Halaman

Jumat, 30 September 2011

(Filosofi) Kopi

Apa hebatnya rasa sebuah kopi?

Meskipun dijanjikan bahwa itu adalah kopi berkualitas yang prosedur pendatangannya juga harus melewati bea cukai yang sering merepotkan. Aku seringkali tidak bisa membedakan. Rasanya tetap saja sama. Lebih banyak aroma getir yang menyeruak dibanding euforia seperti yang dijanjikan berlembar-lembar jurnal penelitian. Kafein dapat meningkatkan gairah dan semangat, begitu klaim dari berbagai hasil riset para ilmuwan.

Bagiku, tidak ada bedanya. Pahit kopi mengingatkanku pada gamang jalan yang terpampang. Pahit kopi membuatku teringat pada perasaan bagaimana aku harus berjuang melupakan setelah dilimbung badai kasmaran. Pahit dan harus tetap ditelan, sebegitu miripnya hal itu dengan pengalaman yang sering aku harus rasakan. Berulang-ulang.

Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya kalau dari pekat kopi aku justru bisa menemukan sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan yang seperti sedang Tuhan persiapkan untuk aku cicipi barang sebentar. Atau mungkin bisa jadi malah lama bertahan. Entahlah. Yang pasti dimulai dari satu cup kopi, aku merasa ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Sesuatu yang membuat perasaan seperti diganjar kecanduan.

Aku menikmatinya. Sedikit demi sedikit. Karena tidak ingin segera aku kehilangan rasa yang sibuk bermain di pelataran tidak hanya lidah tapi juga perasaan. Aku tidak ingin segera bertemu dengan ampas walaupun kopi jenis ini bisa dinikmati tak bersisa. Tidak meninggalkan jejak kecuali kebahagiaan yang akan terus dikecap papila-papila di indera perasa.

Dan kalaupun satu cup telah lenyap digerus putaran waktu, ada janji yang bersedia untuk membuatkannya kembali. Tidak sekali tapi berulang kali seperti katamu ketika kita menyesap wangi dahan basah selepas hujan di halaman. Katamu kamu tidak keberatan untuk menggunakan keahlianmu mengulangi hal yang sama dan berimprovisasi agar aku tidak merasa bosan. Dan aku setuju, karena aku seperti sudah tidak bisa lepas dari belenggu kafein yang berkarat di cup-cup plastik yang kamu sodorkan tiada henti.

Perantaraan kopi kita bertemu. Lewat kopi kita memulai perbincangan layaknya dua orang awam yang tidak saling mengenal. Dan lewat kental kopi yang keluar dari mesin pembuatnya kita memutuskan untuk menjalani sesuatu yang kita kita yakini bisa untuk dijajal. Perantaraan kopi aku belajar memahamimu meskipun belum sesumbar aku bewarakan hal itu melalui partikel-partikel udara untuk sampai di telinga.

Tidak usahlah kita terburu-buru. Pengalaman aku dan kamu sudah banyak mengajarkan bahwa ketergesa-gesaan hanya akan mengantarkan kita pada perpisahan justru sebelum kita merasa saling membutuhkan. Karenanya, tidak banyak kata yang ingin kusampaikan. Tidak banyak suara yang ingin aku bagikan. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sungguh mengagumimu. Baristaku.

5 komentar:

Rona Nauli mengatakan...

uaaah, barista... enak banget kopinya? saya penggemar kopi, jadi pengen punya temen barista juga :D

tiieee mengatakan...

aku sukaaa bgt kopi. apalagi yang tidak terlalu manis dan agak pahit :) love this post anyway :)

ROe Salampessy mengatakan...

dari kopi, oleh kopi, dan untuk kopi.. #toss mas bro.

ngopi yukk,, tampaknya mas bro sedang jenuh.! hehe..

Gloria Putri mengatakan...

eh, barista tu apaan sih? sering denger tp gak tau :p
wkwkkw

Apisindica mengatakan...

@rona: kalau dibilang enak, yah standar starbucks lah yah. Di gerai mana aja sama rasanya :)

@tiieee: pahit mana sama hidup saya? hahaha, teteup curhaaat

@ROe: traktiiiiiir!!!!!!

@glo: barista itu peracik minuman koipi lho!!!!