Halaman

Senin, 26 Maret 2012

Terintimidasi Siti

Saya menangis di hadapannya. Tidak lagi peduli kalau saya dianggap cengeng atau apalah, yang pasti di depan tatapan matanya yang polos saya tidak bisa membendung kesedihan saya. Mungkin lebih tepatnya terharu, atau mungkin tergugah, atau mungkin jatuh kasihan, atau malah bisa jadi merasa ditampar berulang-ulang. Entahlah. Mata saya hanya panas kemudian air mata tumpah tidak bisa saya tahan-tahan lagi.

Namanya Siti, usianya 7 tahun, tapi kenyataan hidup telah membuatnya menjadi seseorang di luar kisaran angka usianya. Bahkan lebih dewasa dibandingkan dengan saya yang memang sudah benar-benar tua (secara angka). Kenyataan hidup mengharuskannya berjuang dan bertahan kemudian menjadikannya kuat. Pahit hidup dia jalani lewat hidup seorang bocah polos yang saya yakin tidak pernah bertanya dan menggugat Tuhan dengan pertanyaan “Kenapa?”.

Saya kalah telak oleh Siti. Lewat tangan mungilnya yang tidak mengenal lelah, dia mencoba menumpuk cita dan harapan. Bukan untuk siapa-siapa, tapi hanya untuk sekedar bertahan hidup dirinya sendiri dan ibunya yang tidak kalah sengsara. Bocah yang sudah ditinggal meninggal oleh ayahnya ketika dia berusia 2 tahun itu, menyemai kekuatan lewat perjuangan yang seharusnya tidak pernah dia kecap kalau saja keberuntungan berpihak ke jalan hidupnya. Tapi kenyataan adalah kenyataan, dan anehnya dia seperti tidak pernah marah pada takdir, pada ibunya, pada ayahnya yang sudah pergi, bahkan pada Tuhan.

Lewat tanyangan televisi saya mengenal Siti. Lewat jalan cerita yang mungkin dilebih-lebihkan saya mencoba menyelami. Saya tidak peduli dengan jalan cerita yang pasti demi rating sebuah tayangan dibuat sedramatis mungkin, yang demi menjaga kesetiaan para penonton, kesedihan dijadikan komoditas yang diperjualbelikan. Saya tidak peduli, saya hanya melihat Siti dengan perspektif yang tidak lagi sama. Bocah yang setelah acara itu usai saya kirimkan sebentuk doa dan harap semoga jalan hidup ke depannya jauh lebih baik. Hanya itu yang saya bisa lakukan.

Siti dengan tangannya yang tidak seberapa kuat berjalan berkeliling kampung puluhan KM untuk menjajakan bakso. Dengan 1 buah termos nasi berisi bakso dan kuah, yang tentu saja panas di tangan sebelah kanan, dan mangkok-mangkok serta sendok dalam ember berisi air di tangan sebelah kiri, siti menjingjing harapan. Demi upah sebesar 2000 rupiah per hari, Siti mengorbankan kesempatannya untuk bermain seperti bocah lain. Untuk menyambung hidup.

Kemana ibunya? Si Ibu tidak kalah sengsara. Setiap hari dia bekerja jadi buruh tani yang hanya akan dibayar ketika padi yang dia rawat sudah bisa dipanen. Berarti itu harus menunggu paling tidak 3 bulan atau lebih, yang pasti dalam hati si ibu berharap kalau rasa lapar bisa ditunda sampai 3 bulan sekali. Ibu Siti yang saya yakin bukan tidak ingin membahagiakan Siti, tapi lagi-lagi kenyataan yang harus mereka telan tidak bisa membuatnya berbuat apa-apa.

Buat mereka yang sudah sangat terbiasa makan sehari sekali, itupun sepiring berdua dengan lauk hanya taburan garam atau kalau sedang beruntung bisa memasak tumis kangkung yang mereka minta di sawah tetangga, hidup adalah seperti itu. Getir. Tidak ada keinginan untuk memiliki ini dan itu, cukup hanya ingin memiliki segelas beras untuk dimasak besok hari dan lusa. Keinginan sederhana yang ternyata tidak sederhana untuk diwujudkan.

Tidak perlu saya ceritakan bagaimana kehidupan Siti dan sang ibu menampar saya. Tapi di tengah keterintimidasian yang dilakukan Siti, saya belajar banyak hal. Yang paling saya garis bawahi adalah saya belajar bahwa berdoa itu lebih penting untuk kebergunaan kita untuk orang lain, dibanding berdoa meminta hal-hal yang sangat aku-sentris seperti yang kerap saya lakukan. Siti mengajarkan itu kepada saya, karena di akhir tanyakan ketika Siti diwawancara, Siti dalam bahasa sunda yang fasih untuk kesekian kalinya mengajarkan hal tersebut. Sambil menampar saya berulang-ulang.

Saya sadur petikan wawancara akhir Siti ke dalam Bahasa Indonesia.

Reporter : “Siti, kalau Siti berdoa, biasanya Siti meminta apa sama Tuhan?”

Siti : “Siti berdoa semoga Siti diberi terus kesehatan dan kekuatan agar Siti bisa terus membantu Emak mencari uang”

Reporter : “Kalau berdoa untuk diri Siti sendiri apa?”

Siti : “Siti berdoa agar Siti bisa menabung untuk membeli seragam dan tas yang sudah sobek”

Sesederhana itu.

Tidak ada komentar: