Halaman

Senin, 12 Desember 2011

Jendela Tua

Tidak ada yang tahu kalau diam-diam aku sering bercerita kepada jendela tua di rumah itu. Jendela tanpa tirai yang menjadi semacam tempat pelarianku dari berbagai macam persoalan. Kepadanya aku tidak hanya bercerita, tapi aku menggambarkannya dengan serangkaian huruf-huruf yang mungkin hanya dipahami oleh aku dan dia.

Pada bingkai kayunya, aku membisikan semua rahasia yang sejak lama aku simpan. Aku mempercayainya sehingga aku tidak khawatir kalau dia akan mengkhianatiku dengan membewarakannya kepada angin. Aku mempercayai dia segenap hati, apalagi aku dan dia sudah melakukan sumpah darah yang tidak akan kami langgar. Kulukai ujung jariku dengan peniti kemudian kuteteskan ke salah satu bagian bingkainya yang berlubang. Sumpah sakralpun kemudian aku rapal dalam diam.

Meski dia tidak bicara apa-apa, aku tahu kalau dia mengerti tentang kesepakatan kami. Karena itu jugalah aku mempertaruhkan kepercayaanku kepadanya. Menampilkan diriku yang paling polos tanpa berbalut lagi banyak kebohongan. Di hadapannya aku ingin tampil selayaknya anak kecil yang tidak pernah bisa menyembunyikan apa yang tengah dia rasakan. Di hadapannya aku ingin muncul sebagai aku yang belum pernah mengenal dusta.

Sering malam-malam aku mengendap ke arahnya. Suara aku buat seminim mungkin karena aku tidak ingin membangunkan banyak orang yang justru akan merusak ritualku bercerita pada sebuah jendela tua. Dengan menyenandungkan syair lirih aku mulai bercerita tentang lagi-lagi cinta. Kuharap dia tidak akan pernah bosan dengan penggalan-penggalan cerita yang aku utarakan. Cerita mengenai cinta yang mungkin membosankan. Cinta yang seringkali tidak pernah tersampaikan.

Aku tidak peduli. Aku terus bercerita. Aku terus memupuk kepercayaan kepada sebuah jendela tua.

Dan dia memang setia. Sampai suatu saat ketika dia tergoda oleh sebungkus kembang gula. Dengan lancar dia menceritakan apa saja yang sudah aku percayakan kepada orang asing yang berteduh di dekatnya kala hari hujan. Hanya demi sebuah kembang gula murah dia mengkhianatiku. Demi sebuah sensasi manis perantaraan kembang gula yang dijanjikan orang asing itu dia mengumbar rahasiaku sampai ke yang paling kelam.

Tentu saja aku marah. Merasa dikhianati oleh seorang sahabat yang diikat oleh sumpah darah tempo hari. Dengan berlari aku mendatanginya. Nafasku tersenggal-senggal karena diburu amarah seperti sumbu yang tersulut minyak di bagian bawahnya dan api di atasnya. Aku berteriak-teriak di hadapan jendela tua yang selama ini menjadi sahabatku. Meminta penjelasan atas apa yang sudah dia lakukan. Mengkhianati sumpah untuk tidak pernah menceritakan apapun yang aku ceritakan pada orang lain, apalagi orang asing. Aku benar-benar marah.

Di ujung penggugatanku, aku menangis. Rasanya dikhianati oleh jendela tua yang sudah aku anggap sebagai sahabat yang paling setia itu seperti dibenamkan pada pasir hisap tanpa bisa bernafas lagi. Aku terus menangis. Menggugatnya dengan berbagai pertanyaan sambil kutunjuk-tunjuk tempat dimana aku meneteskan darahku pada bagian bingkainya yang berlubang. Tapi dia tetap diam.

Lama hening membalut kami. Aku kelelahan setelah menuntaskan amarahku yang menggebu, sementara dia masih saja diam tidak menggubris kata-kata yang sudah aku lontarkan. Di ujung kelelahanku, perlahan aku melihat sekelompok embun menutupi kacanya yang tidak bertirai. Embun itu berkumpul dan lama-lama berubah menjadi tetes-tetes air yang membanjiri bingkainya yang usang dimakan usia. Dia menangis.

Sesaat kemudian aku mendengar dia berbisik pelan. Aku dekatkan telingaku ke arahnya agar bisa dengan jelas menangkap apa yang ingin dia utarakan. Masih sambil menangis dia berbisik “Aku menceritakan kepada orang lain karena aku sangat menyayangimu. Aku ingin ada orang lain yang tahu kalau kamu sebetulnya butuh pertolongan”

Aku kemudian hanya bisa diam. Tanpa daya. Kemudian yang kulihat hanyalah gelap.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hiks hiks... Jendela Yang arif bijaksana...

Apisindica mengatakan...

@anonim: siapa itu arif bijaksana? gw sih kenalnya arif arianto, bos gw di kantor :) #jayus