30. Saya pernah berharap bahwa pada angka itu saya akan mengalami titik balik. Titik dimana saya mengakhiri petualangan di dunia semu, menamatkan perjalanan saya pada titian warna kelabu. Ternyata saya masih sebegitu betahnya dalam kesemuan itu, masih sebegitu nyamannya diayun ambingkan belenggu kelabu. Sampai hari ini, angka itu lebih 1.
Saat ribuan detik bergerak menuju pergantian waktu. Saat ribuan panah terlontar tanpa sarana. Saya duduk dalam kesederhanaan. Menikmati kesenyapan malam untuk sekedar menapaki hening. Berusaha mentafakuri segala yang pernah menimpa selama bertahun-tahun kebelakang. Hari ini saya diberi kenikmatan lebih oleh Tuhan. Menjejak usia 31.
Saya tidak muda lagi, saya tahu. Saya sudah harus bersikap dewasa, dari beberapa tahun yang lalu seharusnya. Saya harus lebih memikirkan jalan kedepannya akan seperti apa. Kadang jalan sudah terbentang menantang, maka saya tahu yang saya harus lakukan hanyalah berusaha menjalaninya dengan baik. Tanpa pemberontakan yang justru akan membuat jalannya jadi bergelombang.
Malam tadi, tak lagi ada pesta. Tak ada lagi perayaan dengan menghentak lantai dansa. Tak ada lagi berhura-hura. Saya hanya duduk sendiri, menatap redup lilin yang saya letakan di atas kue tart yang lagi-lagi saya beli sendiri. Saya merenung tentang semuanya, saya berdoa akan banyak harap. Semuanya saya lakukan dalam perasaan indah. Penuh kepasrahan.
Saya Apis, hari ini melontarkan ribuan ucap syukur atas umur yang Tuhan telah beri. Menguntai ribuan doa demi keinginan yang ingin terkabulkan. Tak lupa dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada semua keluarga, teman, sahabat, kolega atas berbagai pengalaman, doa, kesenangan dan kesedihan yang telah diberikan selama ini. Saya sadar tanpa kalian semua, Apis tidak akan sekuat ini. Ijinkan saya lebur dalam syukur karena dianugerahi kalian semua. Sesuatu yang tidak akan saya sesali sampai mati.
Hari ini saat saya berada di titik 31. Saya hanya bisa berharap dapat mengalami transformasi lanjut menjadi sosok yang jauh lebih baik dari sekarang. Berubah menjadi seseorang yang hidup dalam kebenaran menurut Tuhan, bukan lagi kebenaran menurut saya.
Tuhan, saya hanya ingin bahagia. Kalaupun bahagia menurut saya sangat sulit untuk dikabulkan, maka ijinkan saya meminta diberi kebesaran hati untuk berdamai dengan jalan yang telah Engkau gariskan. Ijinkan saya meminta perasaan sederhana yang terus bertambah subur dalam memaknai takdir yang telah Engkau tuliskan. Biarkan saya terus belajar mengerti bahagia yang telah Engkau tentukan.
Kamis, 27 Desember 2012
Senin, 24 Desember 2012
Pada Satu Ketika
Seperti dua orang asing kami duduk bersisian di sebuah lobi
hotel yang lenggang. Hujan yang sedikit lebat sepertinya membuat penghuni hotel
enggan meninggalkan kenyamannya bergelung dengan selimut tebal di ranjangnya.
Seperti yang seharusnya aku lakukan. Seandainya. Ya seandainya aku tidak
bertemu dengannya sore tadi ketika lift terbuka dan mempertemukan kami dari 2
dimensi yang sepertinya berbeda. Dia hendak keluar dan aku beranjak masuk.
Jeda tercipta diantara kami berdua. Waktu seperti berhenti
berputar dan udara mendadak hampa. Tidak ada reaksi. Tidak ada senyuman atau
sekedar kata yang terumbar sembarangan. Kami hanya dibalut diam sampai kami
tersadar kalau kami menghalangi jalan. Masih dengan balutan sunyi kami saling
menghindar, terpisahkan oleh pintu yang otomatis tertutup. Rapat. Seperti hati
kami beberapa tahun ke belakang.
Malam itu kami berbaring saling memunggungi. Masing-masing
sibuk dengan jalan cerita yang direka di dalam kepala. Bisa jadi satu jalinan
cerita atau malah sama sekali berbeda. Tidak ada bebunyian yang memperiuh,
menjadikan adegan demi adegan yang ditayangkan seolah film bisu. Hanya aku dan
dia dalam sebuah scene yang berantakan. Tak jelas plotnya, tak jelas siapa yang
menjalankan peran antagonis atau sebaliknya.
Aku sudah bisa menerka kemana cerita akan bermuara. Sudah
sekian banyak jalinan cerita serupa aku rasa. Hati sudah bebal mungkin
meninggalkan jejak kapalan saking seringnya ditimpa kesakitan. Tidak pernah ada
penyesalan karena semuanya memberikan pembelajaran. Pembelajaran yang tetap
membuatku terperosok pada lubang yang sama berulang-ulang. Dan sepertinya aku
tidak lantas kapok, tidak berhenti mencoba melempar peruntungan karena siapa
tahu kali ini aku tidak mendapatkan ujung yang bergelung. Kusut.
Dan sepertinya aku benar. Di tengah jalan cerita yang
berjalan tanpa aturan, dia kemudian membalikan badan. Memelukku dari belakang.
Seketika aku berharap tidak pernah mengenal suara. Bermimpi kalau gendang
telinga dan cairan kokhlea bisa menyaring suara mana yang ingin aku dengar dan
mana yang ingin aku enyahkan. Seketika aku berharap tuli, mengambil langkah
tidak peduli. Tapi aku salah, kenyataan lagi-lagi dijejalkan paksa dalam
selaksa perasaan. Membuatku sesak. Limbung seperti orang linglung.
Bedanya kali ini tak ada air mata. Hulu kelenjarnya sudah
mengering diganjar kemarau tak berkesudahan. Kesakitan demi kesakitan yang dikecap
menebalkan jaringannya, menyisakan luka parut yang menghalangi jalannya
cucuran. Tidak pernah ada lagi tangisan, tidak peduli seberapa berat jalan
perpisahan yang harus ditelan. Tidak pernah ada lagi isakan, karena aku
menjelma kuat. Selalu siap dengan kemungkinan terburuk ketika memulai sebuah
hubungan. Hubungan yang seringkali justru tidak menemukan jalan untuk
mengantarkanku pulang.
Malam itu dia menggagas perpisahan. Katanya dia sekarang
sudah menemukan jalan yang benderang. Jalan yang dari awal tidak pernah dia
temukan dari hubungan kami yang hanya dibangun atas dasar kekeliruan. Hubungan
yang diretas hanya karena kebimbangan membawa hati berlari. Hubungan yang
kemudian dimaknai sebagai sebuah kesalahan dalam memahami jalan yang sudah
digariskan.
Dia bilang dia akan menikah. Meninggalkan jalanan becek yang
hanya membuat telapaknya kotor oleh lumpur. Menanggalkan semua yang pernah dia kecap
sebagai manis tipuan yang hanya membuatnya ketagihan. Dia tersadar, dengan aku dia
hanya memperoleh temaram. Hanya menempatkannya di pojokan tanpa sinar.
Karenanya dia beringsut pulang, menjajal jalanan yang katanya sudah terbentang.
Haluan yang bisa mengantarkannya pada kebahagian.
Aku turut senang sekaligus mendoakan. Tidak ada yang lebih
menyenangkan ketika bisa melihat orang yang disayang menemukan apa yang selama ini
dia harapkan. Aku sadar, dengan aku dia tidak akan mendapat apa-apa. Cukuplah
aku hanya menjadi sepenggal kenangan yang menyaksikan bagaimana dia tumbuh dan
beranjak dewasa hingga akhirnya berlari ketika dia kemudian menyadari. Tidak
perlu mempedulikan apa yang aku rasakan, karena rasa seperti itu sudah biasa
aku telan. Tidak lagi menyisakan kesakitan mendalam.
Lobi hotel itu semakin ramai. Sepertinya para penghuni mulai
bosan dengan petakan ruang yang sebetulnya dibuat nyaman. Mereka memilih untuk
sekedar mengopi di kedai yang terletak di dalam lobi sambil mengamati hujan
dari jendela-jendela besar di sekeliling ruangan. Aku mendapati ketidaknyamanan
di matanya. Dia yang semula lebih banyak diam kemudian mempertontonkan
kegelisahan. Menggoyang-goyangkan kakinya seperti anak kuliahan yang sedang
menunggu giliran sidang.
Aku hanya diam. Menunggu dia bergerak duluan. Bukan karena
aku seperti jual mahal tapi aku tidak ingin memperpanjang perkara yang
sebetulnya sudah selesai di belakang. Tidak ada yang perlu lagi dipersoalkan,
tidak ada rincian utang yang harus dipertanggungjawabkan. Semua sudah lunas
ketika dia beranjak pergi membawa perpisahan. Tidak ada lagi yang perlu dibayar.
Tidak ada lagi yang harus diselesaikan.
Setengah berbisik dia berkata sesuatu. “Ikut ke kamarku yu!
Aku rindu”
Solo, 13 Desember 2012
Sabtu, 22 Desember 2012
Rahasia
Tidak akan pernah mudah hidup dengan menenteng rahasia.
Apalagi rahasia yang sebetulnya adalah sebuah jalan Tuhan yang tidak bisa
dintentang. Rahasia yang akhirnya menjadi semacam pemakluman diri sendiri atas
apa yang sudah digariskan. Rahasia yang dimaknai sebagai takdir yang tidak bisa
dihindari.
Hidup dengan rahasia seringkali menyulitkan. Membuat semua
jalinan yang harusnya mudah dilalui menjadi diperumit karena seribu satu alasan.
Proses sembunyi dan pencitraan menjadi hal yang harus biasa dijalani. Berkedok
orang lain demi menyimpan rahasia yang masih belum bisa dibongkar sembarangan.
Belenggu normatif membuat rahasia yang sudah sekian lama disimpan tetap berada
di tempatnya yang aman.
Aku hidup dalam rahasia itu. Bertumbuh dari satu
persembunyian ke persembunyian lainnya. Tidak pernah bosan menjadi sosok yang
kadang tidak jelas aku kenal. Aku hanya meminjam raganya demi sebuah rahasia
yang masih tersimpan rapi di kotaknya.
Aku hidup dalam rahasia itu. Sekuat tenaga menyimpan dalam
kubangan agar tidak mudah terbongkar. Alasan klise tidak ingin menyakiti
perasaan orang-orang tersayang menjadi hal yang selalu aku gadang. Biarkan aku
yang menanggung sendirian, tidak peduli kalau yang justru aku terima hanya sekian
banyak kesakitan. Aku mampu. Aku bisa. Bertahan dari deraan agar orang-orang
yang aku sayang terselamatkan. Lagipula ini jalan Tuhan, biarkan saja aku dan
Dia yang mengetahuinya dalam diam.
Aku hidup dengan sebuah rahasia yang sesekali terinderai.
Mungkin tidak sengaja terkuak atau justru malah terbaca secara gampang. Tidak
selalu mudah untuk terus bersembunyi. Terkadang sulit untuk terus berlindung di
balik sosok asing yang justru malah menyulitkan jalan. Ketika hal ini kejadian
aku hanya bisa berdamai. Bernegosiasi agar rahasia yang sudah terinderai tidak
menjadi suatu daftar acuan untuk menghakimi. Aku masih aku yang sama. Hanya
saja hidup dengan menenteng sebuah rahasia.
Seorang perempuan tampaknya diam-diam bisa membaui.
Mengetahui rahasia yang aku simpan sedemikian lama tanpa perlu bantuan
perkataan. Dia tahu, tapi seperti halnya aku dia kemudian memilih hidup dalam
penyangkalan. Memilih memberikan selimut hangat untuk aku tetap bertahan.
Memilih mengesampingkan semua perkiraan dengan tetap mencurahkan perlindungan
tanpa takut ancaman yang akan mengintai. Perempuan itu menjelma perisai,
benteng kokoh yang melindungi aku dan rahasiaku. Perempuan itu aku panggil Ibu.
Ibu, aku tahu engkau mengetahui apa-apa yang tidak pernah
aku jelaskan. Aku tahu sebetulnya engkau bisa membaca dan meraba apa yang tidak
aku perinci dengan teliti. Dan aku tahu engkau tidak pernah peduli dengan semua
itu karena engkau hanya ingin tetap menjadi ibuku. Ibu yang berjiwa ksatria
yang tidak pernah rela anaknya terpanggang di dalam bara. Lewat kasihmu ibu aku
belajar banyak hal, tidak peduli kalau rahasia yang aku tenteng semakin berat
dari hari ke hari.
Lewatmu aku belajar berjuang. Melaluimu aku belajar proses
mengesampingkan. Mendahulukan kebahagiaan orang di atas kepentingan diri
sendiri yang sebetulnya juga tidak pernah gampang. Terima kasih untuk
senantiasa selalu berada di sampingku ibu. Menjadi Ibu, teman, sahabat dan
partner bertengkar yang mengasyikan. Terima kasih juga untuk mau terus hidup
dengan rahasia yang aku simpan tanpa ada gugatan. Aku tahu kalau ibu juga pasti
tahu.
Selamat hari Ibu, Ibu. Aku mencintaimu.
Senin, 17 Desember 2012
Aku Harus Membunuhnya
Matanya berkilat ketika aku mengembalikan dia pada posisi
semula. Ada kemarahan yang menggebu-gebu di matanya, ada ketidaksudian yang
berkobar bahkan ketika dia tidak meronta seperti beberapa menit sebelumnya
ketika aku yang sudah kesekian kali mengembalikannya pada posisi semula.
Mendudukannya di kursi kayu reyot tak jauh dari tempat aku berdiri.
Sudah tidak ada rontaan. Tidak ada lagi cacian dan serapah
yang begitu lancar keluar dari bibirnya yang kecil. Kata-kata kotor yang tidak
diperkenankan. Kata-kata berbau sampah yang aku sendiri tidak habis pikir dari
mana dia menemukan dan mempelajarinya. Kali ini dia hanya diam. Tenang. Tidak
melawan. Tapi matanya seakan mau menerkam, menelanjangi aku yang sudah
kelelahan.
Aku juga diam. Badanku kuyup oleh keringat. Perlahan aku
mengatur irama nafasku yang sempat tersenggal-senggal seperti habis ikut lari
halang rintang. Letih baru terasa justru ketika aku sudah diam, padahal tadi
dengan kekuatan entah dari mana aku seperti melayani permainannya. Berlari
mengejar. Menghindari tendangan. Menangkis pukulan. Mengelak dari jambakan. Dan
anehnya aku hanya selalu menghindar tanpa melawan. Mungkin karena aku sangat
menyayanginya, dan aku tahu kalau dia juga tidak pernah bermaksud ingin
menyakitiku. Dia hanya kadang tidak bisa mengontrol emosi.
Kami berkenalan sudah lama, ketika kami sama-sama masih
berumur belasan. Bersahabat tanpa banyak
syarat yang mengikat. Awalnya aku tidak pernah sadar kalau dia itu ada,
menganggapnya hanya sebuah ilusi yang konon memang bukan mimpi. Meski begitu
dia tidak pernah jera mengajakku bermain. Tidak kapok dengan banyak penolakan
yang aku pertontonkan. Dia tidak mengenal kata menyerah dan lama-lama aku yang justru
menyerah. Pasrah. Mengikuti semua permainan yang dia tawarkan. Turut serta
dalam berbagai rencana rahasia yang dia utarakan.
Awalnya menyenangkan. Bertahun-tahun aku merasa nyaman.
Seperti punya sahabat yang bisa dipercaya tanpa takut ditinggalkan atau
digunting dalam lipatan. Dia setia. Menemani tidak hanya dalam keadaan bahagia
tetapi seringkali justru ketika sedih menghampiri.
Lama-lama aku merasa bosan, apalagi ketika dia berpikir
kalau dia juga harus berteman dengan teman yang aku temukan kemudian. Padahal diantara
mereka tidak pernah ada kepentingan. Dia mengikutiku ke sekolah, ke tempat les
bahkan ke tempat pelarian ketika aku sebenarnya ingin sendirian. Dia seperti
hidup dalam ketakutan. Takut aku tinggalkan, takut aku buang ke jalanan ketika
aku merasa dia sudah tidak dibutuhkan.
Bersahabat dengannya ternyata menyulitkan. Membuatku kadang
tidak bisa merefleksikan siapa aku sebenarnya. Dia selalu ingin ditampilkan.
Dinomorsatukan. Muncul disaat-saat yang tidak tepat yang membuat aku kemudian
menjadi bahan cemoohan. Dia seperti sengaja melakukan itu semua, agar aku tidak
memiliki banyak kawan. Dia ingin aku merasa sendirian karena dia tahu ketika
itu kejadian maka aku akan kembali kepadanya. Bermain seperti anak kecil yang
tidak tahu jam. Berlarian tidak peduli bahaya di jalanan yang penuh kendaraan.
Dia manipulatif. Menciptakan banyak keadaan yang tidak bisa aku hindarkan.
Matanya masih berkilat dan aku masih berdiri kelelahan.
Tidak ada lagi rontaan ataupun kalimat-kalimat serapah yang bermunculan. Dia
menelanjangiku dengan tatapan yang artinya tidak bisa diejawantahkan. Penuh
amarah dia memandangiku yang nafasnya masih sedikit menderu. Sejenak dia
tersenyum. Senyum picik yang menandakan kalau dia merasa memenangkan
pertandingan. Senyum yang justru aku benci ketika aku merasa kalah.
Tapi itu dulu. Saat dimana aku sebetulnya mengalah karena
lelah. Saat dimana aku berlaku mengenakan logika dibandingkan nafsu. Kali ini
aku tidak boleh lagi kalah. Bosan rasanya menjadi marjinal di lingkungan yang
seharusnya aku memegang peranan. Kali ini aku tidak boleh lagi mengalah, karena
kesempatan yang banyak aku berikan justru menjadikannya tidak tahu aturan.
Banyak kelonggaran justru menjadikannya kurang ajar.
Dia tersenyum sekali lagi. Dan demi Tuhan aku membenci
caranya tersenyum. Matanya masih berkilat-kilat tapi kali ini bukan berisi
amarah melainkan olokan. Sepertinya dia masih ingin bermain, menguji
kesabaranku yang sudah setipis kelambu.
Mendadak dia bangkit sampai kursi kayu reyot yang
didudukinya terjengkang ke belakang. Dia berlari melintasi ruangan menuju ke
pintu yang sedikit terbuka. Sesaat dia membalikan badannya dan menjulurkan
lidahnya tanda ejekan. Aku tidak kaget karena aku sudah menyimpan awahan.
Ancang-ancang yang sudah dipersiapkan ketika dia tiba-tiba berulah seperti
barusan.
Dengan kekuatan penuh aku mengejarnya dan ketika dia sudah
ada dalam rengkuhan, aku cengkram bahunya. Dia terpelanting ke lantai,
membalikan badannya dan tersenyum dengan cara yang sungguh aku benci. Dia salah
kalau dia pikir aku akan mengangkat dan mendudukannya lagi di kursi. Tidak,
kali ini dia salah. Aku tidak ingin bermain lagi. Aku lelah. Kurekatkan
tanganku di lehernya dengan posisi kedua ibu jari ada di bagian depan. Aku
mengalirkan tenagaku kesana. Aku mencekiknya.
Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak lama. Aku
harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak dulu. Aku seharusnya membunuh dia,
anak kecil yang ikut tumbuh dalam tubuh dan pikiranku.
Senin, 10 Desember 2012
Harita
Nemu tulisan ini di komputer lama :
Eta surat ondangan masih keneh dicekelan ku sim kuring.
Kertasna geus lecek kusabab sering dibuka, diremes terus dibuka deui. Sigana
kuring geus ngalakukeun puluhan nepi ka ratusan kali eta lalampahan ti mimiti
eta ondangan nepi ka leungeun kuring .
“Kuring hayang anjeun datang. Kuring hayang anjeun nyakasian
eta poe sakral, poe dimana sabenerna kuring miceun hiji impian, salilana.
Impian anu can kungsi kuring perjuangkeun, can sempet oge kuring mimitian. Hanjakal,
kuring leuwih tiheula digeuingkeun ku kaayaan. Waktu ngageuingkeun paksa kuring
tina impian, maksa kuring ngaguar lampah dina lorong kanyataan” manehna ngomong
bari nyodorkeun ondangan nu warnana gandaria ka hareupeun kuring.
Kaayaan rumah makan beurang eta rame pisan, tapi hate kuring
sepi. Cipanon rasana parebut menta dikaluarkeun, tapi sakuat tanaga kuring
nahan. Rasana geus cukup kuring ceurik balilihan, kusabab ceurik henteu nganteurkeun
kuring ka dimensi anu dipikaharep. Kuring tetep jadi kuring, jelema anu dipaksa
ngadange hatena soek. Sorangan. Kuring narima eta ondangan dina parasaan hampa,
satengah eungap.
“Jang naon kuring datang? Kapentingana naon kuring kudu
ngahadiran eta acara? Teu bisa kitu anjeun ngaraba hate kuring sakeudeung,
mikirkeun parasaan kuring. Geuslah, kuring geus berusaha ikhlas ngaleupas
anjeun. Entong ngabebani deui kuring!” Satengah ngagorowok kuring ngucapkeun
eta kalimat, untung kuring masih sadar mun eta kajadian lumangsung di tempat
umum. Kuring cengkat terus indit ti hareupeunana.
“Tulunglah....demi kuring!” Masih keneh jelas kuring
ngadenge manehna ngucapkeun eta permohonan.
Poe eta datang oge, poe kawinan manehna. Kawinan lalaki anu
pernah jadi lalaki kuring. Jelema anu ngenalkeun getar asmara kuring anu
mungggaran ka dunia abu-abu. Jelema nu datang sabagai jawaban tina kagelisahan
kuring nu beda tinu lian. Bareng manehna kuring ngecap bahagia, bareng manehna
kuring nyobaan nu kubatur disebut nista.
Kuring memang datang poe eta, tapi kuring teu kaluar tina
mobil. Kuring ukur muka kaca jandela, nempokeun ti jauh. Manehna, lalaki nu
pernah kuring puja, lancar tur wibawa ngucapkeun ijab kabul, ngawinan awewe nu
geus dipilihkeun kolotna. Manehna, lalaki nu pernah nyieun gambar hate dina
dada kuring pinuh, gumujeung pas ratusan tamu ondangan mere ucapan salamet tur
untaian doa. Kuring ninggali manehna bahagia, kuring bisa ngarasakeunana.
Duh anjeun panganten lalaki, kuring datang ka kawinan anjeun.
Minuhan jangji jeung namatkeun kabahagiaan kuring. Anjeun meureun teu sadar mun
kuring datang, kuring memang teu niat ngadatangan anjeun sacara langsung.
Kuring ngan ngilu ngadoakeun sangkan anjeun hirup bahagia salalawasna jeung
awewe eta. Istri anjeun anu sah. Kuring harep anjeun teu ninggali deui ka
tukang, tamatkeun bae jalinan kisah anjeun jeung kuring anu sarua lalaki nepi
ka dieu.
Kuring nutup kaca jandela, terus lalaunan nutup panto hate
sabari cirambai.
Tulisan ini d buat sebagai tugas pada acara Pasanggiri Mojang Jajaka Jawa Barat 2003. Lewat tulisan ini juga si penulis terpilih sebagai Jajaka Calakan Jawa Barat 2003.
Senin, 03 Desember 2012
I'm What I'm
“Kalau kita terlambat bertemu dengan jodoh, bukan berarti
kita harus menghambat orang lain untuk bertemu jodohnya”
Itu quote yang saya buat sendiri sekitaran akhir tahun lalu.
Quote yang tiba-tiba muncul di dalam kepala ketika adik saya bertunangan dengan
kekasihnya yang sudah dia pacari hampir 3 tahun lamanya. Pertunangan yang
dilakukan sebagai langkah awal untuk menuju perkawinan yang direncanakan
terjadi tahun ini. Tahun 2012.
Apakah saya sedih? Apakah saya kecewa? Apakah saya merasa
ditinggalkan? Apakah saya merasa Tuhan tidak berlaku adil terhadap saya?
Jawabannya hanya satu. Tidak. Tidak ada sedikitpun saya merasa sedih, kecewa,
ditinggalkan apalagi merasa dizhalimi Tuhan. Boleh percaya atau tidak, tapi itu
sesungguhnya yang saya rasakan. Mungkin kebanyakan orang termasuk keluarga
dekat saya yang bukan keluarga inti tidak mempercayainya. Tapi saya tidak
peduli. Saya tidak hidup dalam opini mereka.
Kalaupun misalnya saya bersedih, kecewa kemudian merasa
ditinggalkan apa yang bisa orang-orang itu lakukan? Memberikan penghiburan?
Memberikan semangat? Saya tidak butuh semua itu karena sekali lagi saya
tegaskan kalau tidak ada perasaan-perasaan semacam itu ketika adik saya yang
memang terpaut umur 6 tahun akan melangkah ke gerbang perkawinan. Saya justru
ikut bahagia karena dia lebih cepat bertemu dengan jodohnya. Lebih cepat
menyempurnakan agamanya.
Rencana hanya tinggal rencana. Adik saya dan kekasihnya
karena satu dan lain hal harus mengubur keinginannnya. Selamanya. Mereka
membatalkan pertunangannya. Memberi akhiran pada jalinan kasih yang sudah
mereka bina selama tiga tahun untuk alasan yang tidak perlu saya tuliskan. Adik
saya bersedih, orang tua saya bersedih, sayapun ikut bersedih. Adik saya sedih
karena sebetulnya dia masih sangat mencintai kekasihnya. Orang tua saya sedih
karena melihat anak bungsunya bersedih. Saya bersedih karena saya juga kasihan
dengan adik saya. Dan kadar sedih sayapun bertambah ketika banyak orang di
luaran sana yang mengatakan bahwa putusnya hubungan mereka adalah karena doa
yang saya panjatkan.
Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran picik semacam itu.
Sebetulnya saya tidak lantas peduli. Saya menganggapnya angin lalu meskipun
ketika saya konfrontir mereka mengklarifikasinya sebagai sebuah candaan.
Candaan yang menurut saya sangat tidak lucu. Candaan dangkal yang tidak perlu
saya perpanjang. Tuhan yang paling tahu apa yang saya rasakan. Sampai berbuih
seperti apapun saya menjelaskan, kalau orang lain memilih tidak percaya maka
ujungnya hanya akan sebuh ketidakpercayaan. Karenanya saya mengembalikan kepada
Tuhan, Dzat yang tidak bisa disangkal.
Waktu terus bergerak. Adik saya disembuhkan. Adik saya kemudian
bertemu lagi dengan seseorang. Dan romansa kembali dituliskan. Adik saya
memiliki kemampuan untuk move on jauh lebih cepat dari pada saya yang
seringkali masih tertambat pada perasaan di belakang. Saya harus belajar banyak
dari adik saya. Bagaimana melenyapkan atau menyimpan masa lampau. Apakah
lagi-lagi saya merasa ditinggalkan? Tidak. Saya kenal siapa adik saya, tipe
orang yang tidak pernah bisa sendirian. Semakin cepat dia berpasangan, semakin
cepat bahagia akan dia jelang. Dan saya turut bahagia.
Tidak memiliki seseorang selama bertahun-tahun mengajarkan
saya untuk tidak pernah bergantung pada orang lain. Saya mampu datang ke
undangan pernikahan siapapun sendirian. Saya mampu berbelanja sendirian. Tidak
gentar untuk makan di restoran sendirian. Tidak peduli saat sekian banyak mata
mempertanyakan ketika saya datang ke bioskop sendirian. Tidak pernah ada masalah.
Saya hanya belajar untuk kuat walau tidak dipungkiri kadang saya iri. Sebatas
iri yang datang kadang-kadang tanpa diundang.
Sekarang bulan sudah Desember. Satu tahun silam adik saya
bertunangan meski kemudian digagalkan. Dan tahun ini rencana seperti dulu
kembali diperdengarkan. Adik saya berencana menikahi kekasih barunya tahun
depan. Tanpa pertunangan karena mungkin ada sedikit rasa trauma yang menggelayuti
selaksa perasaan. Dan saya tetap saya seperti satu tahun silam. Tidak sedih,
tidak kecewa atau merasa dizhalimi Tuhan. Mungkin sudah takdir kalau harus adik
saya yang terlebih dahulu menemukan tulang rusuknya yang hilang. Saya tidak
keberatan.
Katanya lahir, jodoh dan mati sudah diatur oleh Tuhan.
Kenapa sebagai hamba saya harus merasa sangsi? Saya yakin Tuhan sudah
mempersiapkan seseorang untuk melengkapi hidup saya. Kalau tidak sekarang,
mungkin nanti tahun-tahun ke depan. Doakan saja semoga stok sabar saya tidak
lantas berkurang.
Kamis, 29 November 2012
Reinkarnasi
Saya tidak percaya tentang reinkarnasi. Pertama karena di
agama saya memang tidak mengajarkan apa itu reinkarnasi, kedua saya tidak
percaya tentang kehidupan sebelum kehidupan yang ini. Kalau ada yang percaya
silahkan, toh saya juga tidak punya hak untuk melarang orang untuk mempercayai
proses reinkarnasi seperti halnya saya tidak mempunyai hak untuk melarang orang
tidak pergi dari sisi saya. Tetep curhat.
Berbeda dengan teman saya yang asli orang Bali. Dia sangat
percaya tentang apa itu reinkarnasi. Dia percaya kalau sebelum kehidupan yang
sekarang ini dimana dia adalah seorang dosen, dia pernah hidup entah sebagai
apa. Dia tidak ingat atau lebih tepatnya dia tidak tahu.
Suatu hari dia pernah bilang kalau sebetulnya kita bisa tahu
seperti apa kita di kehidupan sebelumnya. Tidak sekedar seperti apa tetapi juga
menjadi sosok apa kita sebelumnya. Dia bercerita kalau di Bali di dekat
rumahnya ada seorang pendeta yang bisa ditanya karena kemampuannya melihat masa
lalu. Sang pendeta bisa dengan detail menceritakan proses kehidupan kita
sebelum kehidupan saat ini. Dengan kadar kepo maksimal, saya tentu saja
bertanya pada si teman apakah dia pernah
bertanya pada pendeta itu tentang kehidupan dia sebelum ini, dan dia menjawab
tidak. Saya mengejar minta penjelasan kenapa, dan teman saya bilang dia takut.
Dia takut menerima kenyataan kalau misalnya di kehidupan masa lampau dia adalah
seekor babi yang dipelihara tetangga. Sarap.
Semalam saya tidak bisa tidur. Meghitung jumlah kambing di
pandang rumput luas tidak lantas membuat saya berjumpa kantuk. Aktivitas
memanjat genteng rumah tetangga untuk merenung juga tidak bisa saya lakukan
karena alasan hujan. Tidak lucu rasanya kalau tengah malam buta saya kedapatan
terjatuh dari genting rumah orang. Karenanya saya hanya bisa berkhayal,
membayangkan banyak hal yang seringkali muncul di pikiran liar ketika justru
pikiran itu dibebaskan. Semalam saya berkhayal tentang reinkarnasi. Entah
kenapa padahal seperti saya bilang kalau saya tidak percaya tentang
reinkarnasi.
Katanya pada proses reinkarnasi, kehidupan yang sekarang ini
bisa jadi hukuman atau hadiah dari perilaku kita di kehidupan sebelumnya.
Hukuman yang harus dijalani agar kita menjadi sosok yang lebih baik atau hadiah
yang patut kita peroleh atas kelakuan kita yang baik ketika menjalani hidup
sebelum ini. Semalam saya berkhayal, mereka-reka kehidupan saya sekarang ini
adalah hukuman atau justru hadiah. Ini hanyalah analisis pikiran liar saya,
sebuah lelucon yang pikiran saya kemukakan ketika kantuk tidak juga hinggap di
kepala.
Analisis asal yang pertama adalah pasti saya di kehidupan
sebelumnya bisa jadi seorang player. Casanova. Playboy. Buaya. Whatever you
named it. Kenapa saya bisa berpikiran seperti itu karena saya menganalisis dari
kehidupan percintaan saya yang menyedihkan. Bisa jadi karena di kehidupan
sebelumnya saya terlalu sering menyakiti perasaan banyak orang. Terlalu sering
membuat hati banyak orang hancur berkeping-kepang. Makanya di kehidupan
sekarang ini saya hidup menjalani hukuman. Dipersulit untuk mendapatkan seorang
pasangan. Diberi sukar ketika saya ingin mempertahankan hubungan yang sedang
dalam genggaman. Saya hidup dalam hukuman yang entah berapa lama akan
berlangsung. Saya hanya disuruh menjalani tanpa tahu kapan semua ini akan
berhenti.
Analisis asal yang kedua, mungkin saja di kehidupan sebelum
ini saya adalah seorang biksu atau seorang pastor yang harus meredam perasaan
cinta yang saya punya. Karena prestasi saya yang gemilang, di kehidupan
setelahnya saya diberi kesempatan untuk mengekspresikan rasa cinta. Tapi karena
di kehidupan sebelumnya saya belum pernah menjalani bagaimana meretas perasaan
cinta, di kehidupan ini saya masih disuruh untuk belajar. Terseok-seok dari
satu perasaan ke perasaan berikutnya. Terluka dari satu kesakitan ke sakitan
berikutnya. Dan terlunta-lunta tanpa sarana yang tepat untuk menyalurkan rasa
yang berkecamuk di dalam dada. Saya
disuruh untuk terus bertahan, juga entah sampai kapan. Apakah ketika saya
berhasil, manis buah dari pembelajaran yang saya lakukan akan saya rasakan
langsung sekarang di kehidupan sekarang. Entahlah.
Analisis yang ketiga tidak sempat saya lakukan karena saya
keburu ngantuk. Besok deh saya lanjutkan, kalau masih niat!
Senin, 26 November 2012
Bertahan
The drama happens in life. Love. Heart that breaks into
pieces. Losing friends. Moving on. Letting go. But i’m still alive.
Ya, lihat saja saya masih bertahan. Tidak peduli sudah
sekian banyak penggalan drama saya selesaikan atau hanya saya gantungkan. Saya
bertahan karena hidup sebetulnya hanya tentang itu. Bertahan.
Love. Jatuh cinta. Semua orang pernah jatuh cinta, tidak terkecuali
saya. Cinta mengajarkan bagaimana saya harus mengatur perasaan. Cinta memberi
saya arahan bagaimana berbagi dalam takaran yang tidak pernah saya duga kalau saya
mampu lakukan. Cinta membuat saya
bertumbuh dari kerdil kemudian menjadi rindang, dari terkungkung kemudian
terbebaskan. Cinta juga mengajarkan bagaimana terbang dengan sayap tak kasat
mata ke berbagai pemberhentian hanya dengan sebuah kepercayaan.
Tapi cinta juga mengajarkan apa itu kesedihan. Memberi air
mata yang menetes membentuk bilur kenangan yang tidak mudah dienyahkan. Cinta
tidak jarang membuat hati saya hancur berkeping-keping, sehingga saya memiliki
sebuah jambangan kesedihan imajiner tempat menyimpan serpihannya. Jambangan
yang saya tidak tahu seberapa besar ukurannya karena sudah sedemikan banyak
serpihan yang saya taruh tetapi jambangannya tidak lantas penuh.
Orang mungkin bertanya untuk apa saya menyimpan serpihan
kesedihan. Saya juga tidak tahu. Karena yang saya tahu kenangan-kenangan yang
dulu pernah terserak bisa saya kumpulkan untuk saya jadikan acuan melangkah
pada masa mendatang. Tapi saya salah. Menyimpan kenangan justru menyulitkan
langkah yang seharusnya ringan digerakan. Dan saya bebal. Meskipun saya tahu
demikian, saya tetap menyimpannya dalam jambangan kesedihan. Jambangan imajiner
yang saya tidak tahu seberapa besar kapasitas simpannya.
Ternyata hidup memberikan kesedihan tidak hanya dari cinta
yang berasal dari pasangan, tapi seringkali juga dari orang-orang yang saya
sebut sebagai kawan. Mungkin sebetulnya mereka tidak bermaksud untuk menyakiti
meski yang saya rasakan justru sebuah kesakitan. Sebuah perasaan terabaikan.
Terkhianati. Ditinggalkan. Dan akhirnya kehilangan. Kehilangan yang lagi-lagi
akan saya simpan dalam sebuah jambangan kesedihan.
Mungkin saya lambat bergerak dari sebuah keterpurukan.
Lamban dalam memunguti semua serpihan dan memasukannya dalam jambangan padahal
waktu terus diputar. Sering saya kehilangan banyak kesempatan hanya karena saya
menangisi kebodohan berulang-ulang. Kehilangan banyak peluang untuk berkembang
karena saya justru hidup di belakang. Di sebuah bayangan buram yang dipantulkan
oleh cermin yang tidak pernah dibersihkan. Saya ketinggalan.
Kemudian saya tersadar. Tidak mungkin saya hidup selalu di
masa lampau yang tidak menyenangkan. Keadaan seperti ini membuat saya dipaksa
untuk berjalan. Meninggalkan apa yang sudah sepatutnya saya tinggalkan dalam
jambangan sebagai kenangan. Berusaha tidak mengungkitnya atau menyusunnya
kembali menjadi sebuah cerita utuh di masa depan. Sesekali memang masih saya
lakukan untuk berbagai alasan pembenaran. Tapi saya lakukan sambil terus
berjalan. Sebuah kemajuan.
Selain bergerak saya juga belajar melepaskan. Memilah dan
membuang apa yang saya sudah simpan dalam jambangan kesedihan agar tidak bisa
terus dikenang. Memang tidak saya lakukan pada semua jenis kenangan karena satu
dan lain hal, karenanya untuk pelajaran melepaskan ini saya sering sekali
mendapatkan nilai merah sebagai peringatan. Tapi saya terus belajar. Satu-satu
saya buang. Yang paling berat biasanya saya lakukan belakangan, dan sampai
sekarang saya masih berusaha untuk bisa dimusnahkan.
Hidup saya drama. Saya mengamini. Babak demi babak saya
lewati. Peran demi peran saya jalankan. Dan saya berharap bisa segera sampai
pada sebuah tujuan. Tujuan yang sebetulnya saya juga tidak tahu apa itu gerangan . Mungkin kebahagiaan.
Atau mungkin bisa saja hanya sebuah perasaan bertahan. Bertahan dari segala
macam bentuk ancaman yang timbul dari sebuah drama banyak babak yang diundi
mana duluan yang harus dimainkan.
Kamis, 22 November 2012
Buta
Dalam kegelapan entah itu gelap sungguhan maupun artificial,
kita hanya bisa merasakan. Meraba kemudian menterjemahkannya dalam bentuk
perasaan. Kemungkinan benar atau salah mengenai yang kita rasakan memang tidak
lantas menjadi gamblang. Semua berada di area abu-abu, seringkali berada di
kisaran keliru.
Dia memilih buta seperti halnya saya yang juga memilih buta.
Sialnya kami sama-sama tahu. Hidup dalam penyangkalan.
Berusaha berkelit dari kenyataan yang terlihat jelas di hadapan. Menganggap
bahwa masing-masing dari kami hidup pada jalur yang berlainan yang tidak akan
pernah berpotongan. Seperti asimtot, kami hanya saling mendekat sampai jarak
yang tak hingga tanpa bisa bersentuhan. Sebuah bentuk yang sengaja dijadikan
pilihan ketika perasaan tidak sejalan dengan banyak keinginan.
Saya mencintainya. Dulu. Sampai sekarang sesungguhnya meskipun saya tidak mengumbarnya
seperti waktu itu. Dia tidak pernah berusaha mencintai saya. Saya tahu itu. Dia
hanya malas beranjak dari kenyamanan hubungan entah apa namanya yang membuatnya
memiliki tempat untuk sekedar bersandar. Dia tidak mau menerima cinta saya,
tapi itu tidak lantas membuatnya ingin beranjak meninggalkan semuanya. Dia
manipulatif dengan ingin menjelma sebagai seorang sahabat dengan kadar yang
membuat posisi saya lebih dari seharusnya.
Sahabat tidak saling mencintai. Katanya. Tapi menurut saya
sahabat juga tidak saling menuntut. Tidak selalu ingin didengarkan ketika salah
satu memang tidak ingin mendengar. Sahabat tidak akan saling menyakiti. Katanya
lagi. Tapi dengan selalu mengikuti, itu justru bentuk menyakiti yang membuat
memar di hati.
Dia memilih buta seperti halnya saya yang juga memilih buta.
Dia memilih untuk menyangkal bahwa apa yang saya lakukan
selama ini adalah sepenggal sayang. Saya memilih buta karena menganggap
penolakan demi penolakan yang dia pertontonkan hanyalah sebuah bentuk ketidakpercayaan.
Tidak percaya saya mampu memberinya kebahagiaan karena kami tidak seiman. Hanya
karena saya tidak memiliki mata segaris seperti yang Tuhan lukis di wajahnya,
dia ragu untuk bilang “yes, i do”. Tapi itu haknya, seperti hak dia untuk tetap
berada di dekat saya dengan alasan sebuah persahabatan.
Kami mungkin sama-sama menyangkal untuk sebuah alasan.
Alasan yang akan membuat sebagian besar orang terbelalak dan hanya berpikir itu
hanya sebuah bualan. Alasan untuk merasa saling tidak kehilangan. Kehilangan
rasa nyaman, kehilangan sandaran, atau kehilangan pegangan. Anehnya kami berdua
menikmati penyangkalan itu sehingga kami berdua memilih buta. Memilih
mengabaikan apa yang kami rasakan untuk sekedar saling berdekatan. Tanpa
ikatan.
Saya dan dia mungkin hanya sedang dininabobokan nyaman.
Karena kami berdua tahu kalau suatu saat akan tiba pada sebuah titik yang
disebut perpisahan. Akan ada cahaya terang yang menyilaukan yang memaksa kami
untuk membuka mata dan melepaskan genggaman. Akan ada suatu waktu dimana akhir
adalah akhir yang tidak bisa ditawar lagi. Akan ada waktunya. Waktunya untuk
saya melepaskan perasaan sayang yang sudah tumbuh beberapa tahun ke belakang.
Dan waktu dia untuk beranjak pergi tanpa lagi memberati langkah yang saya titi.
Saya dan dia sama-sama memilih buta. Tapi saya jauh lebih
buta karena meskipun dia sekarang sudah berpasangan, saya tidak lantas
menjadikannya alasan untuk berjalan sendirian. Salahkan dia, karena meskipun
sekarang statusnya sudah kekasih orang tapi dia tetap saja membuat saya seperti
seseorang yang teristimewa. Setidaknya menurut saya.
Senin, 19 November 2012
Sebuah Pertemuan
Siapa sangka ternyata saya masih bisa bertemu lagi
dengannya. Seorang sahabat yang demi alasan mengejar kebahagiaan yang nyata
berpindah ke belahan benua yang berbeda dengan saya.
Siapa sangka kalau ternyata saya justru bertemu dengannya di
tempat yang tidak kami berdua duga sebelumnya. Sebuah tempat dimana banyak
pelancong datang karena dijanjikan suguhan pantai dan laut biru sejauh kita
melepaskan pandang.
Tuhan selalu bekerja dengan cara yang misterius. Cara yang
kadang tidak bisa dicapai oleh nalar. Dan pertemuan saya dengan seorang sahabat
yang saya sayang pasti karena ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Kalau tidak
ada campur tangan Tuhan, mana mungkin saya dapat bertemu dengan sahabat saya di
tempat yang jauhnya beratus kilo dari tempat yang kami rancang sebelumnya.
Awalnya kami berjanji untuk saling bertemu di Jakarta, kota
yang punya sejuta cerita tentang persahabatan kami berdua. Kota yang
melingkarkan banyak kenangan entah itu tentang rasa senang maupun tentang rasa
muram. Kota yang langsung kami sepakati ketika dia, sahabat saya mengirim pesan
kalau dia akan pulang ke Indonesia untuk berlibur.
Tanggal sudah disepakati. Ibarat anak kecil yang dijanjikan
pergi tamasya oleh ayahnya, saya melingkari tanggalan denga spidol berwarna
mencolok meskipun halaman tanggalan tersebut masih ditutupi oleh lembaran
bulan-bulan yang akan datang lebih awal. Saya sangat antusias. Bagaimana tidak,
hampir 2 tahun saya tidak pernah bertemu dengannya. Bahkan ketika dia pergi
meninggalkan Indonesia, saya tidak bisa mengantarkannya ke bandara. Panggilan
dinas membuat saya tidak berada di Jakarta saat itu.
Sahabat macam apa saya ini.
Waktu sudah semakin dekat. Lembar tanggalan yang menutupi
tanggal berlingkarkan spidol sudah tidak sebanyak waktu awal. Tiba-tiba masalah
mulai mengintai. Paper ilmiah yang saya kirimkan beberapa bulan ke belakang ke
sebuah perhelatan konfrensi internasional ternyata diterima. Konsekuensinya
saya harus mempresentasikan paper itu dalam acara tersebut. Dan tanggal
pelaksanaannya ada dalam kisaran tanggal dimana seharusnya saya bertemu dengan
sahabat saya yang akan pulang kandang.
Saya gamang. Ini adalah kesempatan saya untuk bertemu
sahabat yang entah kapan lagi akan pulang. Tapi saya juga tidak mungkin
mengingkari kehadiran saya ke acara konfrensi.
2 hal yang pastinya akan menerbangkan saya pada dimensi yang berlainan,
meskipun ujungnya berupa pemenuhan kebutuhan hati.
Saya mengontak sahabat saya dan bilang kalau sepertinya kali
ini saya tidak bisa menemuinya. Saya jelaskan semuanya, tanpa maksud ingin bisa
dimengerti. Dan kemudian sahabat saya bertanya dimana saya akan menghadiri
konfrensi tersebut. Tanpa diduga dia bilang “Oke kita bertemu tanggal segitu di
Senggigi”.
Saya terkejut, cenderung melongo. Saya bilang kalau dia
tidak perlu memaksakan diri sampai mengunjungi saya di Senggigi. Tapi
belakangan saya tahu kalau ternyata dia memang akan berlibur ke Lombok untuk
menyelam dengan pasangannya. Saya senang bukan kepalang, dalam satu kali
kayuhan saya bisa memeperoleh 2 hal yang saya inginkan. Bertemu sahabat yang
saya sayang, dan berbicara di sebuah konfrensi bertaraf internasional mengenai
kekayaan hayati yang dimiliki negeri ini. Berkah Tuhan mana lagi yang harus
saya dustakan?
Waktu yang ditentukan akhirnya datang. Selepas konfrensi
hari pertama, malam harinya saya bertemu dengan dia. Sahabat yang sudah hampir
2 tahun tidak bisa saya pegang. Sahabat yang saya ikut bahagia karena dia untuk
saat ini sudah menemukan kebahagiannya. Kami berpelukan. Lama. 2 tahun terasa
baru terjadi kemarin saja, tidak ada yang berubah dengannya kecuali pendar
kebahagiaan yang saya temui di matanya. Malam itu untuk pertama kalinya saya
juga bertemu dengan pasangannya. Dan seperti yang pernah dia bilang,
pasangannya memang sosok yang juga menyenangkan.
Duduk di sebuah restauran di tepi pantai. Menikmati suguhan
makan malam sembari sesekali menghitung bintang, kami bertiga dilarutkan oleh
keadaan. Ada saat mengenang, ada saat membayangkan masa depan. Hal-hal yang
membuat saya semakin yakin kalau dia tidak salah menjatuhkan pilihan. Sahabat
saya tidak salah mengejar mimpi yang dia yakini. Tidak salah memilih pasangan
yang dia nikahi.
Waktu kalau bisa akan saya perintahkan untuk tidak berganti
posisi. Kalaupun tidak, saya ingin dia berdetak selambat mungkin sehingga semua
momen bisa saya potret dalam hati. Keintiman yang membuat iri, kebahagiaan yang
mengajari. Dan saya terlempar dalam sebuah momen rasa puas hanya dengan
mengamati. Menemukan kebahagiaan saya sendiri dalam kebahagiaan yang sudah
seorang sahabat dapati.
Sahabat, seperti yang sudah saya bilang malam itu. Malam
ketika kita bertiga mentertawakan banyak hal, malam ketika angin laut ikut
menyuarakan kidung keceriaan. Saya ikut bahagia untuk setiap tahapan yang
sedang kamu lewati. Mungkin tidak semudah apa yang saya bayangkan, tapi lihat
kamu sudah berhasil selama 2 tahun ini. Tidak ada lagi keniscayaan ketika kamu
mau berjuang. Tidak ada kemustahilan ketika kalian berdua saling mengandalkan.
Dan saya sebagai pengamat di luar lingkaran cukup puas dengan apa yang selama 2
tahun ini sudah kalian capai. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia.
Kebahagiaan saya bertemu kalian tidak bisa ditakar. Hati
saya penuh bahkan mungkin menggelembung memenuhi rongga yang disekat diafragma.
Saya tidak lantas berhenti mendoakan, karena saya tahu kalau jalan untuk kalian
masih terpampang panjang di depan. Semoga apa yang kalian sebut cinta terus
beranak pinak sampai nanti saat senja. Saat uban kalian sudah tidak bisa
ditahan tumbuh di kepala.
Terima kasih untuk
hadiah parfum dan body lotionnya. Ternyata kamu tidak pernah lupa mengenai apa
yang saya suka.
Jumat, 16 November 2012
Quick Updates
Sama aku juga kangen sama kalian. Bukan berarti karena aku
sekarang jarang menyambangi terus kalian merasa tersisihkan lho yah.
Keadaan sekarang sedang tidak memungkinkan untuk aku
bermain-main dengan kalian. Padahal semua tentang kalian menari-nari di dalam
kepala minta ditunaskan atau setidaknya dibebaskan. Untuk itu aku minta maaf.
Rentetan perjalanan dinas yang membuat aku hidup seperti di dalam
bandara turut andil dalam terjadinya keadaan ini. Tagihan jurnal-jurnal ilmiah
yang mengetuk di setiap kesempatan membuat aku lebih banyak bermain dengan
kawan kalian dari kelompok yang berlainan. Aku harap kalian tidak lantas
cemburu, kemudian memboikot datang ketika keadaan sudah beranjak nyaman nanti.
Kalian masih menempati ruang teristimewa di salah satu bagian di dalam kepala.
Sekarang hanya sedang tidak memungkinkan untuk kita bercengkrama seperti biasa.
Doakan saja aku. Semoga semua tuntutan pekerjaan dan semua
tagihan yang pernah aku janjikan di awal kegiatan dulu segera terselesaikan.
Aku tahu kalian akan setia menunggu, tidak peduli aku yang terus melaju tanpa
memberikan banyak sapa. Aku tahu kalian mengerti karena apa yang sekarang aku
jalani adalah setangkup perjalanan untuk meraih asa dan cita-cita.
Seperti pernah aku bilang ketika kita pertama kali
berkenalan. Kalianlah air yang menyesatkanku dalam cinta tak bermuara. Tanpa
kalian aku bukan apa-apa.
Semoga kita bisa segera berlarian di taman seperti sedia kala.
*Ngomong sama kata-kata penuh diksi yang terbengkalai di
dalam tulang kepala.
Senin, 22 Oktober 2012
Dia Hadir Kembali
Lewat tengah malam engkau datang diam-diam. Awalnya pelan,
kemudian beranjak lantang. Seperti anak muda yang tiba-tiba menjadi dewasa,
tanpa takut engkau terus datang bertandang. Memang belum sesering seperti satu
tahun kebelakang, tapi setidaknya engkau kini mulai mengabarkan kalau engkau
siap lagi menghadang.
Banyak yang bersuka cita meskipun tidak sedikit juga yang
tidak rela. Tapi seperti engkau pernah bilang lewat bisikan yang justru
meninabobokan, itulah hidup. Tidak selamanya kita bisa menyenangkan semua
orang. Selalu ada pro dan kontra, selalu ada pertentangan. Dan engkau menjelma
ksatria. Tidak gentar pada semua cacian yang membayang.
Engkau hanya merasa bahawa sekarang saatnya. Waktu yang
paling tepat untuk melanjutkan cerita yang pernah tertunda. Entah apa yang
sesungguhnya engkau lakukan ketika engkau mulai jarang datang sampai akhirnya
benar-benar menghilang. Tidak ada kabar pasti, hanya sebuah janji yang tergores
di ranting-ranting cemara yang daunnya ranggas karena proses absisi. Engkau
bilang engkau pasti akan kembali. Menggagas lagi cerita pengisi hari.
Dan engkau membuktikan janjimu. Engkau tidak ingin disebut
pengecut karena sudah mengingkari ikrar yang engkau buat sendiri. Mungkin terlambat, tidak
sesuai dengan waktu yang berlaku. Tapi engkau kini mulai datang menyambangi
sehingga orang-orang tidak perlu lagi menggugat sepanjang pagi. Berharap engkau
datang kala senja meluruhkan surya, atau ketika hitam menyelimuti malam.
Aku masih saja penasaran. Lebih ke ingin belajar sebetulnya.
Aku ingin tahu apa yang engkau lakukan ketika engkau menghilang? Apa yang
engkau lakukan ketika engkau tersisihkan? Tidak bisa datang karena tergantikan
oleh sesuatu yang sudah menjadi sabda alam. Aku ingin belajar, bagaimana engkau
bisa menghilangkan dendam karena untuk sementara waktu engkau justru
termarjinalkan? Aku sungguh-sungguh ingin belajar tentang itu.
Menjadi ksatria memang tidak mudah. Begitu yang sayup-sayup
aku dengar ketika engkau menyambangiku untuk pertama kalinya lewat tengah malam
beberapa hari ke belakang. Sayup-sayup yang aku rekam dalam diam. Sayup-sayup
yang hanya menjadi sebuah pertanda kalau engkau kini akan rajin mendatangi.
Sayup yang perlahan tapi pasti berubah menjadi bunyi. Seperti tetaluan yang
dibunyikan ketika menyambut sebuah kemenangan. Memekakkan.
Sesungguhnya aku merindukanmu. Rindu pada belaian yang
mengantarkanku pada mimpi pengisi sunyi. Rindu pada bisikanmu yang
mendongengkan cerita-cerita tentang ksatria pemberani yang tidak pernah gentar
melewati cobaan sebangsa duri. Ksatria yang mungkin hanya bualanmu saja. Ksatria
yang sengaja kamu reka untuk memuaskan telingaku tentang cerita epik yang
selalu membuatku dahaga. Dan seperti biasa ceritamu layaknya air yang
menyesatkanku dalam cinta tak bermuara.
Lewat tengah malam kamu datang diam-diam. Awalnya pelan,
kemudian beranjak lantang. Seperti seorang ksatria yang selama ini engkau
ceritakan, engkau menjelma dalam langit gelap berbatas pandang. Dan rinduku
terobati. Terkikis oleh suaramu yang merdu mengalun lagu. Menghilang oleh
rintik yang turun perlahan. Mengenyahkan debu yang menebal ditabung waktu.
Meniupkan harapan pada semesta bahwa hidup siap diputar kembali.
Hantarkan aku pada purna mimpi seperti dulu. Saat kita
menjalin hubungan dalam ceruk berisi sisa air yang engkau curahkan semalaman.
Hilangkan dahagaku, enyahkan kegalauanku. Bersamamu aku yakin kalau hidup akan
terus berpihak kepadaku. Seperti engkau yang sebetulnya tidak pernah benar-benar
meninggalkanku.
Mari kita tuntaskan rindu lewat permainan cinta semalam
suntuk. Kita tuntaskan apa yang selama ini belum kita selesaikan. Lewat
percikmu aku menguntai harapan. Lewat kedatanganmu aku menggelembungkan banyak
pengharapan. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Hujan.
Senin, 15 Oktober 2012
Namanya Sahabat
“Sebagaimanapun kita tidak suka dengan bagaimana caranya
mendapatkan pasangan, tetapi ketika akhirnya mereka berdua memutuskan untuk
menikah itu artinya mereka berdua berjodoh”
“Sebuah jalan Tuhan”
Itu yang saya tuliskan di wall Path saya hari minggu pagi
kemarin. Entah kenapa saya tergerak untuk menuliskan kalimat itu bahkan ketika
kesadaran saya belum seutuhnya penuh. Saya masih berbaring di tempat tidur
dengan selimut menutupi hampir seluruh permukaan badan. Dan saya seperti
dituntun untuk menuliskan kalimat tersebut. Tanpa tendensi. Tanpa kemarahan.
Ya, saya tidak lagi marah. Tidak lagi kesal dengan apa yang
selama ini saya simpan. Sebuah ketidaksukaan terhadap seseorang karena caranya
mendapatkan pasangan. Ketidaksukaan karena dia tega mengambil satu-satunya
pengharapan yang selama ini saya pelihara. Mungkin benar saya hanya
memeliharanya dalam angan, dalam bentuk impian, tapi saya menjaganya sambil
berdoa. Berharap jikalau semuanya akan berubah menjadi nyata. Menemukan
jalannya untuk direalisasi sehingga terbangun dari sebentuk mimpi.
Sebut saya berlebihan. Mengklaim sesuatu yang sebetulnya
tidak jelas ujung kesimpulannya. Memagari sesuatu yang sebetulnya memang belum
termiliki, belum menjadi bagian dari hati seperti yang selama ini saya rekam
dalam imagi. Seperti saya bilang, saya hanya memelihara mimpi. Memupuk
keinginan dalam angan. Berharap pada sesuatu yang saya tahu dari awal kalau apa
yang saya inginkan tidak akan pernah berlaku.
Tapi saya cukup bahagia dengan memilikinya sebagai mimpi.
Dan sahabat saya tahu itu. Dengannya saya berbagi, mengurai
semua apa yang saya rasakan pada seseorang yang belum bisa saya miliki.
Dengannya saya mentertawakan kebodohan saya sendiri karena saya seperti
dibutakan keadaan. Bertahan pada pijakan yang menurut saya benar. Melangkah
pada titian yang kalau saya terus perjuangkan akan membawa saya pada sebuah
tujuan.
Sahabat saya mengamini. Ikut mendoakan agar semua harap yang
saya panjatkan bisa bertemu dengan kenyataan. Atau paling tidak sebuah
kesadaran kalau sesungguhnya dia bukan orang yang tepat untuk terus dikejar.
Bukan orang yang pantas untuk terus diperjuangkan ketika dia lebih banyak
mempertontonkan penolakan meskipun dalam diam. Bersama sahabat saya itu,
semuanya saya lalui. Dan dia membuat saya kuat untuk terus berdiri dan berlari.
Mengejar dan meyakini apa yang menurut saya benar. Mungkin itulah gunanya
seorang sahabat.
Sampai suatu hari. Sahabat saya mengajak bertemu di tempat
biasa kami berbagi mimpi. Tidak ada firasat buruk, tidak ada prasangka karena
hal itu sudah biasa ketika saya berada di Bandung. Bertemu sekedar untuk
merecharge hati dengan cerita-cerita konyol yang kejadian selama kami
berjauhan. Mentertawakan hidup yang seringnya mentertawakan kami lebih duluan.
Bagaimana tidak, di usia kami yang tidak lagi muda kami belum lantas memiliki
seorang pasangan. Kasihan.
Kami bercerita seperti biasa. Membuka aib masing-masing dan
saling membully. Seperti itulah kami saling menyanyangi. Saling menunjukkan
kalau kami saling peduli, meski lewat hujatan. Dan kami tidak pernah sakit hati
karena kami sudah sama-sama mengerti. Lewat kalimat-kalimat yang menikam kami
berbagi kasih sayang. Mencintai dengan cara yang orang nilai anomali.
“Dia menyatakan cinta pada saya, dan saya menerimanya”
Begitu kalimat yang dia ucapkan diantara banyak percakapan sampah yang keluar
dari mulut kami sore itu. Saya sontak diam. Butuh beberapa saat untuk merespon
apa yang baru saja dia lontarkan. Saya menanggapinya sambil menata perasaan
yang tiba-tiba berantakan. Saya hanya bereaksi wajar, seolah-olah saya antusias
dengan apa yang dia sampaikan padahal kalau disimak benar hati saya sobek
perlahan.
Tidak ada alasan saya untuk keberatan toh seseorang yang
saya simpan dalam koridor mimpi itu memang belum termiliki. Saya hanya marah,
atau kecewa karena yang justru mengambilnya adalah sahabat saya sendiri. Orang
yang paling tahu bagaimana perasaan saya terhadap dia. Orang terdekat yang
tidak pernah lupa mendoakan untuk saya mendapat jalan sehingga bisa
berdampingan dengan impian yang selama ini saya simpan.
Setelah kejadian itu saya lebih banyak menghindar. Terdengar
picik dan kekanak-kanakan, tapi saya butuh waktu untuk proses penyembuhan. Saya
butuh banyak perenungan untuk menjadi mengerti kalau semua ini layak terjadi.
Saya juga butuh sendiri untuk menjawab banyak pertanyaan mengenai sejak kapan
dan bagaimana awalan semuanya bisa kejadian. Saya benar-benar butuh sendiri.
Bertemu dia dengan tergesa hanya akan membuat saya lebih jatuh dan terpuruk.
Semua berjalan seperti apa yang saya ingini. Sahabat saya
juga tidak memburu-buru agar saya cepat mengerti. Kami menggembok diri dengan
sunyi. Memagari semua kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Tidak saling
memaksakan diri bertemu untuk sekedar berbasa-basi. Masing-masing dari kami
saling menghindar.
Sebetulnya saya tidak layak untuk keberatan. Tidak layak
untuk marah pada keadaan yang menjadikan mereka kemudian sebagai pasangan.
Tidak ada hak saya untuk melarang, apalagi menghalang-halangi mereka yang entah
bagaimana bisa terlibat sebuah percintaan. Saya sebagai manusia biasa hanya
merasa dikhianati. Disabotase oleh orang yang kadang mengenal saya jauh dari
saya sendiri. Tapi saya bisa apa, saya hanya manusia biasa. Punya rasa sakit
ketika ditikam dari belakang.
Saya pelan-pelan memaafkan. Dalam diam karena saya masih
saja ingin menghindar. Sampai akhirnya sahabat saya mengabari duluan.
Membewarakan kalau seseorang yang pernah saya simpan dalam impian melamarnya
dan dia menerima. Bulan Januari mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan.
Membaca bbm-nya membuat saya menangis, meratapi nasib saya. Tapi itu hanya
sebentar karena beberapa saat kemudian entah dengan kekuatan yang datangnya dari
mana, saya memiliki kekuatan untuk memaafkan dan melupakan.
Saya ikut bahagia karena saya percaya ada campur tangan
Tuhan di dalamnya. Tidak mungkin akan kejadian kalau Tuhan tidak mengizinkan.
Dengan bekal itu saya menulis kalimat yang saya share di wall Path saya, tanpa
ada lagi dendam.
Selasa, 25 September 2012
While You Were Sleeping
Aku senang memandangi wajahnya saat dia sedang terlelap.
Rasanya damai. Seperti malam itu di
ruang preparasi laboratorium mikrobiologi di kampusku, kampus kami. Dia tidur
seperti bayi, tidak terganggu oleh aktivitasku yang hilir mudik mengerjakan
penelitian tugas akhir jaman kuliah sarjana dulu.
Awalnya dia tidak mau menemaniku, katanya tidak ada kerjaan
menunggui orang yang sedang menghitung jumlah bakteri per dua jam hanya untuk
melihat kurva pertumbuhannya. Melihat kapan bakteri-bakteri itu mulai tumbuh
pesat, lalu tumbuh stagnan kemudian mengalami fase kematian. Otak tekniknya
menganggap pekerjaanku hanya buang-buang waktu. Sesuatu yang tidak perlu dikaji
secara teliti.
Hal-hal seperti itu biasanya menjadi sumber pertengkaran.
Sampai aku bosan melayani dan dia bosan mempertanyakan. Kami hanya melakukan
kewajiban ‘menemani’ seperti apa yang dilakukan pasangan lain. Menguatkan
secara emosi meski kadang tidak bisa membantu secara fisik. Seperti beberapa
hari sebelum malam itu, aku merajuk untuk ditemani menginap di lab. Dan dia
menolak layaknya biasa. Bagi dia kalau bisa berkata tidak untuk apa mempermudah
keadaan dengan mengatakan iya. Aku sudah hapal benar tabiatnya. Sialan.
Aku tetap bertahan. Keukeuh minta ditemani dengan alasan
tidak ada partner lain yang mengerjakan hal serupa. Biasanya aku memang tandem
dengan teman-teman lain yang tema penelitiannya relatif serupa. Sayang, hari
itu tidak ada yang merencanakan melakukan pekerjaan yang sama sehingga aku
harus mengerjakannya sendirian. Tidak masalah sebetulnya, karena meskipun
tandem kami akan bekerja sendiri-sendiri, hanya saja merasa tertemani.
Rumor mengenai keangkeran kampus kami, termasuk “si gaun
merah” penghuni selasar di lantai 4 lab mikrobiologi yang menyebabkan aku tidak
pernah berani bekerja sendirian malam hari. Apalagi harus menginap. Karenanya
aku mengajak dia, yang berstatus sebagai kekasihku untuk menemani. Tidak peduli
kalau nanti dia hanya tidur di kasur lipat yang sengaja aku bawa dari rumah,
setidaknya aku tidak merasa sendiri. Ada dia, meskipun dukungan terbesar yang
bisa dilakukannya hanyalah terlelap dengan nyenyak.
Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap.
Rasanya damai. Seperti malam itu ketika aku di sela-sela waktu jeda duduk
memeluk lutut di sebelahnya. Tanpa banyak suara aku hanya mengamati. Menelisik
hampir setiap bagian tubuhnya yang malam itu lagi-lagi dibalut jaket himpunan
kebanggaannya. Jaket himpunan yang sering berbau tidak enak saking jarangnya
bertemu air dan sabun. Jaket himpunan yang pernah aku ambil diam-diam dari
kosannya untuk kemudian aku laundry di binatu dekat kampus.
Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap.
Rasanya damai. Dan sepertinya aku kecanduan. Terpuaskan hanya dengan memandangi
wajahnya ketika dia sedang terlelap. Menyihirku agar tidak kesal dengan
kebiasaannya yang bisa tidur di mana saja dan kapan saja. Tidak peduli saat itu
kami sedang berdiskusi, atau sedang duduk saling bersisian sambil menonton DVD
secara marathon di kosannya yang berantakan. Kalaupun aku mengutarakan
kekesalanku, maka dengan cekatan dia akan mengucapkan kalimat andalannya “Kalau
dekat kamu itu rasanya nyaman. Membuatku aman” Gombal.
Kebiasaanku memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap
harus dihentikan saat kami berdua mencapai titik akhir sebuah tujuan.
Kelulusan. Meskipun aku dan dia berbeda angkatan, tapi kami lulus berbarengan.
Dia terlambat dengan alasan bahwa lulus kuliah di jurusan teknik tidak semudah lulus
dari jurusanku yang hanya dengan menghitung jumlah bakteri bisa naik ke podium
dan dinyatakan berhasil menyabet sebuah gelar.
Setelah lulus, dia harus pulang ke kampungnya. Mungkin lebih
tepat ingin pulang karena jiwa aktivisnya membuat dia ingin membangun kampung
halamannya. Aku tidak memaksa dia untuk tetap tinggal. Percuma. Dia tipikal
orang dengan sifat kalau memiliki keinginan maka harus dilaksanakan atau
setidaknya diperjuangkan, dan aku sebetulnya bangga. Sayangnya kami tidak
percaya dengan LDR, Long Distance Relationship yang sering kami pelesetkan
menjadi Lots of Drama Relationship. Kami
harus mengambil satu keputusan. Perpisahan.
Terakhir aku bertemu dengannya di bandara ketika aku
mengantarnya. Setelah itu tidak pernah ada kabar berita. Masing-masing dari
kami saling menjaga hati untuk tidak saling menyakiti. Saling berkirim kabar
hanya akan membuat luka yang menganga menjadi semakin menganga. Menyulitkan
hati untuk kembali membuka diri.
Waktu menyembuhkan. Putaran hari membuat perasaan
termanipulasi. Seolah-olah kenangan itu terbenam dalam padahal sebetulnya
terkubur dangkal. Membuat perasaan hati seolah mati padahal dia hanya mati
suri. Mudah sekali dibangunkan oleh sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu berkesan.
Perasaan itu pernah terbangun ketika aku memperoleh kabar dari seorang rekan
kalau dia sekarang bermukim di jakarta. Di kota yang sama dengan tempat aku
tinggal. Meski begitu kami tidak pernah saling mencari. Kami merasa apa yang
sudah terjadi di belakang memang harus di simpan di belakang.
Sampai kemarin. Senin, 24 September 2012. Aku bertemu lagi
dengan dia untuk pertama kalinya sejak perpisahan di bandara 9 tahun silam. Aku
bertemu lagi dengannya di bandara yang sama. Dan entah konspirasi macam apa
yang telah diatur dunia sehingga aku harus sepesawat dengannya dan duduk
sejajar hanya dipisahkan oleh sepetak gang. Aku bertindak wajar seperti halnya
dia. Tidak banyak perbincangan karena baik aku atau dia masih dikejutkan oleh
kebetulan yang rasanya menyesakkan. Kami hanya dibalut diam.
Kebiasaanya ternyata tidak banyak berubah. Layaknya dulu,
sore itu dia memakai jaket company tempat dia bekerja. Tidak lama setelah pesawat
lepas landas dia kemudian asyik terlelap dilambung impian. Aku diuntungkan.
Memiliki kesempatan untuk mentamasyakan hati untuk bernostalgia dengan apa yang
dulu sering aku lakukan. Mengamati wajahnya yang damai ketika dia sedang tidur
terlelap.
Puluhan kenangan berlarian minta ditayangkan.Seringnya baur
terkadang jelas seperti baru saja kejadian. Tapi tidak banyak yang bisa
dilakukan. Apalagi kemudian aku melihat sebuah cincin yang melingkar di salah
satu jari manisnya.
Balikpapan, 25 September 2012.
Sabtu, 22 September 2012
Mamak Paraji
Ibuku seorang mamak paraji. Dia mendapatkan uang dari hasil
orang mengejan. Dia memperoleh bayaran ketika membantu seorang ibu berjuang
mengeluarkan bayi melalui proses yang dikenal dengan nama melahirkan.
Ibuku seorang mamak paraji. Dari kecil aku sudah akrab
dengan suara tangisan bayi yang bisa terjadi kapan saja tidak kenal waktu. Bisa
siang ketika benderang tapi tak jarang juga malam ketika katanya banyak
hantu-hantu gentayangan. Bukan hanya suara tangisan bayi, aku juga sudah
terbiasa dengan jeritan ibu-ibu yang geram karena kesakitan. Tak jarang aku
mendengar ibuku dicaci dan dimarahi karena bayi yang ada di perut tak kunjung
keluar. Anehnya ibuku yang seorang mamak paraji hanya diam.
Sebetulnya aku sedikit tidak senang ibuku berprofesi sebagai
mamak paraji. Bukan karena aku tidak tahan melihat darah atau tidak tega
melihat ibuku dimarahi orang yang sedang mengejan. Aku tidak begitu senang
karena waktu ibu buatku menjadi sangat minim. Memang aku tidak pernah
kekurangan kasih sayang, apalagi uang jajan tapi waktu ibuku menjadi sangat
tersita. Sedari dulu aku harus belajar berbagi, ibuku bukan hanya milikku satu.
Ibuku seorang mamak paraji. Dia menghidupiku dari uang hasil
orang mengejan. Berkolaborasi sempurna dengan bapakku yang seorang mantri
kesehatan, menjadikanku makan dan sekolah dari uang para pasien yang
bertandang. Lewat tangan para pasien-pasien itu dapur di rumah kami tetap
mengepul. Lewat rezeki yang datang dari pasien-pasien itu aku bisa bersekolah
di tempat yang bagus, menyemai mimpi agar suatu saat aku bisa menjadi mamak
paraji seperti ibu atau mantri kesehatan layaknya bapak.
Pernah suatu hari aku bertanya kepada ibuku yang seorang
mamak paraji kenapa dia seperti tidak pernah lelah. Seakan waktu baginya lebih
dari 24 jam dalam sehari semalam. Dan aku tidak mendapatkan jawaban. Sebagai
gantinya ibuku yang seorang mamak paraji membisikanku sesuatu. Dia bilang dia
tidak pernah lelah karena dia punya mantra rahasia yang bisa mengenyahkan lelah
dalam sekali hentakan. Aku mengejarnya dengan pertanyaan apa bunyi mantra
tersebut. Otak kanak-kanakku tertarik dengan mantra seperti aku tertarik pada
kembang gula sehingga dengan sabar aku menunggu ibu memberitahukan rahasia itu.
Masih berbisik ibu memberitahukan rahasia itu langsung ke arah telingaku. Kata
ibu mantra itu “uang...uang...uang”.
Ibuku seorang mamak paraji. Dia tidak menTuhankan uang, tidak
menganggap kalau uang adalah sumber segala kebahagiaan. Ibu pernah bilang kalau
kita melayani dengan tulus dan iklhas maka uang akan mengikuti sebagai imbalan.
Setimpal dengan kerja keras yang sudah kita lakukan. Itu yang terus diajarkan
ibu kepadaku. Uang bukan segala-galanya, tapi melihat kebahagiaan di wajah
orang-orang yang sudah terlayani dengan tulus akan membuat semuanya lebih
mudah. Membuat semua kesukaran akan menemukan jalan keluar termasuk
penghidupan.
Ibuku seorang mamak paraji, dari tangannya mungkin sudah
ribuan bayi diperkenalkan pada dunia luar. Tapi meskipun demikian, dia belum
pernah menolong seorang bayi yang sampai kini masih diidam-idamkannya. Bayi
mungil dimana ada darahnya yang ikut mengalir di dalam arteri dan aorta bayi
tersebut. Bayi yang pastinya lucu. Bayi yang merupakan sumber banyak
kebahagiaan. Bayi yang akan meneruskan silsilah keturunannya. Anakku. Cucu ibu.
Hari ini ibukku yang seorang mamak paraji merayakan hari
jadinya yang ke-54. Dan sampai hari ini pula aku masih menyesal karena belum bisa
memberinya seorang keturunan. Memang ibuku yang seorang mamak paraji tidak
menuntutku berlebihan, tapi aku tahu kalau dia diam-diam menginginkannya. Tidak
banyak bicara tapi aku yakin kalau ada keinginan itu terselip diantara
doa-doanya.
Selamat ulang tahun mamak paraji. Semoga umurmu dipanjangkan
oleh Allah SWT, dilimpahi banyak kebahagiaan dan diberikan keberkahan lewat
tanganmu yang tidak pernah berhenti menolong orang. Tidak banyak yang bisa aku
berikan, hanya setangkup doa agar sisa umurmu menjadi berkah yang akan
membuatmu menjadi bagian dari orang-orang yang mulia. Amin.
Tiap tahun aku tidak bosan untuk juga meminta dimaafkan atas
segala kesalahan dan ketidakmudahan selama aku menjadi anakmu. Atas kesabaranmu
mendidik dan membesarkan aku. Kesabaran menunggu aku memberimu cucu. Ah
sudahlah, bukankah semua itu pasti ada waktunya, aku hanya sedang menunggu
giliran seperti apa yang sering engkau bilang. Yang pasti aku akan terus
berusaha membahagiakanmu. Dengan caraku.
Ibuku seorang mamak paraji, dan hari ini dia sedang berulang
tahun. Meskipun demikian dia tidak berhenti dari kegiatannya menolong orang
yang sedang mengejan sambil merapal mantra andalannya. Uang...uang..uang...
Selasa, 18 September 2012
Tak Perlu Cemburu
Ya seharusnya. Karena sudah dari dulu kamu tidak pernah
tertarik dengan aku. Kamu hanya menganggap aku sebagai seorang sahabat, tidak
lebih. Sahabat yang kemudian lambat laun pernah menyemai cinta yang datangnya
tiba-tiba. Cinta yang datang begitu saja. Tanpa permisi, tanpa bisa disuruh
pergi.
Awalnya aku mengira itu hanya sementara. Buah dari kedekatan
yang intens. Reaksi dari pertemuan dan percakapan yang terlalu sering. Kemudian
aku merasa nyaman. Merasa menemukan pelabuhan untuk sekedar menambatkan hati.
Menguntai serakan kelopak rasa yang datang tiba-tiba. Tanpa permisi, tanpa bisa
disuruh pergi.
Dan aku salah. Rasa itu tidak lantas mau pergi bahkan ketika
waktu sudah banyak berlalu. Rasa itu mengendap, tidak mudah dienyahkan bahkan
ketika sudah banyak hati lain yang datang bergantian. Rasa itu seperti tidak
mau mati, minta dituntaskan padahal sudah tidak ada jalan.
Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Membelanjakan perasaan
yang ujungnya hanya berupa jalan tak bertuan. Harusnya aku hanya menjadi
pendengar setia ketika kamu dengan antusias menceritakan seseorang yang
sekarang sedang dekat bersamamu. Seseorang yang katanya membuatmu utuh karena
mengisi banyak kekosongan di hatimu. Seseorang yang mampu memberimu semangat
ketika banyak halangan yang harus disingkarkan. Seperti aku terhadapmu. Dulu.
Coba kamu dengar lebih seksama. Kalaupun aku lebih banyak
diam dan mendengarkan ketika pagi itu kita duduk berisisian, hati aku gaduh.
Ramai oleh banyak sekali keberatan yang terlontar tanpa perkataan. Aku lebih
banyak diam seolah menyimak dengan benar tentang dia yang kamu bangga-banggakan,
seolah aku antusias dengan apa yang kini kamu rasakan. Padahal semua itu adalah
caraku meredam gaduh. Mengalihkan ramai yang hati tengah rasakan.
Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Bahkan ketika nama
laki-laki itu muncul di layar telponmu, atau ketika kamu berbicara sambil
setengah berbisik kepadanya. Seharusnya aku tidak perlu cemburu pagi itu. Tapi
aku mendadak berharap tuli, tidak ingin mendengar apa yang kalian
perbincangkan. Berharap kalau suara tidak bisa merambat melalui udara dan hanya
sebuah momentum yang hanya menghubungkan mulutmu dengan telinganya dan
sebaliknya. Aku tidak perlu terlibat.
Entah bagaimana caranya membunuh cinta. Atau setidaknya rasa
yang mengendap kalau itu tidak lagi layak dikatagorikan cinta. Aku bosan
diganduli perasaan yang masih terus saja mengganggu padahal aku tahu ujung
jalannya serupa buntu. Tidak akan pernah ada jalan keluar, karena selayaknya
aku, kamu juga bertahan. Bertahan untuk tidak lantas peduli. Bertahan untuk
menganggap apa yang pernah aku lakukan dan utarakan hanyalah setangkup masa
lalu.
Memang akhirnya selalu aku yang bersalah. Tidak perlu diberi
tahu karena aku sadar benar kalau apa yang aku jalankan adalah sebuah langkah
yang keliru. Memupuk perasaan yang seharusnya sudah dienyahkan ketika malam
itu, di kostmu kamu berkata bahwa diantara kita tidak mungkin ada apa-apa. Ada
yang harus lebih dihormati selain cinta yang tumbuh tanpa permisi, persahabatan
itu sendiri.
Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Yang perlu aku lakukan
hanyalah membunuh rasa yang sudah sekian lama mengendap. Entah dengan cara apa.
Jumat, 14 September 2012
Pertengkaran Itu...
Gelap. Hanya hitam yang kemudian kudapati sesaat setelah
sensasi kilatan cahaya menyelinap menghampiri mata. Aku terpelating, badanku
tidak siap menerima gerakan yang tiba-tiba sehingga badanku mencium lantai
sepenuhnya.
Kurasakan panas yang menjalar di seputaran mata, merambat
perlahan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kesakitan. Dalam kondisi masih
gelap dan badan yang juga masih luruh di atas lantai, aku mencoba meraba-raba.
Mencari sedikit cahaya yang bisa menuntunku berdiri. Tapi sebelum cahaya itu
kutemui, rasa panas di seputaran mata itu semakin menjadi, membakar retina
sampai keluar air mata.
Dengan kekuatan yang sedikit tersiksa, aku mencoba berdiri
dengan menopangkan tangan di sudut meja. Sedikit demi sedikit kesadaran aku
pulih meskipun rasa sakit yang mendera kepala berubah menjadi pening yang
berputar-putar tidak karuan. Aku tak abaikan, aku terus mencoba berdiri,
mengumpulan keberanian untuk melihat dalam keremangan yang mengelabui jarak pandang.
Kucoba mengingat, mengurai rentetan peristiwa yang hanya
terjadi dalam hitungan 10 jari. Panas masih menjalar di mata sebelah kananku
sementara air mata terus mengalir seperti berusaha meredam panas yang tercipta
dan mencegahnya gosong hingga menjadi bara. Rentetan peristiwa itu justru baur
ketika aku mecoba menguntainya menjadi sebuah jalan cerita yang utuh. Seperti
ada bagian-bagian yang hilang berserakan entah ke arah mana. Aku masih terus
mencoba berdiri sementara dadaku penuh, memburu, tersumbat emosi.
Lambat laun aku bisa menginderai sesuatu. Seseorang yang aku
kenal benar sedang duduk gemetar juga di atas lantai. Mukanya pucat seperti
habis melihat hantu, tangan kirinya menutupi tangan kanannya yang bergetar
hebat. Aku masih menangis, efek dari rasa panas dan pusing yang masih berdiam
di dalam kepala. Sementara dia hanya diam. Tidak berusaha menolong tidak juga
berusaha menghindar. Kami saling berpandangan.
Tiba-tiba aku berteriak di awal kesadaranku yang mulai
pulih. Aku menemukan kewarasanku tentang semua peristiwa yang tadi sempat
hilang melompat-lompat dalam impuls syaraf seumpama gerak brown. Acak. Tidak karuan.
Aku berteriak seperti orang kerasukan. Tubuh bergocang karena emosi yang
meledak tiba-tiba seperti granat nanas yang dilemparkan ke medan peperangan.
Aku meronta di tengah ketidakbedayaan. Aku terus berontak di tengah panas dan
sakit yang mendera bagian kepala secara bersamaan.
Sementara dia masih gemetar. Wajahnya sepucat mayat. Tidak
ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Tidak ada usaha untuk menghindar
ketika aku mendekatinya dan mengangkat kerah baju di lehernya. Entah dengan kekuatan
yang datangnya dari mana, aku memaksanya berdiri dan menyeretnya ke pintu
apartemen yang terkunci. Dengan nafas yang masih saja menderu, aku membuka
pintu dan mendorongnya ke arah gang kemudian menutup pintu dan menguncinya
seperti tadi.
Aku bersandar di balik pintu, memelorotkan tubuh sampai
duduk terkulai di atas lantai. Tidak aku pedulikan suara ketukan dan rengekan
permintaan maaf dari balik pintu. Aku hanya diam seperti ditotok seumpama
patung. Sadar tetapi tidak punya sedikitpun kekuatan untuk sekedar menggerakan
badan. Perlahan aku menangis, pelan sampai kemudian terisak tanpa suara. Aku
hilang faham, aku mutlak kehilangan akal atas apa yang barusan dia lakukan.
Bagaimana cinta membuatnya menjadi sedemikian brutal.
Bagaimana mungkin takut kehilangan bisa membuatnya beringas dan bertindak tak
memakai aturan. Banyak pertanyaan berseliweran di ranah pemikiran, sampai
akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan bahwa meninggalkannya merupakan
keputusan yang tidak perlu ditinjau ulang. Berpisah adalah langkah paling tepat
untuk digagas bahkan sebelum peristiwa barusan kejadian.
Aku mencintainya, dulu. Dia mencintaiku, katanya. Mungkin
dengan porsi yang berlainan. Aku mencintainya dengan cukup sementara dia
mencintaiku berlebihan. Dan mungkin karena aku tidak bisa menampungnya secara
keseluruhan makanya dia membaginya dengan orang. Menyelingkuhiku di belakang.
Dan aku tidak pernah punya ampun untuk sebuah perselingkuhan meskipun dia
bersumpah telah memutuskan si selingkuhan dan meminta aku untuk balikan.
Tidak. Tidak akan pernah aku merubah pendirian untuk sebuah
ketidaksetiaan. Bentuk memaafkan kesalahan yang paling tepat untuk sebuah
perselingkuhan adalah dengan
meninggalkan dan tidak ingin diajak memulainya lagi dari awal. Kesempatan sudah
disia-siakan maka tidak perlu lagi ada pembelaan atas dasar kekhilafan. Sekali
terjadi tidak mustahil kalau hal tersebut akan berulang di depan. Dan aku tidak
ingin jatuh kasihan dengan memberinya satu lagi kesempatan. Usai berarti akhir.
Selesai adalah titik.
Malam itu, ketika udara di luar begitu mengigilkan dia
datang lagi. Mengagas usulan untuk berdamai dan mengulang apa yang pernah hati
bicarakan. Sayang aku sudah bebal, tidak mempan oleh berbagai rayuan ataupun
maaf yang dimintakan. Aku memaafkan tapi tidak ada alasan untuk memulainya lagi
seolah perselingkuhan adalah hal yang bisa mudah terlupakan. Aku bertahan
dengan pendirian ingin sendirian. Aku berdiri pada titik menutup kesempatan
pada permintaan yang dia ingin aku kabulkan.
Dan dia kalap. Tidak terima dengan sikap bertahan yang aku
pertontonkan. Kami beradu argumen. Saling berteriak hingga suaranya menggema di
lorong-lorong apartemen yang kosong. Tidak ada yang melerai, tidak ada satupun
yang meredakan. Kami sama-sama bertahan pada keinginan yang justru berlainan. Dan
ketika aku terpancing untuk terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk tepat di
bagian matanya yang hanya berupa garis lurus, dia bereaksi keras. Dengan
kekuatan penuh dia mendaratkan tinjunya tepat di mataku sebelah kanan. Dua
kali. Setelah itu gelap.
Aku masih bersendar di balik pintu yang tidak lagi
mengeluarkan suara hasil ketukan. Masih menangis karena menyesali kemalangan
sekaligus mensyukuri berkah atas apa yang baru saja Tuhan tunjukan. Orang yang
selama ini aku sayang, yang perilakunya lembut dan tidak pernah mengumbar
kekerasan tiba-tiba menunjukan tabiat aslinya. Dia melepas topeng yang selama
ini dikenakannya, berubah wujud menjadi seseorang yang sama sekali tidak aku
kenal.
Di luar hujan masih turun tidak berkesudahan. Hawa dingin
menyelusup dengan leluasa lewat kisi-kisi jendela yang terbuka. Sakit di bagian
kepala sekarang sudah menjalar ke bagian dada. Tepat di hati dia beranak pinak
menjadi bilur-bilur yang mengeluarkan darah. Untung otak masih bisa diajak
menganalisis langkah yang harus diambil sesudahnya, melaporkannya pada pihak
yang berwenang atas dasar penganiayaan atau melupakannya dan membiarkannya
hidup dalam sepenggal penyesalan.
Dan aku memilih bungkam. Tidak perlu memperpanjang persoalan
karena akhirnya hanya malu yang akan terhidang. Biarkan saja waktu berjalan
karena beberapa bulan ke depan aku akan pulang dan meninggalkannya sendirian.
Beberapa bulan ke depan tidak ada lagi aku dan dia yang sekarang sudah
dibandrol sebagai kenangan muram.
Tokyo, 19 November 2003
Ditulis ulang dari draft yang ditemukan terbujur di folder
masa lalu.
Selasa, 11 September 2012
Berkemas
Ada banyak pertimbangan ketika menentukan mana yang harus
disimpan dan mana yang harus dibuang. Ada berbagai macam ketakutan yang siap
membayang ketika ‘terpaksa’ harus membuang sesuatu yang seharusnya disimpan,
atau justru malah ‘terpaksa’ menyimpan sesuatu yang seharusnya dibuang dari
awal.
Berkemas untuk saya bukan sekedar memilah. Berkemas untuk
saya adalah sebuah proses yang mungkin panjang sebelum akhirnya saya tiba pada
sebuah titik tujuan. Sebuah keputusan. Proses yang biasanya dibanduli rasa gamang
berkepanjangan padahal untuk sebagian besar orang hal itu semudah membalikan
telapak tangan.
Ketika ritul berkemas sudah akan dimulai, maka saya akan
mengumpulkan semua perabotan dalam satu tumpukan di pekarangan. Satu per satu
kemudian saya telaah mengenai asal muasal bagaimana dia datang, sampai
pertanyaan apa untung dan ruginya ketika mereka saya simpan atau saya buang.
Lama. Mungkin sebagain orang akan kesal melihat apa yang saya lakukan, terutama
sahabat-sahabat yang sedari awal meneriaki saya ketika justru saya menyimpan
sesuatu yang seharusnya saya buang.
Kadang saya tidak peduli. Seringkali perasaan saya mati.
Saya tidak lagi dengan waras dapat membedakan mana yang perlu dibingkai dan
mana yang perlu ditanam dalam. Saya percaya dengan apa yang saya yakini
meskipun hal tersebut seringkali salah dan menyulitkan saya kemudian. Saya
tidak pernah jera, padahal sudah banyak air mata yang tertumpah sia-sia hanya
karena saya salah mengemasi tumpukan barang-barang yang bertaburan di
pekarangan.
Mendadak saya tidak bisa berfikir panjang ketika saya
dihadapkan pada sebuah pilihan ketika berkemas. Otak saya memboikot tidak mau
berfungsi sebagaimana mestinya, dia mangkir dari tugasnya mendampingi hati.
Karenanya hati bekerja sendiri, dan sudah bisa ditebak ketika hati bekerja
tanpa diproteksi nalar maka dia cenderung untuk bergerak tidak sesuai porsi.
Hati berontak ketika ‘dipaksa’ mengenyahkan barang yang penuh dengan bilur
kenangan yang selayaknya dibuang.
Hati pasang badan. Siap menanggung apapun yang mungkin nanti
akan kejadian. Dia seolah sok pintar dan berlagak penuh pengalaman. Sayang hati
yang saya punya, yang saya kerangkeng dalam rongga dada dan selapis diafragma,
tidak pernah mau belajar. Dia egois tanpa saya bisa berbuat lebih. Dia berujar
kalau dia kuat menahan semua siksaan dan akan memikulnya sendirian. Tentu saja
dia berbohong, karena ketika dia mendapat ganjaran dari kesalahannya mengemasi
kenangan maka saya ikut ketiban sial. Ikut merasakan kesakitan.
Buat saya berkemas adalah suatu proses panjang. Pergulatan hati
dan nalar yang sering kali menolak untuk bekerja berbarengan. Mungkin otak saya
sudah bosan, makanya dia bungkam dan menyuruh hati yang bergerak sendirian. Memilah
dan memilih kenangan mana yang ingin disimpan, membuatnya bingung sehingga
seringkali dia salah jalan. Keliru mengambil keputusan.
Atau jangan-jangan hati dan nalar saya sebetulnya
berkomplot. Bekerja sama memberi saya pelajaran bahwa kesakitan yang terus
disimpan akan membuat keropos perasaan berkepanjangan. Jangan-jangan mereka
bersekongkol, membuat saya salah mengemasi kenangan agar saya belajar. Dan
bagai anak bodoh yang tidak bisa menurunkan sebuah rumus aljabar,
berulang-ulang saya dibuat tidak naik kelas karena saya tertambat di belakang.
Di masa lalu yang kenangannya seharusnya dibuang atau dijadikan cerminan untuk
berjalan lebih lapang.
Untuk saya berkemas itu adalah, entahlah...
Langganan:
Postingan (Atom)