Halaman

Senin, 04 Juli 2011

Perpisahan

Saya tidak suka perpisahan. Perpisahan hanya akan membuat jambangan kesedihan saya bertambah lagi isinya. Perpisahan hanya akan meninggalkan bekas luka, jejak air mata. Karenanya saya sebisa mungkin menghindari perpisahan.

Tapi bagaimana saya bisa menghindari perpisahan padahal sudah menjadi tasbih alam ketika ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Ketika ada awal pasti akan ada sebuah akhir. Meskipun begitu saya tetap saja tidak menyukai perpisahan. Perpisahan itu muram, menghambat sejenak langkah yang harusnya berpacu seiring waktu.

Semalam saya dipaksa mengucapkan perpisahan. Dipaksa karena sebenanrnya saya tidak ingin melakukannya. Keadaan membuat saya tidak punya pilihan, keadaan membuat saya egois untuk meningalkannya.

Saya tidak ingin berpisah dengannya. Bersamanya saya meraih apa yang saya mau, bersamanya saya pernah melalui hari-hari berat penuh rintangan dan keluar sebagai pemenang. Saya dan dia seperti tidak terpisahkan, terpautkan oleh sesuatu yang saya sebut dengan tujuan. Memang seringkali saya berbuat curang, mengkhianatinya dengan berbagai alasan tapi akhirnya saya tetap kembali kepadanya. Merapal lagi janji untuk setia sampai nanti.

Dia memberi saya kepuasan. Menghadiahi saya dengan bentuk yang selama ini saya idam-idamkan. Sebagian orang memanggil saya gila, memandang hubungan saya dengannya tidak lagi sehat. Mereka bilang, dia membuat saya menyiksa diri. Mereka bilang dia membuat saya sering menarik diri dari undangan perjamuan makan. Saya tidak peduli, saya suka dan nyaman hidup bersamanya. Orang lain boleh bilang saya menyiksa diri, tapi saya bilang saya mendapatkan kepuasan. Hidup dengannya seringkali membuat saya memperoleh multiple orgasm. Kepuasaan lahir batin.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya untuk mengucapkan perpisahan terhadapnya. Sekian tahun kami sudah hidup bersama, rasanya begitu berat ketika harus memutuskan mengakhiri apa yang dulu pernah kami sepakati. Jujur, saya tidak ingin berpisah darinya. Dijauhkan dari dia mungkin akan membuat saya gila, kehilangan pegangan yang selama ini menuntun saya untuk berjalan bahkan ketika saya berada di titik kulminasi paling rendah dalam hidup. Dia ada disana, di samping saya menyaksikan bagaimana saya tumbuh. Bertransformasi dari bentuk layaknya abstrak sampai bentuk mendekati yang saya mau. Dia testimoni hidup saya.

Sayang, keadaan tidak seterusnya berpihak kepada kami. Keadaan yang tidak menguntungkan seperti sekarang membuat saya harus menggagas ulang hubungan kami. Dan saya sampai pada keputusan bahwa hubungan ini harus disudahi. Mungkin nanti bisa digagas kembali, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Keadaan tidak memungkinkan bagi kami untuk segera kembali. Saya yakin dia akan mengerti, meyakini bahwa ini adalah hal yang terbaik untuk saya saat ini. Dia akan baik-baik seperti biasanya, meski saya tidak yakin apakah saya akan baik-baik saja setelah perpisahan ini. Saya akan mencoba tegar, menjalani semua konsekuensi.

Tidak ada pesta perpisahan yang meriah. Tidak juga ada peluk mesra ketika kami akan berjalan berlawanan. Semua sudah takdir yang memang harus diikuti, demi kebaikan semuanya. Saya mungkin menangis, tapi saya yakin bahwa apa yang sudah saya putuskan adalah jalan yang paling baik untuk saat ini. Tidak boleh ada penyesalan di akhir cerita, tidak boleh ada pengingkaran di batas pengharapan. Saya dan dia resmi melakukan perpisahan.

Semalam saya hanya mengucapkan sepenggal kalimat perpisahan lirih tanpa rima. “Dengan aktivitas saya belakangan ini yang super padat dan sakit saya yang berulang dalam rentang jarak waktu hanya 6 bulan, sepertinya saya tidak bisa lagi melibatkan kamu dalam hidup saya. Biarkan saat ini saya sendiri dulu tanpa ada kamu, DIET!”

3 komentar:

Gloria Putri mengatakan...

akhirnya pisah?

*peluk

aq juga ga suka perpisahan...

rid mengatakan...

wakakakak...kirain perpisahan sama siapa :P
btw jangan sampe jadi gendut ya,pis :D

Apisindica mengatakan...

@gloria: akhirnya berpisah :(

@rid: hahahaha. udah genduuuuut!