Halaman

Jumat, 15 Juni 2012

Menunggu Cinta

Aku menitipkan surat kepada angin. Sepucuk surat cinta yang dibuat dari bulir-bulir air mata kerinduan. Surat yang kuretas perlahan sambil menunggu waktu yang tiba tidak menentu.

Angin aku pilih sebagai sarana karena aku yakin kalau dia tidak akan berdusta. Kalaupun dia tersesat, dia hanya akan berputar-putar pada kisaran tujuh arah mata angin. Pada akhirnya pasti akan sampai pada tujuannya. Mungkin angin tidak akan segera sampai, karena aku tahu kalau dia sering labuh sebentar di ujung batang. Mengamati embun yang menyublim di lembaran daun, atau mengawasi gutasi yang menetes ketika pagi. Tapi aku yakin kalau dia sadar akan tugasnya, menyampaikan suratku pada seseorang yang masih Tuhan simpan.

Sebelum mengenal angin, pernah aku menampung rindu dalam berlembar-lembar surat cinta. Kemudian kusimpan surat itu di buritan, berharap ombak akan menghanyutkannya dan menabrak karang di negeri seberang. Negeri tempat sebelah hatiku yang masih disimpan Tuhan sedang meretas mimpi. Mewujudkan sesuatu yang dari dulu dicita-citakannya. Menjadi seseorang.

Tapi ombak membelot, dia tidak menepati janjinya. Dia menggulung surat itu menjadi serpihan, menawarkan pada hiu untuk mencabik dan menghancurkannya dalam sekali gigitan. Ombak membuat cintaku waktu itu kandas tidak pada tuannya. Ombak membuatku kehilangan satu kesempatan. Ombak merenggut harapan untuk menyandingkan perasaan yang sering timbul tenggelam. Ombak memberiku suatu pengalaman. Kehilangan.

Hingga aku bertemu angin. Darinya aku belajar lagi bagaimana percaya, bagaimana cara memberi kesempatan kedua. Angin mengajariku bahwa memaafkan dan melupakan jauh lebih baik dari memendam. Berusaha tidak mengungkit-ungkit akan membawa cara pandang baru dalam melihat sesuatu. Angin membentukku dengan pola pikir yang lebih baru tentang dia. Seseorang yang masih saja Tuhan sembunyikan.

Dulu cinta membuatku hanya mengecap kesakitan, sampai pernah aku berujar tidak mau lagi mengenalnya. Cukup sudah dia menciptakan banyak prahara, rasanya begitu banyak noktah yang dia cecerkan di putih rasa yang aku berikan. Tapi perasaan ternyata tidak bisa dipungkiri, aku masih menyimpan sesuatu. Pendar cinta yang ternyata belum mati semua, ada binar kecil yang masih menyala di sudut asa. Angin kemudian meniupnya, memberikan napas kehidupan. Membuatnya menjadi besar. Membuatnya kembali berbinar.

Ketika dia, nanti datang dan bertanya untuk kesekian kalinya tentang kesempatan kedua, aku menjawab tidak lagi ragu. Aku berujar sekeras angin yang menerbangkanku pada cakrawala penuh warna. Aku mengatakan iya. Aku memberinya kesempatan kedua. Kesempatan untuk merangkai kata penjadi prosa kemudian drama. Kesempatan untuk kami mengejawantahkan mimpi yang sebelumnya tertunda sementara. Aku kembali padanya. Sepenggal cinta.

Aku menitipkan surat kepada angin. Tidak peduli sesering apa dia hinggap di cabang-cabang ranting untuk mengamati absisi, atau labuh di ujung genting untuk menelaah purnama. Aku tidak peduli, karena sekarang aku yakin kalau pesanku tidak akan disabotase seperti halnya yang dilakukan ombak. Aku yakin pesanku akan sampai tujuan dengan selamat, ke haribaan seseorang yang tak ragu lagi kusebut sayang. Seseorang yang sampai saat ini masih saja Tuhan sembunyikan.

Sekarang aku menunggu waktu berpihak kepadaku. Waktu ketika cinta akan kembali pulang, selamanya.

Tidak ada komentar: