Sudah hampir beberapa hari saya mendiamkan seorang teman.
Meskipun kami memang jarang bertemu secara langsung, tapi komunikasi melalui
gadget selalu dilakukan hampir setiap saat.
Sejak beberapa hari ini tidak ada lagi komunikasi. Baik saya maupun dia tidak
ada yang menggagas untuk memulai percakapan duluan. Terdengar kekanak-kanakan?
Mungkin. Tapi saya benar-benar terluka.
Saya kecewa dengan sikapnya. Saya tersinggung dengan
ucapannya. Mulut kami berdua memang tajam, seringkali melemparkan
ungkapan-ungkapan yang sedikit sarkastik sebagai bahan becandaan. Semua tidak
pernah jadi masalah, karena kami berdua faham benar di koridor mana kami
berjalan. Kami menganggap bahwa semua becandaan itu adalah sebuah refleksi rasa
sayang, suatu bentuk ekspresi yang justru merekatkan. Sampai beberapa hari yang
lalu, ketika saya terlukai sampai batas nurani. Mungkin selama ini saya
dianggap tidak memiliki nurani, jadi menurutnya tidak masalah melemparkan
ungkapan yang kemudian membuat saya tersakiti.
Semua hal sering kami
jadikan bahan becandaan. Dari mulai kesendirian saya yang menurut dia janggal
dan membuat saya seperti besi yang karatan sampai keberadaan pacarnya yang
sering dia sembunyikan. Saya memanggil pacarnya sebagai pacar artifisial,
sebuah rekaan. Bagaimana tidak, dia selalu berprilaku seperti layaknya seorang
yang tanpa pasangan. Saya tidak peduli kalaupun dia berbohong toh saya tidak
merasa dirugikan. Semua itu hanya jadi bahan banyolan, seperti halnya lelucon
mengenai saya yang seringnya dibutakan keadaan. Menurutnya.
Kami saling mentertawakan kebodohan. Membuat masing-masing
sadar dengan cara yang mungkin aneh terdengar. Kami menikmatinya karena
mentertawakan hidup adalah salah satu cara untuk merawat kewarasan. Tapi kami
tidak pernah bercanda ke area yang sensitif seperti keluarga, agama kami yang
berbeda dan juga bagaimana kami memaknai takdir yang sudah tertuliskan. Kami
sama-sama sadar area tersebut bukan hal yang patut untuk dijadikan bahan
bully-an. Tabu untuk kami menistakan diri dengan membuat lelucon tak pandai
yang akan melukai perasaan. Sampai kemarin. Akhirnya kejadian.
Saya memang seorang pegawai negeri sipil, dan semua orang
tahu kalau jam kerja PNS memang yang paling menyenangkan. Masuk jam setengah
delapan dan pulang tepat jam 4 petang. Seringnya tidak ada yang melembur dengan
alasan mengejar jemputan atau memang tidak ada pekerjaan yang harus
diselesaikan dalam deadline. Saya sudah kenyang dengan becandaan kalau PNS
hanya makan gaji buta, makan pajak rakyat dengan kinerja yang tidak setimpal.
Semua saya telan, karena menurut saya itu hanya sebuah penggeneralisasian. Saya
mengamini karena mungkin memang banyak orang yang berlaku seperti itu di luaran.
Selama saya tidak melakukan hal serupa, saya hanya tersenyum tanpa mengajukan
gugatan pembenaran.
Tulisan ini dibuat bukan sebagai sebuah pembelaan. Penyangkalan
dari semua stigma orang yang sudah terbentuk sedemikian kuat di masyarakat. Kalau
tidak percaya, sekali-kali berkunjunglah ke laboratorium dimana saya bekerja,
maka akan terlihat ratusan sampel yang harus dianalisis sebagai bahan
penelitian. Akan didapati tumpukan data yang harus kami analisis sebagai alat
untuk membuat rekomendasi di lapangan. Ah tapi mungkin kebanyakan akan
menganggap itu hanya bualan. Tidak mengapa karena saya tidak hidup dalam jalan
pikiran orang. Kalau saya melakukan pembelaan, saya akan masuk dalam jeratan
pembenaran.
Dalam perbincangan dengan teman saya tersebut entah dari
mana arahnya dan entah apa topiknya karena saya lupa, tiba-tia dia seperti
menyerang apa yang selama ini saya kerjakan. Dia menyebut saya hanya memakan
gaji buta karena jam 5 sore sudah ada di kosan dan bersiap mengunjungi area
kebugaran. Saya tertawa seperti biasa, candaan klasik yang mungkin tidak akan
bisa diperbaiki. Stigma sudah terbentuk, sulit untuk dihancurkan apalagi ada
oknum-oknum yang masih berlaku seperti demikian. Saya membela diri dengan
menyebutkan bahwa jam kerja saya memang sudah usai dan saya tidak punya
tanggungan pekerjaan yang harus dikerjakan melebihi batas jam kantoran. Tapi
dia menyerang, dia bilang sudah rugi membayar pajak negara hanya untuk membayar
PNS yang bermental seperti saya.
Saya tertawa lagi. Sudah sangat terbiasa dengan ejekan
seperti yang baru saja dia tujukan. Saya membalas dengan menyerang pacar
artifisialnya yang tidak pernah dia perkenalkan tetapi selalu membelanjainya
dengan barang-barang mahal. Candaan yang selalu kami ungkapkan sejak dulu
berteman. Tidak pernah ada masalah. Tapi dia berekasi berlebihan, dia bilang
saya tidak butuh seorang pacar yang bisa membelanjai barang-barang mahal karena
saya bisa mengakses keuangan laboratorium saya dengan gampang. Dia bilang saya
seorang koruptor, memakan uang yang sebetulnya bukan hak untuk didapatkan.
Ludah yang tertelan mulai pahit saya rasakan. Saya diam. Dan
dia menganggap sikap diam saya adalah bentuk persetujuan. Dia mempertanyakan
kenapa saya diam, dia bilang saya mengakui kalau saya pemakan uang haram.
Padahal boleh dicek ke laboratorium saya bagaimana kondisi keuangannya. Badan
pemerintah dimana saya bernaung bukan badan yang basah oleh uang, bahkan tidak
ada anggaran untuk membayar seorang outsourcing sehingga peneliti seperti saya
harus meluangkan waktu untuk mencuci Cawan Petri dan tabung reaksi yang
berjumlah ratusan sendirian. Tapi saya hanya diam. Saya takut bereaksi ketika
amarah mulai membakar kesadaran.
Melihat saya diam, dia terus mengejar. Mempertanyakan sikap
saya yang lain dari kebiasaan melawan. Dia memborbardir saya dengan banyak
pernyataan. Dia bilang pantas saja saya bisa belanja pakaian dengan brand
terkenal ternyata saya mendapatkannya dengan memanipulasi cash flow keuangan
bidang. Dia juga mempertanyakan dari mana uang yang biasa saya gunakan untuk
pelesiran dan jalan-jalan. Gaji PNS yang kecil katanya tidak mungkin bisa
menghidupi gaya hidup saya yang sangat berlebihan. Ketika saya bilang saya
punya bisnis sampingan, dia menanggapinya dengan bilang bahwa bisnis sampingannya
adalah melicinkan penyalur barang-barang kebutuhan kantor yang mau menyogok
saya dengan setumpukan uang. Nauzubillah su’ma Nauzubillah.
Dia mungkin lupa kalau saya punya tabungan. Uang yang saya
peroleh dari menyisihkan sedikit demi sedikit recehan. Dia mungkin lupa kalau
sebelum menjadi abdi negara saya pernah bekerja di perusahaan multi-nasional
dengan jabatan yang bisa dibilang menyilaukan. Kenyamanan yang kemudian saya
tinggalkan demi ambisi untuk bisa sekolah lagi. Kenyamanan yang menyisakan
pundi rupiah lumayan cukup di dalam rekening tabungan. Mungkin dia lupa kalau
saya juga punya pekerjaan sampingan, menjadi master of ceremony dari satu acara
ke acara lain sampai sekarang. Tapi dia dibutakan oleh status saya sebagai
seorang abdi negara yang memiliki jam kerja dari jam setengah delapan sampai
jam empat petang. Seseorang yang tidak pantas memiliki uang lebih meskipun saya
membanting tulang mengerjakan proyek untuk kemajuan teknologi di negeri ini.
Sebelum saya meledak sore itu, saya menghapus pin BB-nya
dari handphone saya. Terdengar drama. Terlihat seperti kemarahan anak umur
belasan. Saya tidak peduli. Saya kemudian merefleksi betapa sebetulnya banyak
pertanyaan yang ada dalam diri teman saya itu mengenai kehidupan yang saya
jalankan. Selama kami berteman, rupanya dia menyimpan beribu pertanyaan besar
hingga kemarin akhirnya dia menemukan jalan. Seperti tanggul yang hancur dia
membanjiri saya dengan banyak kepenasaran. Kemudian saya hanya bisa bertanya,
seperti itukah seharusnya seorang yang disebut teman?
4 komentar:
dalam Islam, kita dilarang berlebih lebihan dalam banyak hal termasuk dalam bercanda dan memberi panggilan atau julukan yg tidak baik ke orang lain.Lagipula mood orang itu tak selalu sama sesuatu yg terasa biasa akan jadi luarbiasa disaat kondisi sedang sensitif. Jauhi candaan yg tidak cerdas.
Kupikir sangat tidak bijak menilai pekerjaan seorang teman. Dan memang melelahkan berteman dengan teman yang seperti itu.
Hapun PIN kekanakan? Tidak juga! Itu sah-sah saja.
APis ... ini hidupmu! Kamu berhak melakukan apapun selagi tidak melanggar hukum dan nilai-2 sosial di masyarakat.
Kehilangan satu teman yang menyebalkan lebih baik daripada jiwamu lelah menghadapi teman misteriusmu itu.
Do your best, PIS!
Begitulah proses pertemanan. Kita tidak selalu bisa mengamini semua keinginannya.
Berbeda pendapat itu sah-sah saja, bukan?
Soal mendelkon BB, itu hak kamu sepenuhnya. Kalau tidak nyaman dengan seseorang, hapus saja dia dari pertemanan.
Biasanya ada bagusnya kalau dalam amarah, kita diam sejenak. Supaya amarah kita tidak berubah menjadi pisau yang bisa menyakiti hati orang lain. Karena ucapan yang sudah keluar dari mulut itu sama seperti batu yang sudah dilempar, tidak bisa ditarik kembali, walaupun yang menjadi sasaran sudah berdarah-darah baik di kepala maupun di hati...
Posting Komentar