Halaman

Selasa, 11 September 2012

Berkemas


Berkemas untuk saya tidak pernah terasa mudah.

Ada banyak pertimbangan ketika menentukan mana yang harus disimpan dan mana yang harus dibuang. Ada berbagai macam ketakutan yang siap membayang ketika ‘terpaksa’ harus membuang sesuatu yang seharusnya disimpan, atau justru malah ‘terpaksa’ menyimpan sesuatu yang seharusnya dibuang dari awal.

Berkemas untuk saya bukan sekedar memilah. Berkemas untuk saya adalah sebuah proses yang mungkin panjang sebelum akhirnya saya tiba pada sebuah titik tujuan. Sebuah keputusan. Proses yang biasanya dibanduli rasa gamang berkepanjangan padahal untuk sebagian besar orang hal itu semudah membalikan telapak tangan.

Ketika ritul berkemas sudah akan dimulai, maka saya akan mengumpulkan semua perabotan dalam satu tumpukan di pekarangan. Satu per satu kemudian saya telaah mengenai asal muasal bagaimana dia datang, sampai pertanyaan apa untung dan ruginya ketika mereka saya simpan atau saya buang. Lama. Mungkin sebagain orang akan kesal melihat apa yang saya lakukan, terutama sahabat-sahabat yang sedari awal meneriaki saya ketika justru saya menyimpan sesuatu yang seharusnya saya buang.

Kadang saya tidak peduli. Seringkali perasaan saya mati. Saya tidak lagi dengan waras dapat membedakan mana yang perlu dibingkai dan mana yang perlu ditanam dalam. Saya percaya dengan apa yang saya yakini meskipun hal tersebut seringkali salah dan menyulitkan saya kemudian. Saya tidak pernah jera, padahal sudah banyak air mata yang tertumpah sia-sia hanya karena saya salah mengemasi tumpukan barang-barang yang bertaburan di pekarangan.

Mendadak saya tidak bisa berfikir panjang ketika saya dihadapkan pada sebuah pilihan ketika berkemas. Otak saya memboikot tidak mau berfungsi sebagaimana mestinya, dia mangkir dari tugasnya mendampingi hati. Karenanya hati bekerja sendiri, dan sudah bisa ditebak ketika hati bekerja tanpa diproteksi nalar maka dia cenderung untuk bergerak tidak sesuai porsi. Hati berontak ketika ‘dipaksa’ mengenyahkan barang yang penuh dengan bilur kenangan yang selayaknya dibuang.

Hati pasang badan. Siap menanggung apapun yang mungkin nanti akan kejadian. Dia seolah sok pintar dan berlagak penuh pengalaman. Sayang hati yang saya punya, yang saya kerangkeng dalam rongga dada dan selapis diafragma, tidak pernah mau belajar. Dia egois tanpa saya bisa berbuat lebih. Dia berujar kalau dia kuat menahan semua siksaan dan akan memikulnya sendirian. Tentu saja dia berbohong, karena ketika dia mendapat ganjaran dari kesalahannya mengemasi kenangan maka saya ikut ketiban sial. Ikut merasakan kesakitan.

Buat saya berkemas adalah suatu proses panjang. Pergulatan hati dan nalar yang sering kali menolak untuk bekerja berbarengan. Mungkin otak saya sudah bosan, makanya dia bungkam dan menyuruh hati yang bergerak sendirian. Memilah dan memilih kenangan mana yang ingin disimpan, membuatnya bingung sehingga seringkali dia salah jalan. Keliru mengambil keputusan.

Atau jangan-jangan hati dan nalar saya sebetulnya berkomplot. Bekerja sama memberi saya pelajaran bahwa kesakitan yang terus disimpan akan membuat keropos perasaan berkepanjangan. Jangan-jangan mereka bersekongkol, membuat saya salah mengemasi kenangan agar saya belajar. Dan bagai anak bodoh yang tidak bisa menurunkan sebuah rumus aljabar, berulang-ulang saya dibuat tidak naik kelas karena saya tertambat di belakang. Di masa lalu yang kenangannya seharusnya dibuang atau dijadikan cerminan untuk berjalan lebih lapang.

Untuk saya berkemas itu adalah, entahlah...

2 komentar:

andro_danish mengatakan...

iyaaa.. bener banget... emang sering gak rela membuang sesuatu barang gak berguna tapi punya banyak kenangan...
that's why rumahku udah keliatan penuh... padahal banyak yg gak terpakai yg cuma disimpan di lemari... :)

Apisindica mengatakan...

@andro_danish : Ya seandainya "barang-barang" yang seharusnya saya buang itu bisa ditampung di dalam lemari dan bukannya di dalam jambangan kesedihan #mendadakcurhat #menjeritdalamhati :))