Halaman

Jumat, 16 Desember 2011

Jalanan Lengang

Lengang. Jalanan sunyi serupa pernah aku lewati beberapa kali. Jalanan tak beraspal yang menyimpan banyak jebakan berupa kubangan di tempat-tempat yang tak terduga sama sekali. Jalanan yang harus kulalui karena tidak ada jalan lain sebagai alternatif, dan kalaupun ada harus memutar jauh dan menghabiskan banyak waktu.

Aku tidak memilih jalan memutar, karena aku belum tahu medan. Belum tentu jarak yang lebih jauh menjanjikan kemulusan tanpa lubang di jalanan. Bagaimana kalau ujungnya sama saja membuat kakiku terjerembab pada kubangan yang hampir sama? Aku tidak mau bertaruh karena seringkali aku tidak beruntung. Menggadaikan perasaan percaya yang tetap tercuri simalakama.

Iya, aku terlalu penakut. Tidak mau mengambil banyak resiko dengan mencoba hal-hal baru. Aku memilih jalanan lengang yang harus dilalui tanpa penerangan. Lebih memilih meraba-raba dalam gelap dan hati-hati dalam melangkahkan kaki agar tidak berdarah saat terkatuk kerikil tajam yang acak tersebar. Aku memilih jalanan lenggang yang sepi dari lalu lalang kendaraan, sehingga aku benar-benar harus mengandalkan instuisiku sendiri. Percaya kepada apa yang aku percaya.

Sempat aku berguru pada matahari, menyerap sinarnya sepenuh mungkin dan berharap biasnya dapat kusesapkan dalam setiap sendi tubuhku sehingga dapat berpendar ketika aku dalam kegelapan. Tapi sia-sia. Matahari tidak memperbolekanku berpendar kala malam. Dia membagi sinarnya pada rembulan dan gemintang, tapi memadamkan pendarnya dalam tubuhku. Sementara bulan dan bintang seakan cemburu sehingga tidak mau menuntunku dengan cara bersembunyi di balik awan kelabu. Lagi-lagi aku berjalan dalam kegelapan. Sendirian.

Aku memilih jalanan lengang ketimbang jalanan yang ramai. Ketika sepi aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya, tidak perlu bertopeng untuk sekedar menyenangkan hati orang yang sibuk hilir mudik di trotoar jalanan yang ramai. Dalam senyap aku menemukan banyak kedamaian, terhindar dari banyak pertikaian atau paling tidak dari debu dan asap hitam knalpot kendaraan. Aku bisa menjadi aku. Aku bebas berekspresi tentang sesuatu.

Iya, mungkin aku terlalu penakut untuk menghadapi kerasnya hidup di jalanan. Aku belum cukup bekal untuk dilepas di rimba yang penuh dengan kepalsuan. Dengan cahaya-cahaya benderang yang yang justru menyesatkan, aku takut tidak bisa lagi pulang. Dengan warna-warna yang memabukkan, aku khawatir malah tidak mau pulang sementara aku sadar bahwa akhirnya aku harus hidup dengan benar. Tanpa embel-embel kepalsuan.

Sudah saatnya saya menanggalkan baju yang selama ini saya pakai, menggantinya dengan kain yang akan saya kenakan dalam keabadian. Merintis lagi kepercayaan bahwa kehakikian akan datang meski belakangan dan lewat jalan sepi yang temaram. Bukan lewat jalan yang penuh gegap gempita yang selama ini aku bayangkan.

Dalam ketakutan aku memilih jalanan lengang yang pasti penuh cobaan. Dalam ketakutan aku berserah pada doa agar aku selamat sampai tujuan, tidak peduli kalau perjalanan ini menghasilkan ribuan benjol kapalan. Setidaknya aku ingin hidup lebih baik dari sekarang, tidak lagi menyangkal dan bernafas lega tanpa banyak penyesalan.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Wow akhirnyaaa :). Either way, happy for you dear. Pokoknya didukung terus lah!

JC mengatakan...

Written Beautifully!

Apisindica mengatakan...

@anonim: akhirnya apa yaaaaah? *gagarotonggong*

but aniwey, terima kasih for always being there, dear!

@JC: teri maksih! *peluk*