Matanya berkilat ketika aku mengembalikan dia pada posisi
semula. Ada kemarahan yang menggebu-gebu di matanya, ada ketidaksudian yang
berkobar bahkan ketika dia tidak meronta seperti beberapa menit sebelumnya
ketika aku yang sudah kesekian kali mengembalikannya pada posisi semula.
Mendudukannya di kursi kayu reyot tak jauh dari tempat aku berdiri.
Sudah tidak ada rontaan. Tidak ada lagi cacian dan serapah
yang begitu lancar keluar dari bibirnya yang kecil. Kata-kata kotor yang tidak
diperkenankan. Kata-kata berbau sampah yang aku sendiri tidak habis pikir dari
mana dia menemukan dan mempelajarinya. Kali ini dia hanya diam. Tenang. Tidak
melawan. Tapi matanya seakan mau menerkam, menelanjangi aku yang sudah
kelelahan.
Aku juga diam. Badanku kuyup oleh keringat. Perlahan aku
mengatur irama nafasku yang sempat tersenggal-senggal seperti habis ikut lari
halang rintang. Letih baru terasa justru ketika aku sudah diam, padahal tadi
dengan kekuatan entah dari mana aku seperti melayani permainannya. Berlari
mengejar. Menghindari tendangan. Menangkis pukulan. Mengelak dari jambakan. Dan
anehnya aku hanya selalu menghindar tanpa melawan. Mungkin karena aku sangat
menyayanginya, dan aku tahu kalau dia juga tidak pernah bermaksud ingin
menyakitiku. Dia hanya kadang tidak bisa mengontrol emosi.
Kami berkenalan sudah lama, ketika kami sama-sama masih
berumur belasan. Bersahabat tanpa banyak
syarat yang mengikat. Awalnya aku tidak pernah sadar kalau dia itu ada,
menganggapnya hanya sebuah ilusi yang konon memang bukan mimpi. Meski begitu
dia tidak pernah jera mengajakku bermain. Tidak kapok dengan banyak penolakan
yang aku pertontonkan. Dia tidak mengenal kata menyerah dan lama-lama aku yang justru
menyerah. Pasrah. Mengikuti semua permainan yang dia tawarkan. Turut serta
dalam berbagai rencana rahasia yang dia utarakan.
Awalnya menyenangkan. Bertahun-tahun aku merasa nyaman.
Seperti punya sahabat yang bisa dipercaya tanpa takut ditinggalkan atau
digunting dalam lipatan. Dia setia. Menemani tidak hanya dalam keadaan bahagia
tetapi seringkali justru ketika sedih menghampiri.
Lama-lama aku merasa bosan, apalagi ketika dia berpikir
kalau dia juga harus berteman dengan teman yang aku temukan kemudian. Padahal diantara
mereka tidak pernah ada kepentingan. Dia mengikutiku ke sekolah, ke tempat les
bahkan ke tempat pelarian ketika aku sebenarnya ingin sendirian. Dia seperti
hidup dalam ketakutan. Takut aku tinggalkan, takut aku buang ke jalanan ketika
aku merasa dia sudah tidak dibutuhkan.
Bersahabat dengannya ternyata menyulitkan. Membuatku kadang
tidak bisa merefleksikan siapa aku sebenarnya. Dia selalu ingin ditampilkan.
Dinomorsatukan. Muncul disaat-saat yang tidak tepat yang membuat aku kemudian
menjadi bahan cemoohan. Dia seperti sengaja melakukan itu semua, agar aku tidak
memiliki banyak kawan. Dia ingin aku merasa sendirian karena dia tahu ketika
itu kejadian maka aku akan kembali kepadanya. Bermain seperti anak kecil yang
tidak tahu jam. Berlarian tidak peduli bahaya di jalanan yang penuh kendaraan.
Dia manipulatif. Menciptakan banyak keadaan yang tidak bisa aku hindarkan.
Matanya masih berkilat dan aku masih berdiri kelelahan.
Tidak ada lagi rontaan ataupun kalimat-kalimat serapah yang bermunculan. Dia
menelanjangiku dengan tatapan yang artinya tidak bisa diejawantahkan. Penuh
amarah dia memandangiku yang nafasnya masih sedikit menderu. Sejenak dia
tersenyum. Senyum picik yang menandakan kalau dia merasa memenangkan
pertandingan. Senyum yang justru aku benci ketika aku merasa kalah.
Tapi itu dulu. Saat dimana aku sebetulnya mengalah karena
lelah. Saat dimana aku berlaku mengenakan logika dibandingkan nafsu. Kali ini
aku tidak boleh lagi kalah. Bosan rasanya menjadi marjinal di lingkungan yang
seharusnya aku memegang peranan. Kali ini aku tidak boleh lagi mengalah, karena
kesempatan yang banyak aku berikan justru menjadikannya tidak tahu aturan.
Banyak kelonggaran justru menjadikannya kurang ajar.
Dia tersenyum sekali lagi. Dan demi Tuhan aku membenci
caranya tersenyum. Matanya masih berkilat-kilat tapi kali ini bukan berisi
amarah melainkan olokan. Sepertinya dia masih ingin bermain, menguji
kesabaranku yang sudah setipis kelambu.
Mendadak dia bangkit sampai kursi kayu reyot yang
didudukinya terjengkang ke belakang. Dia berlari melintasi ruangan menuju ke
pintu yang sedikit terbuka. Sesaat dia membalikan badannya dan menjulurkan
lidahnya tanda ejekan. Aku tidak kaget karena aku sudah menyimpan awahan.
Ancang-ancang yang sudah dipersiapkan ketika dia tiba-tiba berulah seperti
barusan.
Dengan kekuatan penuh aku mengejarnya dan ketika dia sudah
ada dalam rengkuhan, aku cengkram bahunya. Dia terpelanting ke lantai,
membalikan badannya dan tersenyum dengan cara yang sungguh aku benci. Dia salah
kalau dia pikir aku akan mengangkat dan mendudukannya lagi di kursi. Tidak,
kali ini dia salah. Aku tidak ingin bermain lagi. Aku lelah. Kurekatkan
tanganku di lehernya dengan posisi kedua ibu jari ada di bagian depan. Aku
mengalirkan tenagaku kesana. Aku mencekiknya.
Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak lama. Aku
harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak dulu. Aku seharusnya membunuh dia,
anak kecil yang ikut tumbuh dalam tubuh dan pikiranku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar