Halaman

Rabu, 14 Desember 2011

Ilalang

Sebut saja dia ilalang. Gulma perusak tanaman budidaya yang mudah sekali tumbuh tanpa perlu perawatan yang berarti. Tidak perlu pupuk, tidak perlu pengairan yang cukup, dan dia akan tetap hidup dengan subur menghimpun suatu kekuatan.

Lewat geragih yang tidak tampak mata dia beranak pinak membentuk suatu perkumpulan sehingga semakin sulit dihilangkan. Dan dia pintar, ketika lingkungan sebegitu tidak menguntungkan dia meranggaskan tajuknya hingga tampak seolah-olah mati. Tapi di dalam tanah dia bersinergi, mengumpulkan kepercayaan-kepercayaan baru untuk diretasnya kembali ketika hujan mulai datang di penghujung kemarau panjang.

Sebut saja dia ilalang. Musuh yang paling ditakuti tanaman budidaya yang disayangi petani. Penuh rakus ilalang akan menghabiskan nutrisi yang digelontorkan petani untuk tanaman yang mereka sayangi. Tanpa kenal ampun ilalang akan berkompetisi untuk memperoleh area hidup yang sedemikian luas dengan cara tumbuh lebih cepat dari semestinya. Lewat mekanisme alelopati, ilalang mengeluarkan racun untuk membunuh saingannya.

Dan apakah dengan segala usaha kerasnya itu dia lantas mendapatkan kasih sayang petani? Jawabannya tetap tidak. Petani akan berusaha lebih giat untuk melenyapkannya, tidak peduli harus mengeluarkan biaya ekstra bahkan mengutang pada tengkulak. Atau ketika sang petani sudah sampai pada tahap frustasi, dia akan membiarkan ilalang berkembang di lahannya tanpa pernah dia perhatikan.

Dan aku pernah hidup seperti ilalang. Tumbuh subur di pekarangan orang, berharap kalau suatu saat pemilik pekarangan tidak lagi merawat bunga layu yang tumbuh di sudut halaman dan berpaling ke arahku sekedar mencari penyegaran. Bunga itu sudah layu, sudah tidak pantas dipertahankan menghiasi pekarangannya yang nyaman. Karenanya aku berusaha keras menjalar ke semua penjuru untuk mencuri sedikit perhatian. Menyemai kepercayaan kalau suatu saat dia akan tersadar dan memilihku sebagai pengganti bunga yang layu.

Bunga itu tetap di tempatnya. Mengeringkan sisa kelopaknya yang pernah menjadi bagian indah dari pekarangan yang nyaman. Aku tahu bunga itu tidak ingin dipertahankan, aku tahu bunga itu hanya menuntaskan sisa-sisa harapannya untuk kemudian mati total. Tidak peduli pada pemilik pekarangan yang bersikukuh ingin mempertahankan meski dia tahu alur cerita yang akan dia hadang.

Dan aku salah. Memilih menyemai benih ketika bunga itu sepenuhnya belum meranggas kering. Dan aku salah. Melancarkan banyak usaha ketika pemilik pekarangan masih gamang antara bertahan atau bergerak meninggalkan. Pemilik pekarangan dilimbung bingung, sehingga akhirnya dia memilih untuk tidak memperhatikan ilalang kusam yang tumbuh disudut yang berlainan.

Sebut saja aku ilalang. Tumbuh liar di pekarang yang masih menjadi milik orang. Penuh upaya aku membuktikan kalau aku mampu bertahan walau tidak banyak kasih yang dicurahkan. Sebut saja aku ilalang, gulma pengganggu hubungan orang. Tanpa bermaksud ingin dibandingkan, aku hanya hadir dalam sebuah kekeliruan. Hingga akhirnya aku lelah dan meranggas kerontang.

Selayaknya ilalang, akan ada saatnya untuk aku menepi kemudian mati.

3 komentar:

Farrel Fortunatus mengatakan...

Ayo semangat Apis!! walau kamu menganalogikan kamu sebagai ilalang. Bukankah, ilalang ga selamanya hadir sebagai pengganggu. Ilalang juga bisa berguna sebagai tanaman obat lho.
Dan tentu saja bisa berguna buat orang-orang yang kamu sayangi dan membutuhkan kamu.

Apisindica mengatakan...

@farrel: terima kasih farrel! *puk puk

erikmarangga mengatakan...

igh, petanix aja yang ratu bimbang! dia hanya sudah terbiasa dengan bunga itu, bukan sayang sama bunganya. Suruh aja dia cabut. Tapi ilalang disandinhkan dg bunga layu pun akan menjadi keindahan tersendiri loh bagi si petani:D