Halaman

Jumat, 14 September 2012

Pertengkaran Itu...


Gelap. Hanya hitam yang kemudian kudapati sesaat setelah sensasi kilatan cahaya menyelinap menghampiri mata. Aku terpelating, badanku tidak siap menerima gerakan yang tiba-tiba sehingga badanku mencium lantai sepenuhnya.

Kurasakan panas yang menjalar di seputaran mata, merambat perlahan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kesakitan. Dalam kondisi masih gelap dan badan yang juga masih luruh di atas lantai, aku mencoba meraba-raba. Mencari sedikit cahaya yang bisa menuntunku berdiri. Tapi sebelum cahaya itu kutemui, rasa panas di seputaran mata itu semakin menjadi, membakar retina sampai keluar air mata.

Dengan kekuatan yang sedikit tersiksa, aku mencoba berdiri dengan menopangkan tangan di sudut meja. Sedikit demi sedikit kesadaran aku pulih meskipun rasa sakit yang mendera kepala berubah menjadi pening yang berputar-putar tidak karuan. Aku tak abaikan, aku terus mencoba berdiri, mengumpulan keberanian untuk melihat dalam keremangan yang mengelabui jarak pandang.

Kucoba mengingat, mengurai rentetan peristiwa yang hanya terjadi dalam hitungan 10 jari. Panas masih menjalar di mata sebelah kananku sementara air mata terus mengalir seperti berusaha meredam panas yang tercipta dan mencegahnya gosong hingga menjadi bara. Rentetan peristiwa itu justru baur ketika aku mecoba menguntainya menjadi sebuah jalan cerita yang utuh. Seperti ada bagian-bagian yang hilang berserakan entah ke arah mana. Aku masih terus mencoba berdiri sementara dadaku penuh, memburu, tersumbat emosi.

Lambat laun aku bisa menginderai sesuatu. Seseorang yang aku kenal benar sedang duduk gemetar juga di atas lantai. Mukanya pucat seperti habis melihat hantu, tangan kirinya menutupi tangan kanannya yang bergetar hebat. Aku masih menangis, efek dari rasa panas dan pusing yang masih berdiam di dalam kepala. Sementara dia hanya diam. Tidak berusaha menolong tidak juga berusaha menghindar. Kami saling berpandangan.

Tiba-tiba aku berteriak di awal kesadaranku yang mulai pulih. Aku menemukan kewarasanku tentang semua peristiwa yang tadi sempat hilang melompat-lompat dalam impuls syaraf seumpama gerak brown. Acak. Tidak karuan. Aku berteriak seperti orang kerasukan. Tubuh bergocang karena emosi yang meledak tiba-tiba seperti granat nanas yang dilemparkan ke medan peperangan. Aku meronta di tengah ketidakbedayaan. Aku terus berontak di tengah panas dan sakit yang mendera bagian kepala secara bersamaan.

Sementara dia masih gemetar. Wajahnya sepucat mayat. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Tidak ada usaha untuk menghindar ketika aku mendekatinya dan mengangkat kerah baju di lehernya. Entah dengan kekuatan yang datangnya dari mana, aku memaksanya berdiri dan menyeretnya ke pintu apartemen yang terkunci. Dengan nafas yang masih saja menderu, aku membuka pintu dan mendorongnya ke arah gang kemudian menutup pintu dan menguncinya seperti tadi.

Aku bersandar di balik pintu, memelorotkan tubuh sampai duduk terkulai di atas lantai. Tidak aku pedulikan suara ketukan dan rengekan permintaan maaf dari balik pintu. Aku hanya diam seperti ditotok seumpama patung. Sadar tetapi tidak punya sedikitpun kekuatan untuk sekedar menggerakan badan. Perlahan aku menangis, pelan sampai kemudian terisak tanpa suara. Aku hilang faham, aku mutlak kehilangan akal atas apa yang barusan dia lakukan.

Bagaimana cinta membuatnya menjadi sedemikian brutal. Bagaimana mungkin takut kehilangan bisa membuatnya beringas dan bertindak tak memakai aturan. Banyak pertanyaan berseliweran di ranah pemikiran, sampai akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan bahwa meninggalkannya merupakan keputusan yang tidak perlu ditinjau ulang. Berpisah adalah langkah paling tepat untuk digagas bahkan sebelum peristiwa barusan kejadian.

Aku mencintainya, dulu. Dia mencintaiku, katanya. Mungkin dengan porsi yang berlainan. Aku mencintainya dengan cukup sementara dia mencintaiku berlebihan. Dan mungkin karena aku tidak bisa menampungnya secara keseluruhan makanya dia membaginya dengan orang. Menyelingkuhiku di belakang. Dan aku tidak pernah punya ampun untuk sebuah perselingkuhan meskipun dia bersumpah telah memutuskan si selingkuhan dan meminta aku untuk balikan.

Tidak. Tidak akan pernah aku merubah pendirian untuk sebuah ketidaksetiaan. Bentuk memaafkan kesalahan yang paling tepat untuk sebuah perselingkuhan  adalah dengan meninggalkan dan tidak ingin diajak memulainya lagi dari awal. Kesempatan sudah disia-siakan maka tidak perlu lagi ada pembelaan atas dasar kekhilafan. Sekali terjadi tidak mustahil kalau hal tersebut akan berulang di depan. Dan aku tidak ingin jatuh kasihan dengan memberinya satu lagi kesempatan. Usai berarti akhir. Selesai adalah titik.

Malam itu, ketika udara di luar begitu mengigilkan dia datang lagi. Mengagas usulan untuk berdamai dan mengulang apa yang pernah hati bicarakan. Sayang aku sudah bebal, tidak mempan oleh berbagai rayuan ataupun maaf yang dimintakan. Aku memaafkan tapi tidak ada alasan untuk memulainya lagi seolah perselingkuhan adalah hal yang bisa mudah terlupakan. Aku bertahan dengan pendirian ingin sendirian. Aku berdiri pada titik menutup kesempatan pada permintaan yang dia ingin aku kabulkan.

Dan dia kalap. Tidak terima dengan sikap bertahan yang aku pertontonkan. Kami beradu argumen. Saling berteriak hingga suaranya menggema di lorong-lorong apartemen yang kosong. Tidak ada yang melerai, tidak ada satupun yang meredakan. Kami sama-sama bertahan pada keinginan yang justru berlainan. Dan ketika aku terpancing untuk terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk tepat di bagian matanya yang hanya berupa garis lurus, dia bereaksi keras. Dengan kekuatan penuh dia mendaratkan tinjunya tepat di mataku sebelah kanan. Dua kali. Setelah itu gelap.

Aku masih bersendar di balik pintu yang tidak lagi mengeluarkan suara hasil ketukan. Masih menangis karena menyesali kemalangan sekaligus mensyukuri berkah atas apa yang baru saja Tuhan tunjukan. Orang yang selama ini aku sayang, yang perilakunya lembut dan tidak pernah mengumbar kekerasan tiba-tiba menunjukan tabiat aslinya. Dia melepas topeng yang selama ini dikenakannya, berubah wujud menjadi seseorang yang sama sekali tidak aku kenal.

Di luar hujan masih turun tidak berkesudahan. Hawa dingin menyelusup dengan leluasa lewat kisi-kisi jendela yang terbuka. Sakit di bagian kepala sekarang sudah menjalar ke bagian dada. Tepat di hati dia beranak pinak menjadi bilur-bilur yang mengeluarkan darah. Untung otak masih bisa diajak menganalisis langkah yang harus diambil sesudahnya, melaporkannya pada pihak yang berwenang atas dasar penganiayaan atau melupakannya dan membiarkannya hidup dalam sepenggal penyesalan.

Dan aku memilih bungkam. Tidak perlu memperpanjang persoalan karena akhirnya hanya malu yang akan terhidang. Biarkan saja waktu berjalan karena beberapa bulan ke depan aku akan pulang dan meninggalkannya sendirian. Beberapa bulan ke depan tidak ada lagi aku dan dia yang sekarang sudah dibandrol sebagai kenangan muram.

Tokyo, 19 November 2003
Ditulis ulang dari draft yang ditemukan terbujur di folder masa lalu.

2 komentar:

andro_danish mengatakan...

wew.. jd teringat... ketika tonjokannya mendarat di pipi kanan-kiri.. 4x tonjokan.. kuping berasa pengang.. kacamata jatuh.. akhirnya seminggu gak bisa maksimal buka mulut...
bodohnya aku terlalu sulit meninggalkan lelaki itu, satu2nya pacar yg kasar ke aku..

Apisindica mengatakan...

@andro: apa mbaaaak? 4 kali dan mbak masih gak bisa meninggalkan lelaki itu? oh come on, you must be kidding me!!

Tapi kadang ya, cinta itu suka menelantarkan logika.

*masih speechless