Halaman

Rabu, 20 Juni 2012

Lebih Dari Cukup

Kalau ditanya apakah selama ini saya kesepian, jawabannya tentu saja tidak. Saya memiliki Dia dan itu lebih dari cukup.

Dia hadir bukan dari hasil saya membongkar file-file usang yang berdebu dari dalam gudang seperti halnya saya menemukan teman lama yang sempat hilang. Dia ada bukan karena saya mengundangnya untuk hadir dalam kehidupan saya yang menurut banyak orang membosankan. Dia hadir untuk saya, menjadi penjaga di setiap lini. Tanpa meminta bayaran. Tanpa pamrih.

Apa yang harus saya keluhkan kalau Dia bisa memberi saya semuanya, termasuk rasa aman. Apa yang harus saya takutkan kalau Dia bisa saja berdiri di garis paling depan ketika saya dirundung kesedihan. Memeluk dan memberikan rasa nyaman yang tidak ada tandingan. Harusnya saya merasa beruntung dan bukannya berlari tapa tujuan hanya karena takut merasa dikekang. Harusnya saya merasa diberkahi dan bukannya menghindar dengan bersembunyi membawa gamang.

Pasti saya tidak tahu diri. Bagaimana mungkin seringkali saya justru mengendap-ngendap mengambil jalan sunyi hanya untuk mengenyahkan sepi. Saya yakin Dia tahu, tapi dia tidak melerai atau melarang. Dia hanya akan membiarkan saya mengambil jalanan apapun yang saya mau, berdiri seperti biasanya dengan raut yang juga sama karena ada keyakinan pada dirinya kalau saya akan kembali ketika saya menemui jalan buntu atau jalan yang terlalu berliku. Dan memang selalu seperti itu.

Dia bisa marah. Dan kalau saya melakukan kesalahan maka  Dia akan  menghukum saya dengan caranya. Hukuman yang tidak lantas mengaburkan rasa cinta yang Dia punya buat saya. Saya menyukai caranya, dan mungkin karena cara yang diambilnya itu yang membuat saya sering melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Dimarahi tetapi tetap merasa dicintai. Diberi hukuman tapi kemudian diberi sebentuk hadiah belakangan.

Kami sering bertengkar, tapi saya sebetulnya yang lebih sering mencari gara-gara. Menuntut banyak hal dan mendikte bagaimana seharusnya Dia mencintai saya. Saya ingin Dia belajar mencintai saya seperti apa yang saya mau, bukan dengan apa yang Dia mau. Saya ingin Dia menghadiahi saya dengan kado-kado berpita yang saya inginkan, bukan dengan kado sederhana yang dimasukannya ke dalam kantong plastik hitam seperti hasil belanjaan pasar padahal isinya sama. Hal-hal semacam itu yang kadang memicu pertengkaran. Untungnya konfrontasi diantara kami tidak pernah berkepanjangan karena meskipun Dia lebih banyak memilih diam, saya akhirnya menyadari kalau saya yang tidak tahu diri.

Kenapa saya harus merasa sendirian kalau Dia bisa saya ajak bicara kapan saja. Kenapa saya harus merasa ditinggalkan kalau sebetulnya Dia selalu ada dan dekat dalam rengkuhan. Kenapa saya selalu merasa tidak cukup padahal menurut Dia saya sudah sangat berlebihan. Bergelimangan kenikmatan yang mungkin tidak bisa semua orang dapatkan. Yang paling parah kenapa terkadang saya merasa Dia tidak sayang padahal setiap saya meminta Dia sering kali mengabulkan.

Sudah lama saya tidak berbincang dengannya tengah malam seperti saat-saat dulu. Rasanya saya harus mulai lagi menyambanginya, bukan hanya untuk membalas rasa cinta yang sudah dia berikan tapi sebagai bentuk penghambaan seorang umat yang sering ingkar terhadap Tuhannya.

Kalau saya ditanya apakah selama ini saya kesepian, jawabannya tentu saja tidak. Saya memiliki Tuhan, dan itu lebih dari cukup.

1 komentar:

obat sakit asma mengatakan...

nice posting, gan,,,