Halaman

Selasa, 18 September 2012

Tak Perlu Cemburu


Seharusnya aku tidak perlu cemburu.

Ya seharusnya. Karena sudah dari dulu kamu tidak pernah tertarik dengan aku. Kamu hanya menganggap aku sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Sahabat yang kemudian lambat laun pernah menyemai cinta yang datangnya tiba-tiba. Cinta yang datang begitu saja. Tanpa permisi, tanpa bisa disuruh pergi.

Awalnya aku mengira itu hanya sementara. Buah dari kedekatan yang intens. Reaksi dari pertemuan dan percakapan yang terlalu sering. Kemudian aku merasa nyaman. Merasa menemukan pelabuhan untuk sekedar menambatkan hati. Menguntai serakan kelopak rasa yang datang tiba-tiba. Tanpa permisi, tanpa bisa disuruh pergi.

Dan aku salah. Rasa itu tidak lantas mau pergi bahkan ketika waktu sudah banyak berlalu. Rasa itu mengendap, tidak mudah dienyahkan bahkan ketika sudah banyak hati lain yang datang bergantian. Rasa itu seperti tidak mau mati, minta dituntaskan padahal sudah tidak ada jalan.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Membelanjakan perasaan yang ujungnya hanya berupa jalan tak bertuan. Harusnya aku hanya menjadi pendengar setia ketika kamu dengan antusias menceritakan seseorang yang sekarang sedang dekat bersamamu. Seseorang yang katanya membuatmu utuh karena mengisi banyak kekosongan di hatimu. Seseorang yang mampu memberimu semangat ketika banyak halangan yang harus disingkarkan. Seperti aku terhadapmu. Dulu.

Coba kamu dengar lebih seksama. Kalaupun aku lebih banyak diam dan mendengarkan ketika pagi itu kita duduk berisisian, hati aku gaduh. Ramai oleh banyak sekali keberatan yang terlontar tanpa perkataan. Aku lebih banyak diam seolah menyimak dengan benar tentang dia yang kamu bangga-banggakan, seolah aku antusias dengan apa yang kini kamu rasakan. Padahal semua itu adalah caraku meredam gaduh. Mengalihkan ramai yang hati tengah rasakan.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Bahkan ketika nama laki-laki itu muncul di layar telponmu, atau ketika kamu berbicara sambil setengah berbisik kepadanya. Seharusnya aku tidak perlu cemburu pagi itu. Tapi aku mendadak berharap tuli, tidak ingin mendengar apa yang kalian perbincangkan. Berharap kalau suara tidak bisa merambat melalui udara dan hanya sebuah momentum yang hanya menghubungkan mulutmu dengan telinganya dan sebaliknya. Aku tidak perlu terlibat.

Entah bagaimana caranya membunuh cinta. Atau setidaknya rasa yang mengendap kalau itu tidak lagi layak dikatagorikan cinta. Aku bosan diganduli perasaan yang masih terus saja mengganggu padahal aku tahu ujung jalannya serupa buntu. Tidak akan pernah ada jalan keluar, karena selayaknya aku, kamu juga bertahan. Bertahan untuk tidak lantas peduli. Bertahan untuk menganggap apa yang pernah aku lakukan dan utarakan hanyalah setangkup masa lalu.

Memang akhirnya selalu aku yang bersalah. Tidak perlu diberi tahu karena aku sadar benar kalau apa yang aku jalankan adalah sebuah langkah yang keliru. Memupuk perasaan yang seharusnya sudah dienyahkan ketika malam itu, di kostmu kamu berkata bahwa diantara kita tidak mungkin ada apa-apa. Ada yang harus lebih dihormati selain cinta yang tumbuh tanpa permisi, persahabatan itu sendiri.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Yang perlu aku lakukan hanyalah membunuh rasa yang sudah sekian lama mengendap. Entah dengan cara apa.

3 komentar:

rizakidiw mengatakan...

aih dalem banget ini......
tunjukan dong,,,, jangan sampe perasaan itu membusuk termakan waktu

Anonim mengatakan...

Lelah menebak-nebak ini yang mana Lago hihihi...

Apisindica mengatakan...

@riza: apanya nih yang mesti ditunjukan? bukan hanya membusuk, perasaan itu sudah lapuk meski belum sepenuhnya bisa dihilangkan. Apasih :))

@anonim: hey maneh, gw nggak selaku itu kaleee. Masih orang yang sama kok. Pertanyaannya, yang manaaa? tebak aja sendiri...