Dalam kegelapan entah itu gelap sungguhan maupun artificial,
kita hanya bisa merasakan. Meraba kemudian menterjemahkannya dalam bentuk
perasaan. Kemungkinan benar atau salah mengenai yang kita rasakan memang tidak
lantas menjadi gamblang. Semua berada di area abu-abu, seringkali berada di
kisaran keliru.
Dia memilih buta seperti halnya saya yang juga memilih buta.
Sialnya kami sama-sama tahu. Hidup dalam penyangkalan.
Berusaha berkelit dari kenyataan yang terlihat jelas di hadapan. Menganggap
bahwa masing-masing dari kami hidup pada jalur yang berlainan yang tidak akan
pernah berpotongan. Seperti asimtot, kami hanya saling mendekat sampai jarak
yang tak hingga tanpa bisa bersentuhan. Sebuah bentuk yang sengaja dijadikan
pilihan ketika perasaan tidak sejalan dengan banyak keinginan.
Saya mencintainya. Dulu. Sampai sekarang sesungguhnya meskipun saya tidak mengumbarnya
seperti waktu itu. Dia tidak pernah berusaha mencintai saya. Saya tahu itu. Dia
hanya malas beranjak dari kenyamanan hubungan entah apa namanya yang membuatnya
memiliki tempat untuk sekedar bersandar. Dia tidak mau menerima cinta saya,
tapi itu tidak lantas membuatnya ingin beranjak meninggalkan semuanya. Dia
manipulatif dengan ingin menjelma sebagai seorang sahabat dengan kadar yang
membuat posisi saya lebih dari seharusnya.
Sahabat tidak saling mencintai. Katanya. Tapi menurut saya
sahabat juga tidak saling menuntut. Tidak selalu ingin didengarkan ketika salah
satu memang tidak ingin mendengar. Sahabat tidak akan saling menyakiti. Katanya
lagi. Tapi dengan selalu mengikuti, itu justru bentuk menyakiti yang membuat
memar di hati.
Dia memilih buta seperti halnya saya yang juga memilih buta.
Dia memilih untuk menyangkal bahwa apa yang saya lakukan
selama ini adalah sepenggal sayang. Saya memilih buta karena menganggap
penolakan demi penolakan yang dia pertontonkan hanyalah sebuah bentuk ketidakpercayaan.
Tidak percaya saya mampu memberinya kebahagiaan karena kami tidak seiman. Hanya
karena saya tidak memiliki mata segaris seperti yang Tuhan lukis di wajahnya,
dia ragu untuk bilang “yes, i do”. Tapi itu haknya, seperti hak dia untuk tetap
berada di dekat saya dengan alasan sebuah persahabatan.
Kami mungkin sama-sama menyangkal untuk sebuah alasan.
Alasan yang akan membuat sebagian besar orang terbelalak dan hanya berpikir itu
hanya sebuah bualan. Alasan untuk merasa saling tidak kehilangan. Kehilangan
rasa nyaman, kehilangan sandaran, atau kehilangan pegangan. Anehnya kami berdua
menikmati penyangkalan itu sehingga kami berdua memilih buta. Memilih
mengabaikan apa yang kami rasakan untuk sekedar saling berdekatan. Tanpa
ikatan.
Saya dan dia mungkin hanya sedang dininabobokan nyaman.
Karena kami berdua tahu kalau suatu saat akan tiba pada sebuah titik yang
disebut perpisahan. Akan ada cahaya terang yang menyilaukan yang memaksa kami
untuk membuka mata dan melepaskan genggaman. Akan ada suatu waktu dimana akhir
adalah akhir yang tidak bisa ditawar lagi. Akan ada waktunya. Waktunya untuk
saya melepaskan perasaan sayang yang sudah tumbuh beberapa tahun ke belakang.
Dan waktu dia untuk beranjak pergi tanpa lagi memberati langkah yang saya titi.
Saya dan dia sama-sama memilih buta. Tapi saya jauh lebih
buta karena meskipun dia sekarang sudah berpasangan, saya tidak lantas
menjadikannya alasan untuk berjalan sendirian. Salahkan dia, karena meskipun
sekarang statusnya sudah kekasih orang tapi dia tetap saja membuat saya seperti
seseorang yang teristimewa. Setidaknya menurut saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar