Lewat tengah malam engkau datang diam-diam. Awalnya pelan,
kemudian beranjak lantang. Seperti anak muda yang tiba-tiba menjadi dewasa,
tanpa takut engkau terus datang bertandang. Memang belum sesering seperti satu
tahun kebelakang, tapi setidaknya engkau kini mulai mengabarkan kalau engkau
siap lagi menghadang.
Banyak yang bersuka cita meskipun tidak sedikit juga yang
tidak rela. Tapi seperti engkau pernah bilang lewat bisikan yang justru
meninabobokan, itulah hidup. Tidak selamanya kita bisa menyenangkan semua
orang. Selalu ada pro dan kontra, selalu ada pertentangan. Dan engkau menjelma
ksatria. Tidak gentar pada semua cacian yang membayang.
Engkau hanya merasa bahawa sekarang saatnya. Waktu yang
paling tepat untuk melanjutkan cerita yang pernah tertunda. Entah apa yang
sesungguhnya engkau lakukan ketika engkau mulai jarang datang sampai akhirnya
benar-benar menghilang. Tidak ada kabar pasti, hanya sebuah janji yang tergores
di ranting-ranting cemara yang daunnya ranggas karena proses absisi. Engkau
bilang engkau pasti akan kembali. Menggagas lagi cerita pengisi hari.
Dan engkau membuktikan janjimu. Engkau tidak ingin disebut
pengecut karena sudah mengingkari ikrar yang engkau buat sendiri. Mungkin terlambat, tidak
sesuai dengan waktu yang berlaku. Tapi engkau kini mulai datang menyambangi
sehingga orang-orang tidak perlu lagi menggugat sepanjang pagi. Berharap engkau
datang kala senja meluruhkan surya, atau ketika hitam menyelimuti malam.
Aku masih saja penasaran. Lebih ke ingin belajar sebetulnya.
Aku ingin tahu apa yang engkau lakukan ketika engkau menghilang? Apa yang
engkau lakukan ketika engkau tersisihkan? Tidak bisa datang karena tergantikan
oleh sesuatu yang sudah menjadi sabda alam. Aku ingin belajar, bagaimana engkau
bisa menghilangkan dendam karena untuk sementara waktu engkau justru
termarjinalkan? Aku sungguh-sungguh ingin belajar tentang itu.
Menjadi ksatria memang tidak mudah. Begitu yang sayup-sayup
aku dengar ketika engkau menyambangiku untuk pertama kalinya lewat tengah malam
beberapa hari ke belakang. Sayup-sayup yang aku rekam dalam diam. Sayup-sayup
yang hanya menjadi sebuah pertanda kalau engkau kini akan rajin mendatangi.
Sayup yang perlahan tapi pasti berubah menjadi bunyi. Seperti tetaluan yang
dibunyikan ketika menyambut sebuah kemenangan. Memekakkan.
Sesungguhnya aku merindukanmu. Rindu pada belaian yang
mengantarkanku pada mimpi pengisi sunyi. Rindu pada bisikanmu yang
mendongengkan cerita-cerita tentang ksatria pemberani yang tidak pernah gentar
melewati cobaan sebangsa duri. Ksatria yang mungkin hanya bualanmu saja. Ksatria
yang sengaja kamu reka untuk memuaskan telingaku tentang cerita epik yang
selalu membuatku dahaga. Dan seperti biasa ceritamu layaknya air yang
menyesatkanku dalam cinta tak bermuara.
Lewat tengah malam kamu datang diam-diam. Awalnya pelan,
kemudian beranjak lantang. Seperti seorang ksatria yang selama ini engkau
ceritakan, engkau menjelma dalam langit gelap berbatas pandang. Dan rinduku
terobati. Terkikis oleh suaramu yang merdu mengalun lagu. Menghilang oleh
rintik yang turun perlahan. Mengenyahkan debu yang menebal ditabung waktu.
Meniupkan harapan pada semesta bahwa hidup siap diputar kembali.
Hantarkan aku pada purna mimpi seperti dulu. Saat kita
menjalin hubungan dalam ceruk berisi sisa air yang engkau curahkan semalaman.
Hilangkan dahagaku, enyahkan kegalauanku. Bersamamu aku yakin kalau hidup akan
terus berpihak kepadaku. Seperti engkau yang sebetulnya tidak pernah benar-benar
meninggalkanku.
Mari kita tuntaskan rindu lewat permainan cinta semalam
suntuk. Kita tuntaskan apa yang selama ini belum kita selesaikan. Lewat
percikmu aku menguntai harapan. Lewat kedatanganmu aku menggelembungkan banyak
pengharapan. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar