Halaman

Senin, 26 September 2011

Dunia Kaca

“kamu jauh berbeda dari bayangan saya” Begitu kalimat pertama yang keluar dari mulutnya setelah sekian lama terkunci senyap.

Saya hanya tersenyum. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Sebetulnya ini bukan kali pertama saya menghadapi situasi kikuk seperti ini. Berulang kali saya masuk pusaran yang sama, dan berulang kali juga saya bingung harus berlaku seperti apa. Sepertinya saya tidak banyak belajar, atau mungkin saya lamban dalam mencerna setiap pelajaran yang dibisikan pengalaman mengenai kejadian seperti ini.

Malam itu kami duduk berhadapan. Tidak banyak suara yang keluar dari mulut kami. Sunyi. Bahkan kalau disimak benar, detak jantung kami berdua akan terdengar jelas bergantian seperti saling sahut menyahut. Kalimat-kalimat yang mungkin sudah dipersiapkan sebelum pertemuan ini seakan terjerembab dalam jaringan ephitel bersilia di tenggorokan sebelum mereka tiba dan menggetarkan pita suara. Tidak menghasilkan sama sekali bunyi.

Pikiran kami mengembara dalam lintasan yang sepertinya berlainan. Dia berusaha menelisik sosok yang duduk di hadapannya. Saya. Sementara saya mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang harus saya utarakan kalau dia kemudian memberondong saya dengan pertanyaan yang tidak bisa saya duga. Suasana masih senyap. Lampu yang sedikit temaran di atas kami tidak lantas dapat menunjukan arah mana yang harus kami lalui berdua dalam aktivitas bernama percakapan.

“memangnya apa yang kamu harapkan?” sunyi saya lumerkan dengan pertanyaan yang sebetulnya saya sudah tahu jawabannya. Sedari awal.

“Sebetulnya tidak ada” Begitu ujarnya seraya menatap lurus tepat ke mata saya. “Hanya saja, lintasan atom yang seharusnya berputar beraturan dalam sulkus otak saya tiba-tiba membelot dan meloncat dari satu lintasan ke lintasan yang lainnya secara acak ketika saya mendapati kamu sekarang. Saya hanya bingung. Maaf”

Saya tersenyum lagi. Berusaha memberinya keyakinan bahwa ini memang saya. Seseorang yang dia kenal perantaraan aksara. Seseorang yang wujudnya selama ini mungkin hanya dia reka dan dia imajinasikan dalam kanvas maya sesuka hatinya. Dia hanya berusaha menyusun serakan puzzle menjadi sebuah bentuk dengan petunjuk hanya kumpulan prosa. Dan sepertinya dia salah menyusun. Bentuk lengkap dia dapatkan, tapi itu bukan saya.

Saya hidup di dunia kaca dengan banyak jendela. Saya biarkan orang-orang di luaran saya sepuasnya mengamati tanpa bisa menjamahnya dengan leluasa. Saya membatasi membagi kehidupan saya, bukan untuk menimbulkan kesan misterius atau apalah. Saya hanya merasa bahwa ada bagian-bagian yang tidak perlu saya umbar ke udara. Kalaupun ada sesuatu yang ingin saya bagi, maka saya buka sedikit jendela dan melepaskannya ke angkasa melalui rangkaian prosa yang berderet bagai sinema.

Panggil saya manipulatif, sebutan yang tidak akan saya sanggah sama sekali. Saya hanya perangkai cerita, penyampai kisah tidak fiktif yang saya kemas dalam noktak-noktah diksi. Kejadian yang saya alami mungkin bisa jadi sangat sederhana, sesederhana kucing yang saya lihat di halaman. Tapi dengan bantuan diksi saya bisa mendeskripsikan kucing itu menjadi seperti serigala tanpa merubah jalan cerita.

Dia, seseorang yang saya temui malam itu sepertinya terjebak dalam kumparan yang sama. Salah mengerti tentang saya. Belasan email preliminasi ternyata tidak membuat saya jelas di matanya, padahal di email itu tidak lagi saya libatkan diksi. Saya menelanjangi diri sebisa saya, sejelas yang dia harapkan. Tapi sepertinya hal itu tidak bekerja seperti yang saya harapkan. Dia berjalan dengan pondasi tentang saya yang sudah terekat kuat di kepalanya.

Kemudian, saya hanya memintakan maaf kalau malam itu saya seperti mengintimidasinya melalui penampilan dan kepribadian saya yang asli. Di taman aksara, saya memang apisindica. Tapi di luar itu, saya apisindica yang pasti tidak akan pernah sama.

4 komentar:

Jo mengatakan...

Kopi darat yang kurang sukses kang?

JC mengatakan...

Wah udah lama gak mampir kesini, sudah ganti tampilan blog ya, keliatan lebih fresh :)

Farrel Fortunatus mengatakan...

Kenyataan memang seringkali jauh dari yang diharapkan. Jangankan cuma menilai lewat tulisan. foto aja kadang tidak menggambarkan wujud sebenarnya.

Apisindica mengatakan...

@jo: ya ampuuuun, kopi daraaaat? berasa jaman kuliah nggak seh?!

nanti sore ketemu di depan salon memori simpang dago yah! #dejapuu

@JC: bro, susah banget sih mau komen di blog mu. Gw suka tulisan-tulisannya...

@Farrel: hahaha, farrel curhat deeeh...