Halaman

Selasa, 24 Januari 2012

Sang Pengkhianat

Dia mengkhianati saya. Lagi. Bukan sekali dua kali dia mengkhianati saya seperti ini, dan saya selalu seperti terbuaikan kembali. Saya mempercayainya lagi ketika saya sudah lupa, ketika luka yang ditimbulkannya sudah mengering tidak peduli menimbulkan noda keloid atau jaringan parut. Saya tetap menyerahkan segenap kepercayaan kepadanya. Lagi.

Saya bukan tidak kapok. Saya lebih memilih untuk buta. Dibutakan keadaan, dibutakan oleh janji yang sebetulnya belum genap dia ucapkan. Saya hanya yakin kalau janjinya akan menghasilkan sebuah kenyataan. Tidak perlu tepat, cukup mendekati. Hal itu pasti sudah membuat saya akan bernapas lega. Sering dikhianati olehnya saja saya masih tetap memupuk percaya, apalagi kalau dia sesekali mengabulkan janji yang saya paksa untuk dibuat olehnya.

Pernah dulu dia memperkenalkan pada cinta ketika saya beranjak remaja. Penuh tipu daya dia membuat saya tergila-gila, mencandu cinta seperti tidak ada besok lusa. Setengah mati saya menyemai rasa percaya, menikmati sensasi-sensasi baru yang belum pernah saya coba sebelumnya. Tapi dia mengkhianati saya, karena selain cinta dia mengajarkan saya apa yang disebut dengan cemburu. Perasaan yang membuat saya seakan menaiki perahu yang hampir karam. Terombang-ambing ketidakpastian. Sampai akhirnya benar-benar karam dan tenggelam.

Saya kehilangan cinta pertama saya. Kemudian saya terpuruk. Lama. Berusaha bangkit kembali sambil membenahi hati yang camping karena terlalu banyak mempertaruhkan percaya. Lewat catatan-catatan kaki yang sengaja saya buat ketika melangkah bersamanya saya kembali belajar, menghayati kehilangan yang saya rasakan sebagai bentuk sebuah pembiasaan. Semakin saya terbiasa, maka saya akan semakin cepat pulih ketika hal yang sama terjadi secara berulang. Begitu dia membisikan rapalan mantra yang sampai sekarang saya tidak pernah lupa.

Entah kekuatan apa yang dia punya, karena seperti apapun dia mengkhianati, saya tidak lantas membencinya. Marah pasti, karena bagaimanapun saya bukan benda mati yang hanya akan diam ketika dipermainkan. Tapi untuk benci sepertinya terlalu berlebihan, karena ketika amarah sudah mereda saya akan kembali menggandengnya untuk kemudian mengajaknya berjalan mengikuti setapak kecil yang terpampang di hadapan. Bersamanya saya menyongsong matahari pagi. Bersamanya saya menanam benih cinta. Lagi.

Dia seperti dua sisi mata uang. Hidup berdampingan tetapi memiliki sifat yang saling berlawanan. Mungkin saling menghilangkan, atau bahkan saling berkomplot menguji keberanian saya untuk terus bergerak tanpa pernah melangkah ke belakang. Buat saya, dia adalah penghkianat sejati. Tapi di lain sisi dia adalah sahabat yang bisa membuat saya percaya kalau saya mampu melewati berbagai rintangan yang sebelumnya tidak yakin bisa saya ampu dan lewati.

Saya tidak kapok dikhianatinya. Saya mau terus berjalan bersamanya. Karena dikhianati waktu sambil berjalan meniti potongan-potongan cerita sampai menjadi sebuah kesatuan cerita adalah ketentuan yang harus saya terima. Bersama waktu saya merefleksi diri, bersama pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan waktu saya belajar untuk menjadi pemenang. Nanti. Ketika dia sudah bosan bermain di ranah yang akan saya jalani. Bilakah?

2 komentar:

Farrel Fortunatus mengatakan...

Selama nafas masih dikandung badan; penghianat" itu akan selalu datang dan pergi. sama seperti siklus kehidupan yang tiada henti akan terus bergulir sampai tiba masa kesudahan... Kalo kita sanggup bertahan, artinya kita sudah jadi pemenang.

Apisindica mengatakan...

@farrel: dan semoga pada akhirnya kita semua keluar sebagai pemenang. amin.