Halaman

Kamis, 21 Maret 2013

Fragmen satu


Mobilnya sudah terparkir di satu-satunya car port di rumah itu, karenanya aku memarkirkan mobilku di jalanan komplek persis di depan rumahnya. Sedikit berlari aku menuju teras yang hanya berukuran 4x3 meter, hujan yang turun cukup deras membuatku sedikit kuyup padahal tidak lebih dari hitungan jari aku tadi berlari.

Kuketuk pintunya. Sekali. Tidak ada jawaban. Dua kali. Masih tidak ada jawaban. Kukeluarkan telepon selulerku hendak meneleponnya, tapi belum tuntas aku memijit tombol call, pintu sudah keburu terbuka. Dia muncul dari balik pintu. Mukanya pucat. Matanya sayu.

Refleks kuletakan punggung tanganku di dahinya. Tidak panas. Dia sudah tidak demam, padahal tadi waktu aku di kantor dia mengabari kalau dia demam. Kuletakan bungkusan bubur yang sengaja kubeli tadi di jalan sambil menuju ke rumahnya. Dia kulihat berbaring lagi di sofa depan tv sambil menonton film kegemarannya. CSI. Film yang seringkali membuatku cemburu karena merasa dinomorduakan. Konyol.

Selang nebulizer terlihat berantakan di dekat sofa. Dia pasti sesak lagi pikirku, tapi seperti biasa dia tidak pernah mau bilang. Dan kalau aku mempermasalahkan, sudah pasti sebuah pertengkaran yang akan dijelang. Makanya aku lebih banyak diam, kecuali dia yang bercerita duluan.

Kuambil sendok dan menyodorkan bubur yang tadi kubeli. Dia menggeleng. Katanya dia tidak bernafsu untuk makan. Tapi aku tidak menyerah, aku duduk di sebelahnya kemudian menyendoki bubur tadi dan menyuapinya. Dia memakannya. Mungkin terpaksa. Aku tidak peduli. Bubur hanya habis seperampatnya, tapi setidaknya ada yang makanan yang masuk sebelum dia memakan obatnya.

Tidak lama kemudian dia tertidur. Dengkuran halus teratur terdengar lebih riuh daripada suara film yang sedang diputar di televisi. Kuambil remote dan kemudian aku matikan tayangannya. Waktu sudah hampir jam sepuluh malam. Kunaikan selimutnya hingga menutupi dada, kukecup keningnya dan aku beranjak pulang.

Kunci yang masih menempel di lubang pintu aku lepas. Kusimpan di guci tempat biasa dia meletakan kunci mobilnya. Perlahan kututup pintu dan menguncinya dari luar. Kunci yang sengaja pernah dia titipkan agar kapan saja aku bisa berkunjung ke rumahnya. Kunci yang memiliki simbol kepercayaan yang dihadiahkan kepadaku. Kepercayaan yang tumbuh begitu saja padahal hubungan kami baru saja dimulai.

Tidak ada komentar: