Halaman

Rabu, 29 Agustus 2012

Silent Talk


“Kamu tidak lagi mencintainya”

Begitu kalimat pendek yang keluar dari mulutku malam itu. Kamu hanya diam, menunduk. Entah apa yang sedang berkecamuk di dalam kepalamu, yang pasti aku bisa melihat kegalauan tergambar dengan sempurna di sana. Kebimbangan yang bercampur dengan ketidakrelaan melepas hubungan yang sudah dengan mati-matian kamu pertahankan. Bahkan sampai sekarang ketika dia yang kamu pertahankan itu sudah beranjak sekian lama. Meninggalkan jejak berupa gambar-gambar kenangan buram.

Sunyi. Waktu seakan membeku sesaat setelah aku menyadarkanmu kalau kamu tidak lagi mencintainya. Detik tidak rela untuk sekedar beranjak atau beringsut, membawa kita pada titik yang sama untuk beberapa saat. Terpenjara. Dibelenggu bisu.

Aku tahu kalau kamu mengamini. Membenarkan apa yang sudah aku katakan barusan. Tapi egomu terlalu besar untuk mengangguk dan mengiyakan semua kenyataan kalau sebetulnya kamu sudah tidak lagi mencintainya. Kamu hanya terjebak dalam palung yang membuatmu nyaman memelihara kesakitan. Kamu nyaman diayunambingkan pengharapan kalau dia akan kembali pulang seperti yang selama ini kamu yakini. Kamu dibutakan perasaan yang sebetulnya samar.

“Jangan menangis! Aku tidak suka melihatmu mengobral air mata”

Air mata yang dulu pernah tertumpah di sana masih menyisakan jejak, membentuk ceruk-ceruk panjang seperti anak sungai yang kering diganjar kemarau. Tidak usah kamu isi lagi ceruk tersebut dengan air mata baru, air mata yang timbul karena aku berteriak menyadarkanmu kalau sebetulnya kamu tidak lagi mencintainya. Kamu hanya memelihara perasaan kosong yang kamu tahu benar kalau itu tidak pernah ada gunanya. Kamu hanya mencandu kebahagiaan semu yang dulu sempat tergambar meski sekarang tinggal bayang-banyang.

Perlahan kamu kemudian mendongakan kepalamu. Menatapku tepat di bagian mata. Aku melihat kemarahan di sana, emosi yang tersulut karena aku lagi-lagi menyadarkanmu untuk bangun dan berlari. Meninggalkan apa yang selama ini kamu pelihara. Beranjak dari titian yang membawamu selalu berjalan mundur dan menggapai-gapai masa lalu yang sudah usai dulu.

Kamu menjelma menjadi sosok asing yang tidak lagi aku kenal. Kamu berubah. Sedemikian hebatkahnya dia? orang yang dulu mati-matian kamu cinta meski dia tidak mencintaimu dengan kadar yang serupa. Sedemikian berharganyakah dia sehingga kamu rela merubah tabiatmu dan berganti menjadi sosok asing yang sama sekali tidak aku kenal.

Dia tidak seberharga itu, kalaupun dia memang berharga, dia tidak layak mendapatkan perlakuan seperti apa yang sudah kamu lakukan. Bertahun-tahun kamu masih saja memelihara ingatan bahwa kamu memujanya. Bertahun-tahun kamu masih saja berharap kalau dia akan kembali ke pelukanmu yang nyata-nyata sudah dia tolak dari awal. Apa yang kamu hendak perjuangkan?

Dia tidak mencintaimu. Kamu juga sudah tidak mencintainya. Kamu hanya belum rela berpisah dari kenangan yang pernah tergambar samar. Kamu belum ikhlas melepas semua ingatan yang justru membawa selalu duduk di kursi seorang pesakitan. Bangunlah kemudian berlari, mungkin butuh awahan dengan mengambil beberapa langkah ke belakang tapi jadikan itu sarana untuk mengumpulkan kekuatan sebagai bekal bukan sebagai sesuatu yang melemahkan.

Kamu boleh menengok sebentar. Gunakan waktu yang sedikit tersisa kalau kamu ingin mengenang. Setelah itu enyahkan kalau perlu bakar hingga menjadi abu yang harus kamu larung di lautan. Biarkan dia larut dan terencerkan dengan air yang menggenang sejauh mata memandang. Biarkan dia mengambang sebelum lambat laun dia tenggelam dan menghilang. Biarkan kenangan itu meregang nyawanya karena kehabisan nafas dan paru-parunya kembung terisi cairan. Itu lebih baik.

Kamu sudah tidak lagi mencintainya. Sudah saatnya kamu menemukan pelabuhan baru tempat kamu melemparkan jangkar dan bersandar. Jangan banyak memilih jenis lautan, karena bisa saja yang berombak justru akan mengantarkanmu pada tujuan sementara yang tenang akan mengantarkanmu pada kehancuran. Gunakan instingmu. Pertajam nalurimu. Kamu sudah sedemikian berpengalaman sehingga tidak perlu lagi ada kesakitan di depan.

Mari kita sudahi saja perbincangan kita malam ini. Perbincangan dua orang yang sudah sekian lama saling mengenal. Perbincangan yang dilakukan dalam diam. Aku duduk di ruang tamu sementara kamu berdiam di dalam kepalaku.

5 komentar:

Nurwinda Alfiany mengatakan...

Silent talk..
kereeeen,,,,berasa banget,,,emosi nya ngena. hmm graet! lanjutkan ^_^

Anonim mengatakan...

Teruskan menulis...temani gw dg serangkaian kata-kata indah lo....

Nurwinda Alfiany mengatakan...

InsyaAllah gw coba...ya,,wwalau kwalitas tulisan gw masih jauuh.. :P, izin share tulisan mu yang ini ya..gw copy ^_^

Apisindica mengatakan...

@nurwinda: heeeeeey, yang anonim itu bukan gueeeeeee!!!!! kalau copy tolong ditulis sumbernya yah!! (keracunan nulis jurnal ilmiah)

Nurwinda Alfiany mengatakan...

ups....salah.. hehehehehe.. ya iiya lah. qt emng copier tp bukan plagiat :p. cm berhubung bkn elu yang punya jd lum ada izin nih...so lum bisa di copy deh.