Kamu bilang aku pecundang. Terlalu cepat menyerah pada
keadaan padahal perjuangan belum sepenuhnya dilakukan. Kamu bilang aku
pengecut. Memilih untuk berlari meninggalkan pertandingan padahal wasit belum
sempat meniup peluit tanda babak yang sedang digelar sudah usai. Kamu bilang
aku penakut. Gentar menghadapi halang rintangan yang menghadang padahal semua
itu kadang hanya berupa bayang-bayang.
Mungkin aku memang pecundang, terlalu cepat menyerah pada
keadaan. Tapi lihat! Aku melangkah pergi tidak dengan langkah gontai. Aku pergi
dengan wajah tegak menatap masa depan yang aku tidak tahu seperti apa akan
kejadian. Aku hanya yakin kalau setelah ini semua akan jauh lebih baik. Tidak
ada lagi kesakitan yang membuat keropos perasaan. Tidak ada lagi tangisan yang
terjadi diam-diam tanpa sadar. Semua gelap akan berubah menjadi terang, paling
tidak samar. Menemukan takdir serupa sinar.
Boleh saja kamu panggil aku pengecut. Berlari seperti
menghindar dari kenyataan yang sudah pernah aku putuskan untuk dengan sadar
dijalankan. Tapi lihat! Lagi-lagi aku berlari tidak tunggang langgang seperti
seorang maling yang ketahuan. Aku berlari dengan awahan. Penuh ancang-ancang
dengan kaki satu sesaat terpaut di belakang. Awahan yang memang sengaja diambil
untuk menunjukan bahwa apa yang aku lakukan adalah sebuah kesadaran. Beranjak
setelah membenahi apa-apa yang harus diselesaikan. Aku telah memutuskan. Telah
membewarakan. Sehingga aku tidak punya lagi hutang. Termasuk penjelasan.
Tidak pernah menyenangkan menjadi seorang selingkuhan.
Tumbuh liar di pekarangan orang. Mengandalkan sisa-sisa kasih sayang yang
diberikan tidak secara terang-terangan. Lebih banyak kesakitan dibanding
kesenangan ketika aku memutuskan menjadi seorang selingkuhan. Memunguti
remah-remah cinta yang tercecer di halaman milik orang. Harus lebih banyak
bersabar ketika sekedar ingin memamerkan hubungan yang sedang dijelang.
Sembunyi-sembunyi karena di luaran banyak orang yang dirasa akan membahayakan.
Sedemikian lama semua itu aku telan. Perlahan sampai aku
pikir semua sudah menjadi pembiasaan dan tidak akan lagi menyakitkan. Telah
banyak hati ini aku belanjakan untuk sesuatu yang sebetulnya tidak perlu.
Membeli dan merinci apa yang seharusnya sudah menjadi hak aku sebagai seorang
pasangan. Sayang, semua itu tidak terbayar. Aku tetap saja tersisihkan. Menjadi
nomor sekian yang ditutup-tutupi dengan banyak kebohongan. Aku tetap saja
menjadi selingkuhan. Tumbuh kerontang di sudut pekarangan subur yang terawat
nyaman.
Betulkah aku penakut? Kamu salah besar. Aku justru
pemberani. Lebih berani dari apa yang selama ini aku bayangkan. Aku berani
mengambil resiko menjadi orang yang hidup menempel pada hubungan kalian yang
katanya sudah sedemikian gersang. Aku berani menunggu pada sebuah
ketidakpastian hanya karena kamu bilang bahwa dia sudah sedemikian kosong
sehingga tidak bisa kamu pertahankan. Aku berani. Berani menjadi bodoh.
Mencernah secara tidak sempurna semua janji yang umbar ke udara. Aku berani
menjadi bodoh dengan cara mengakhirkan logika ketimbang perasaan.
Aku memang selingkuhan. Seperti rumput liar yang tidak tahu
aturan tumbuh di sepetak tanah yang katanya sudah kehabisan sumber makanan.
Katanya. Karenanya aku membuktikan melalui sekumpulan kebodohan yang datang
tanpa pertimbangan. Aku menunggu waktu yang katanya akan menjadi sepenuhnya
milikku. Tapi aku keliru. Aku justru seperti radioisotop yang menunggu waktu
paruh untuk luruh. Sedikit demi sedikit terurai untuk kemudian lebur tak
mengenal bentuk dan dilupakan.
Beruntung aku tersadar. Sebelum racun yang ikut terisap dari
hasil mendompleng hubungan kalian genap membunuhku perlahan. Aku menyusun
rencana, menimbang kemudian memutuskan. Setelah itu aku berlari, tidak ingin
berjalan karena aku takut kamu mengejar.
Aku memang menyerah, tapi aku merasa menang. Kamu bilang aku kalah. Tapi
apa yang akan aku dapatkan kalaupun aku menang?
Nihil.
Aku memang selingkuhan. Pernah ada di sana. Tapi sekarang
aku terbebaskan. Dengan sayap tak kasat mata aku coba untuk terbang. Mencari
lagi sarang yang sudah ditinggalkan sang tuan, atau justru membangun sarang
dari awal. Sendirian. Tidak peduli akan seberat apa karena semua telah
mengajarkan banyak hal. Termiliki tidak menjadi jaminan dari sebuah
kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar