Halaman

Rabu, 12 Mei 2010

Bruce Albert

Saya pertama kali mengenalnya ketika masih kuliah S1. Kalau nggak salah saat itu semester 6, semester padat bukan hanya materi tapi juga praktikum. Perkenalan biasa, selintas, dan tidak memberikan kesan apa-apa di hati. Mengenalnya hanya sebatas tahu tanpa ada perasaan ingin mengenalnya lebih dalam.

Saya tidak pernah menyangka kalau ternyata saya harus mengenalnya semakin jauh. Membayangkan saja tidak pernah kalau dia akan menawan hati saya sedemikian rupa. Jepang menjadi Negara dimana saya kembali bercengkrama dengannya. Hampir setiap malam dia yang menemani saya larut dalam tugas-tugas tak berkesudahan. Dia sangat setia dan selalu membantu saya keluar dari kesulitan project melalui banyak solusi.

Pulang ke Indonesia dan kemudian melanjutkan studi, saya pikir saya akan terbebas dari belenggunya. Ternyata tidak, saat awal kuliah master saya dia menyambangi setidaknya 3 kali dalam seminggu. Rutin. Mau tidak mau saya melayaninya, menelaah kembali semua pemikirannya. Pemikiran yang seringnya sulit dimengerti. Pemikiran yang tidak jarang membuat saya menangis tengah malam karena merasa sudah tidak bisa lagi mengikuti arah pikirannya. Saya sering tersesat meski akhirnya saya menemukan jalan pulang.

Cukuplah dia menghantui sampai saya menyelesaikan studi master. Saya hanya merasa bahwa otak saya tidak lagi bisa mencerna kemumetan yang ditawarkannya. Saya sering terjebak dalam jerat manis kalimat yang dia suguhkan. Indah tapi membuat saya kelimpungan menterjemahkannya menjadi sesuatu yang sederhana, sesuatu yang mudah dicerna.

Saya berencana selingkuh darinya. Ketika saya mendapatkan (lagi) kesempatan untuk short course, saya meninggalkannya. Di Belanda saya tidak banyak berurusan dengannya, saya memutar haluan agar dia tidak menghantui saya lagi. Tapi karena pesonanya yang luar biasa itu, takdir mempertemukan kami kembali. Saya kembali tenggelam dalam lautan pemikirannya yang fundamental, saya kembali jatuh cinta kepadanya.

4 bulan yang lalu ketika sebuah lembaga riset mengundangnya untuk datang ke Indonesia pada bulan Mei dan memberikan kesempatan bagi para peneliti muda untuk bertemu dengannya, saya sangat antusias. Saya membuat statement of purpose dengan niat luar biasa dan berharap tulisan tersebut lolos seleksi sehingga saya bisa bertemu dengannya. Tuhan mendengar doa saya, tulisan saya diterima dan saya diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah umum yang dia berikan.

Skenario Tuhan memang indah, dan sepertinya saya berjodoh dengan dia. Di akhir kuliah umum, dia membagikan 3 buah buku hasil tulisannya yang diakui seluruh dunia sebagai buku life science terbaik yang pernah ada. Buku dibagikan dengan cara mengadakan lucky draw nomer peserta. Tak dinyana, nomor saya keluar. Saya berhasil memperoleh buku aslinya lengkap dengan tanda tangan dia. Bukan itu saja, saya juga berkesempatan untuk berjabatan tangan langsung dan berfoto dengan dia.

Dia Bruce Albert. Penulis buku Molecular Biology of The Cell. Buku suci yang isinya harus dipahami setiap peneliti atau dosen yang berkecimpung dalam dunia biologi molekuler. Buku yang di atas saya ceritakan pernah menemani saya ketika kuliah biologi molekuler jaman S1, biologi molekuler lanjut, biologi sel lanjut dan rekayasa genetika ketika jaman S2. Buku yang juga menemani project saya mengenai rekayasa protein di Jepang dan project mengenai rekayasa fisiologi mikroba di Belanda. Buku yang dari sekian banyak manfaatnya tapi saya hanya punya kopiannya, sekarang saya punya buku aslinya yang berwarna.

Mungkin ini juga pertanda dari Tuhan kalau saya harus mengambil bidang biologi molekuler untuk PhD saya besok. Atau justru ini pertanda kalau saya harus meminta Prof. Bruce untuk jadi promotor riset saya nantinya. Mauuuuuuuuuuuu.

7 komentar:

BaS mengatakan...

Eh loe masih muda khan? Yah, bukan berarti sih ya ga boleh Phd. Hahaha...
Hiyaaaa! jadi iri....! Yeah in a possitive attitude...

Hey, tell me more about how you earn your master?? Was it scholarship or something? About Japan and stuff?....

Jadi pengen nyari beasiswa.....psikologi ada ga yaa di luar???

mayank mengatakan...

iiih keren, bisa dapet buku asli+ttd+foto. hemm...keren perjuangannya buat dapetin itu sie hehehehe

sebutannya sama ya kak...
buku suci hehhehe
buku suci maiank sekarang mah Frank P. Incropera buat lulus S1, bukan Phd T.T

aku iri....huhuhuhuhu

rid mengatakan...

wah,mau ngambil PhD ya pis, hebat...

(cita2ku ngambil master belum juga kesampaian,huhuhu)

Farrel Fortunatus mengatakan...

wah congratz bro... aku ikut seneng dan bangga lho punya temen yg qualified kaya km...

Apisindica mengatakan...

@BaS: gw memang masih muda, dan belum PhD. hahaha. padahal rencananya pengen jadi doktor sebelom umur 30. Tinggal mimpi, tapi masih bisa dikejar.

gw masternya beasiswa. beasiswa paling menguntungkan karena nggak pernah minta progress report, nggak pernah ada evaluasi, nggak pernah ada tekanan. Beasiswa BOKAP GW. :)

soal jepang dan belanda, gw dapet beasiswa dari kampus. Lumayanlah sekalian jalan-jalan.

psikologi?? banyak. tapi di eropa atau amerika. ayo nyari!!!

@maiank: jangan iri, ayo sama-sama berjuang. Ketika ada keinginan pasti akan ada jalan. selesein duli S1 nya dengan baik, jalan lain akan terbuka. Insya alllah. Kita saling ngedoain yuk!

@Rid: Iya Rid, mohon doanya. Janji aku sama diri sendiri, jadi harus dipenuhi. :P

ayo kuliah master!!!

@Farrel: hahaha, makasih mabro!! nggak qualified-qualified amat lah. Semua itu just luck factors digabung dengan doa.

Gabriella mengatakan...

saya juga waktu itu dtg ke public lecture-nya bruce albert. tp sayang sekali gak beruntung dapetin bukunya.

wahh hebat..udh mau Ph.D. boleh dong bagi2 infonyaa...*pdhl saya S1 juga belom lulus* :)

Apisindica mengatakan...

@gabriella: oh ya? berarti liat saya donk! hahahahahah.

diselesaikan dulu s1 nya tapi harus teteap semangat buat lanjut lagi sampai s3. :)