan mendapat apa-apa. Cukuplah aku hanya menjadi sepenggal kenangan yang menyaksikan bagaimana dia tumbuh dan beranjak dewasa hingga akhirnya berlari ketika dia kemudian menyadari. Tidak perlu mempedulikan apa yang aku rasakan, karena rasa seperti itu sudah biasa aku telan. Tidak lagi menyisakan kesakitan mendalam.

Lobi hotel itu semakin ramai. Sepertinya para penghuni mulai bosan dengan petakan ruang yang sebetulnya dibuat nyaman. Mereka memilih untuk sekedar mengopi di kedai yang terletak di dalam lobi sambil mengamati hujan dari jendela-jendela besar di sekeliling ruangan. Aku mendapati ketidaknyamanan di matanya. Dia yang semula lebih banyak diam kemudian mempertontonkan kegelisahan. Menggoyang-goyangkan kakinya seperti anak kuliahan yang sedang menunggu giliran sidang.

Aku hanya diam. Menunggu dia bergerak duluan. Bukan karena aku seperti jual mahal tapi aku tidak ingin memperpanjang perkara yang sebetulnya sudah selesai di belakang. Tidak ada yang perlu lagi dipersoalkan, tidak ada rincian utang yang harus dipertanggungjawabkan. Semua sudah lunas ketika dia beranjak pergi membawa perpisahan. Tidak ada lagi yang perlu dibayar. Tidak ada lagi yang harus diselesaikan.

Setengah berbisik dia berkata sesuatu. “Ikut ke kamarku yu! Aku rindu”

Solo, 13 Desember 2012 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mas apis.... saya asli solo dan tinggal di solo ... saya suka sekali tulisan anda.... saya merasa spt yg mas apis rasakan... boleh saya minta pin mas apis?
329D6C71
jo