Berbekal keberanian, seorang anak laki-laki memutuskan untuk
menjalani hidup dalam kesendirian. Mengasingkan perasaan dari kehidupan yang
sesungguhnya diputar secara cepat di luaran. Tubuhnya mungkin seringkali berada
di tengah keramaian yang memekakakkan, tapi perasaannya bertolak belakang. Dia
memupuk sunyi seperti laguna kering di tengah lautan luas berisi air yang
nampak tidak akan habis sampai ribuan tahun ke depan.
Tidak banyak persiapan yang sebelumnya dilakukan. Tidak ada
barang-barang yang bisa memberinya rasa nyaman apabila ada ancaman yang
menghadang yang dia bawa ketika memutuskan untuk menjalani hidup dalam
kesendirian. Dia hanya membawa sebilah keberanian yang sebetulnya diapun tidak
yakin apakah itu cukup untuk mengantarkannya sebagai pemenang. Tidak ada juga memori
pelajaran yang dia bisa panggil ulang
dengan mengandalkan ingatan. Semua benar-benar dimulai dari awal.
Seorang anak laki-laki memutuskan untuk menjalani hidup
dalam kesendirian. Kenyataan yang dia temukan membuatnya mau tidak mau membuat
keputusan demikian. Lewat banyak perenungan dia mengasingkan perasaan,
memasungnya dalam cengkaram rasa tidak nyaman yang sebetulnya tidak ingin dia
rasakan. Anak itu tidak punya pilihan. Membuka diri dengan berkawan justru
membuatnya hidup dalam pengasingan yang semakin dalam. Berbaur dengan keramaian
ternyata mengantarkannya pada banyak kesakitan.
Dia belajar menghindar. Mengurangi konflik melalui
pergesakan perasaan dengan orang-orang yang membuatnya seperti tidak
diinginkan. Lewat kesunyian dia menebalkan bebal. Dalam kesendirian dia memupuk
harga diri yang selama ini banyak orang pertanyakan.
Menangis adalah salah satu hal yang paling dihindarinya.
Simbol kelemahan yang justru membuat dia seperti mengemisi rasa kasihani.
Tidak, menurutnya dia tidak lemah walaupun sebagian banyak temannya
menterjemahkan kesendirian yang dia jalani sebagai bentuk ketidakmampuan. Dia
justru menjelma kuat lewat waktu yang menggerus seluruh kepercayaannya tentang
rasa bahagia. Melalui cara yang tidak biasa anak itu tumbuh menjadi sosok yang
bisa dibilang cemerlang.
Bagaimana dengan kesendirian yang dulu dia jalankan? Apakah dia
sudah meninggalkannya di belakang? Tidak. Kesendirian adalah rumahnya. Tempat
yang paling membuatnya nyaman sampai sekarang. Bangunan tempatnya berlari
membawa banyak kegundahan. Bangunan yang selalu memberinya rasa aman dari semua
ancaman yang masih saja menghadang tak pernah bosan. Di rumah itu dia juga
menyemai mimpi tentang kebahagiaan yang dia pernah gambar di secarik kertas
usang ketika dia memutuskan untuk berjalanan dalam kesendirian. Mimpi yang
sampai sekarang masih berbentuk sebuah sketsa.
Seorang anak kecil dulu memutuskan hidup dalam kesendirian.
Dengan jemarinya yang mungil dia memunguti harapan di jalanan senyap penuh
cobaan. Dia kumpulkan satu per satu harapannya itu dalam sebuah bejana waktu.
Semacam mesin waktu yang dia pikir akan membawanya pada sebuah dimensi dimana
dia akan menemukan keteduhan. Tempat dimana tidak ada lagi kebencian yang
membuat dia merasa dikerdilkan. Tempat sejenis surga.
Sampai sekarang tempat itu belum juga dia temukan. Sering
kali malah dia salah dalam mencumbui terang. Dia pikir itu petunjuk yang akan
mengantarkannya pulang, sayang ternyata yang dia temui hanyalah sebuah lampu
jalan. Fatamorgana yang kadang-kadang membuatnya seperti ingin menanggalkan
mimpi. Bosan dengan banyak kekeliruan yang dijalani karena ternyata hidup tidak
sedang diundi. Sudah ada ketentuan yang berlaku. Suka tidak suka semua harus
dijalani dengan dititi ataupun dibawa berlari.
Anak kecil itu bukan lagi anak-anak. Puluhan metamorfosis
sudah dilalui dan menjadikannya bentuk yang paling adaptif. Tidak ada lagi
halangan yang dianggapnya sebagai rintangan. Tidak akan ada lagi proses yang
dimaknai sebagai bentuk pengkerdilan diri. Anak itu tetumbuh laksana rumput
liar yang tidak mudah tercerabut dari akar meski hidup sendirian di padangan
yang subur dan ditumbuhi banyak pohon berduri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar