Halaman

Selasa, 25 September 2012

While You Were Sleeping


Aku senang memandangi wajahnya saat dia sedang terlelap. Rasanya damai.  Seperti malam itu di ruang preparasi laboratorium mikrobiologi di kampusku, kampus kami. Dia tidur seperti bayi, tidak terganggu oleh aktivitasku yang hilir mudik mengerjakan penelitian tugas akhir jaman kuliah sarjana dulu.

Awalnya dia tidak mau menemaniku, katanya tidak ada kerjaan menunggui orang yang sedang menghitung jumlah bakteri per dua jam hanya untuk melihat kurva pertumbuhannya. Melihat kapan bakteri-bakteri itu mulai tumbuh pesat, lalu tumbuh stagnan kemudian mengalami fase kematian. Otak tekniknya menganggap pekerjaanku hanya buang-buang waktu. Sesuatu yang tidak perlu dikaji secara teliti.

Hal-hal seperti itu biasanya menjadi sumber pertengkaran. Sampai aku bosan melayani dan dia bosan mempertanyakan. Kami hanya melakukan kewajiban ‘menemani’ seperti apa yang dilakukan pasangan lain. Menguatkan secara emosi meski kadang tidak bisa membantu secara fisik. Seperti beberapa hari sebelum malam itu, aku merajuk untuk ditemani menginap di lab. Dan dia menolak layaknya biasa. Bagi dia kalau bisa berkata tidak untuk apa mempermudah keadaan dengan mengatakan iya. Aku sudah hapal benar tabiatnya. Sialan.

Aku tetap bertahan. Keukeuh minta ditemani dengan alasan tidak ada partner lain yang mengerjakan hal serupa. Biasanya aku memang tandem dengan teman-teman lain yang tema penelitiannya relatif serupa. Sayang, hari itu tidak ada yang merencanakan melakukan pekerjaan yang sama sehingga aku harus mengerjakannya sendirian. Tidak masalah sebetulnya, karena meskipun tandem kami akan bekerja sendiri-sendiri, hanya saja merasa tertemani.

Rumor mengenai keangkeran kampus kami, termasuk “si gaun merah” penghuni selasar di lantai 4 lab mikrobiologi yang menyebabkan aku tidak pernah berani bekerja sendirian malam hari. Apalagi harus menginap. Karenanya aku mengajak dia, yang berstatus sebagai kekasihku untuk menemani. Tidak peduli kalau nanti dia hanya tidur di kasur lipat yang sengaja aku bawa dari rumah, setidaknya aku tidak merasa sendiri. Ada dia, meskipun dukungan terbesar yang bisa dilakukannya hanyalah terlelap dengan nyenyak.

Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Rasanya damai. Seperti malam itu ketika aku di sela-sela waktu jeda duduk memeluk lutut di sebelahnya. Tanpa banyak suara aku hanya mengamati. Menelisik hampir setiap bagian tubuhnya yang malam itu lagi-lagi dibalut jaket himpunan kebanggaannya. Jaket himpunan yang sering berbau tidak enak saking jarangnya bertemu air dan sabun. Jaket himpunan yang pernah aku ambil diam-diam dari kosannya untuk kemudian aku laundry di binatu dekat kampus.

Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Rasanya damai. Dan sepertinya aku kecanduan. Terpuaskan hanya dengan memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Menyihirku agar tidak kesal dengan kebiasaannya yang bisa tidur di mana saja dan kapan saja. Tidak peduli saat itu kami sedang berdiskusi, atau sedang duduk saling bersisian sambil menonton DVD secara marathon di kosannya yang berantakan. Kalaupun aku mengutarakan kekesalanku, maka dengan cekatan dia akan mengucapkan kalimat andalannya “Kalau dekat kamu itu rasanya nyaman. Membuatku aman” Gombal.

Kebiasaanku memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap harus dihentikan saat kami berdua mencapai titik akhir sebuah tujuan. Kelulusan. Meskipun aku dan dia berbeda angkatan, tapi kami lulus berbarengan. Dia terlambat dengan alasan bahwa lulus kuliah di jurusan teknik tidak semudah lulus dari jurusanku yang hanya dengan menghitung jumlah bakteri bisa naik ke podium dan dinyatakan berhasil menyabet sebuah gelar.

Setelah lulus, dia harus pulang ke kampungnya. Mungkin lebih tepat ingin pulang karena jiwa aktivisnya membuat dia ingin membangun kampung halamannya. Aku tidak memaksa dia untuk tetap tinggal. Percuma. Dia tipikal orang dengan sifat kalau memiliki keinginan maka harus dilaksanakan atau setidaknya diperjuangkan, dan aku sebetulnya bangga. Sayangnya kami tidak percaya dengan LDR, Long Distance Relationship yang sering kami pelesetkan menjadi Lots of Drama Relationship.  Kami harus mengambil satu keputusan. Perpisahan.

Terakhir aku bertemu dengannya di bandara ketika aku mengantarnya. Setelah itu tidak pernah ada kabar berita. Masing-masing dari kami saling menjaga hati untuk tidak saling menyakiti. Saling berkirim kabar hanya akan membuat luka yang menganga menjadi semakin menganga. Menyulitkan hati untuk kembali membuka diri.

Waktu menyembuhkan. Putaran hari membuat perasaan termanipulasi. Seolah-olah kenangan itu terbenam dalam padahal sebetulnya terkubur dangkal. Membuat perasaan hati seolah mati padahal dia hanya mati suri. Mudah sekali dibangunkan oleh sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu berkesan. Perasaan itu pernah terbangun ketika aku memperoleh kabar dari seorang rekan kalau dia sekarang bermukim di jakarta. Di kota yang sama dengan tempat aku tinggal. Meski begitu kami tidak pernah saling mencari. Kami merasa apa yang sudah terjadi di belakang memang harus di simpan di belakang.

Sampai kemarin. Senin, 24 September 2012. Aku bertemu lagi dengan dia untuk pertama kalinya sejak perpisahan di bandara 9 tahun silam. Aku bertemu lagi dengannya di bandara yang sama. Dan entah konspirasi macam apa yang telah diatur dunia sehingga aku harus sepesawat dengannya dan duduk sejajar hanya dipisahkan oleh sepetak gang. Aku bertindak wajar seperti halnya dia. Tidak banyak perbincangan karena baik aku atau dia masih dikejutkan oleh kebetulan yang rasanya menyesakkan. Kami hanya dibalut diam.

Kebiasaanya ternyata tidak banyak berubah. Layaknya dulu, sore itu dia memakai jaket company tempat dia bekerja. Tidak lama setelah pesawat lepas landas dia kemudian asyik terlelap dilambung impian. Aku diuntungkan. Memiliki kesempatan untuk mentamasyakan hati untuk bernostalgia dengan apa yang dulu sering aku lakukan. Mengamati wajahnya yang damai ketika dia sedang tidur terlelap.

Puluhan kenangan berlarian minta ditayangkan.Seringnya baur terkadang jelas seperti baru saja kejadian. Tapi tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi kemudian aku melihat sebuah cincin yang melingkar di salah satu jari manisnya.

Balikpapan, 25 September 2012.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

PUK PUK... Kali ga jodoh ya gimana ya say :). Kadang sepenggal pengalaman manis Yang tertinggal juga baguslah :)

Apisindica mengatakan...

@anonim: maneeeeh, gw deg-degan sangat siah ketemu lagi sama si eta. Kangen pacaran di kantin tambang yang sepi itu, jalan kaki ke kosannya di cisitu. hahaha

OM Kris mengatakan...

Tidak semua mimpi bisaa dibeli, tapi bukan berarti kita harus berhenti bermimpi... salamm,,,