Halaman

Selasa, 19 Juni 2012

Tuli dan Buta

Saya belajar menulikan telinga. Bukan untuk menjadi tidak peduli atau bebal terhadap banyak peringatan. Saya justru memberikan banyak kesempatan untuk jiwa saya berkembang pada haluan yang telah dengan sadar saya guratkan. Melindunginya dari perubahan lingkungan yang tidak bisa diramal atau dari resistensi hama yang makin hari makin tangguh menggerogoti dan membuat kerontang.

Saya belajar menulikan telinga, tapi bukan berarti saya tuli sungguhan. Saya bisa mendengar apa yang ingin saya dengar, saya masih bisa ikut bergumam dengan irama yang mengalir melalui partikel udara yang menjalar dan mendengungkan gendang telinga. Kadang bila bunyinya teramat jelas saya sampai bisa menuliskannya dalam bentuk partitur dan mengulangnya beberapa kali sampai saya hapal benar apa pesan yang ingin disampaikan.

Selain menulikan telinga, saya juga belajar membutakan mata. Memberi barier pada bayangan hasil pantulan cahaya yang akan tercetak sempurna di dalam retina. Meski begitu, tidak berarti saya berubah menjadi tidak peduli dengan apa yang seharusnya saya lihat. Saya hanya belajar memilah mana yang harus saya lihat dan mana yang harus saya abaikan. Tapi mungkin banyak pertanyaan bagaimana hal itu saya lakukan padahal saya sudah membutakan mata. Jawabannya sederhana, saya belajar meraba.

Memang dengan meraba, saya tidak lantas bisa menggambarkan ulang secara detail apa yang biasanya dipotret mata. Dengan meraba saya hanya bisa menilai tekstur dan bentuk ruang secara kasar. Tapi jangan khawatirkan itu karena dengan meraba saya justru belajar memilih mana yang boleh saya rekam dalam memori jangka panjang dan mana yang harus saya tinggalkan di pekarangan tanpa membawanya masuk ke dalam ingatan.

Saya belajar membutakan mata. Bersahabat dengan pekat dan menaruh kepercayaan lebih pada insting sehingga saya tidak terantuk pada halangan-halangan yang pastinya menghadang pada saat saya berjalan. Saya membelanjakan lebih banyak kepercayaan daripada nafsu yang seringkali membuat saya mengambil arah yang menyesatkan. Saya menginvestasikan banyak kepercayaan ketimbang emosi yang biasanya menggiring saya pada perasaan bersalah berkepanjangan. Saya hanya percaya dan mengamini hati.

Saya belajar menulikan telinga dan membutakan mata. Tapi sekali lagi saya bilang, bukan berarti saya berubah menjadi pribadi yang bebal dan tidak kenal belas kasihan. Saya justru belajar melembutkan perasaan yang selama ini seakan kerontang dihajar kemarau tak berkesudahan. Saya ingin lebih banyak mendengar dan melihat dengan hati tanpa bumbu emosi. Hati yang melunak karena dianugerahi hujan setelah dibuat tandus bertahun tahun oleh saya sendiri. Hati yang saya ingin bawa berlari tanpa kekeliruan seperti yang selalu terjadi.

Kalau telinga bisa tuli sehingga tidak lagi bisa menginderai bunyi, atau mata yang bisa buta sehingga hitam menghanguskan retina maka saya berdoa semoga hati saya tidak lantas tuli ataupun buta. Semoga saja hati saya yang sudah sekeras batu bisa melunak perlahan seiring kesadaran yang datang sedikit terlambat. Tidak hanya soal cinta ataupun perasaan, tapi tentang segala hal yang harus saya jalani di hari hari ke depan.

Tidak ada komentar: