Halaman

Rabu, 28 Mei 2014

Dunia Paralel

Pernah ikutan lomba menulis cerpen di nulisbuku.com beberapa bulan lalu dengan tema besar "love never fails". Saya mengirimkan sebuah tulisan dengan judul "dunia paralel" yang merupakan gabungan dua buah tulisan yang pernah saya posting di blog ini juga.

Karena saat itu pekerjaan sedang banyak-banyaknya, tulisan yang saya buat tidak sempat dibaca dan diedit ulang apakah penggabungan yang saya lakukan kongruen atau malah tidak. Sekali jadi langsung kirim, mengingat saya juga mensubmit di hari terakhir batas pengumpulan. Dan benar saja, tulisan saya tidak jadi penenang.

Kemarin malam ketika saya masuk ke kamar saya di Bandung, saya menemukan kiriman dari nulisbuku.com yang berisi buku 17 kumpulan cerpen terbaik dari lomba tersebut. Alhamdulillah "dunia paralel" tercetak di sana beserta cerpen pemenang 1, 2 dan 3.

Nggak nyangka aja. Ternyata setelah digerus menulis banyak jurnal ilmiah, saya masih bisa menulis prosa. Bangga. Itu saja. Berikut saya posting ulang cerita tersebut. Kali-kali saja ada yang penasaran :)


DUNIA PARALEL

Di sebuah gerai kopi yang nyaman seorang laki-laki duduk sambil sibuk mengetik di atas tuts-tuts keybord komputer jingjingnya. Dia sendirian. Di atas meja bundar di depannya hanya ada komputer, gelas plastik berisi es mocha milk kesukaannya dan sebuah asbak tak berpenghuni. Asbak yang merepresentasikan dirinya. Sendirian. Dan kosong.

Entah apa yang tengah dituliskannya di lembaran kertas putih yang kadang terisi beberapa kalimat tapi kemudian kosong lagi karena seketika dipijitnya ctrl A kemudian del. Sepertinya dia sedang kebingungan. Gagal menuliskan sesuatu yang tengah berkecamuk di dalam pikirannya, atau jangan-jangan dia sedang berkutat dengan sebuah pekerjaan kantornya. Tapi ini malam minggu, dan laki-laki itu bukan karyawan yang super sibuk sampai harus bekerja di malam yang katanya banyak bergelimpangan cinta.

Lama dia terdiam. Sinar dari layar komputer menerangi hampir seluruh wajahnya. Tidak tergambar raut kekalutan seperti saat dia terburu-buru menghapus beberapa kalimat yang baru saja diketikannya sebelum membentuk sebuah paragraf utuh. Tidak juga terlihat sebuah keputusasaan padahal beberapa saat sebelumnya dia menghela nafas panjang kemudian menyeruput minuman dingin favoritnya. Dia nampak biasa saja. Hanya terlihat sebagai laki-laki yang menikmati malam minggu sambil berusaha menuliskan sesuatu yang mungkin dia juga tidak tahu. Sendirian.

Laki-laki itu seperti memberikan pengumuman tidak tertulis dengan bunyi “apa yang salah dengan menghabiskan malam minggu sendirian?” Dia seolah tidak peduli dengan orang yang berlalu lalang sambil bermesraan atau sekedar berpegangan tangan. Baginya mungkin itu hanya sebuah tontonan gratis yang terlalu diobral. Romantisme yang diumbar seakan butuh pengakuan kalau mereka adalah pasangan. Picisan.

Mendadak dia bersandar. Merebahkan punggungnya yang sedikit terlihat tegang di bantalan kursi yang semula berjarak. Ada sebuah tanda tanya di wajahnya. Tanda tanya yang mungkin bisa dengan jelas terlihat oleh orang yang memperhatikannya dengan seksama. Tanda tanya di akhir pertanyaan yang mungkin menggelumbung di dadanya. Pertanyaan yang kemudian dijawabnya dengan cara berlari. Laki-laki itu seperti berlari dari berondongan pertanyaan kenapa di malam minggu seperti ini dia hanya berdiam di rumah dan sendirian dari para handai taulan. Karenanya dia berlari. Menghabiskan kesendirian di gerai kopi favoritnya. Tempat yang dia anggap aman untuk terlihat seperti mencari kesibukan.

Laki-laki itu tetap berada di dimensi yang sama. Sendirian. Entah itu di rumah ataupun di tempat persembunyiannya sekarang. Bedanya dia hanya terbebas dari serangkaian pertanyaan yang mungkin memekakkan gendang pendengaran. Pertanyaan yang laki-laki itu bosan menelannya. Pertanyaan yang sering kali tidak cukup dijawab hanya dengan diam. Apalagi sekumpulan angka terus bergerak di lingkaran usianya.

Sudah jauh laki-laki itu berjalan sendirian. Menapaki setiap pematang yang membentang ingin ditaklukan. Membuka setiap kesempatan yang menggoda untuk sekedar dijajal. Banyak yang sudah dia dapatkan entah itu kebahagiaan atau sebuah kesakitan. Pelajaran-pelajaran hidup yang justru menguatkan, menempa batin yang awalnya rapuh tak tahan cobaan. Banyak pula yang sudah dia belanjakan. Penantian, mempertaruhkan, menyodorkan perasaan, disakiti, disia-siakan. Dan dia bertahan. Berharap semakin kuat setiap harinya meski dilaluinya dengan melakukan beragam pelarian.

Menurutnya sendirian bukan berarti lemah atau menjadi bisa dilemahkan. Sendirian buat laki-laki itu menjadi sebuah jalan untuk melakukan banyak penilaian. Objektif, tidak lagi subjektif. Pematutan dari serangkaian kegiatan ketika dia mulai berjalan. Penilaian dari serangkaian penerimaan diri ketika pertama kali menyadari kalau ada yang berbeda dari sebagian besar orang. Penilaian yang mulanya lebih banyak berisi angka merah karena dipenuhi dengan banyak kemarahan. Pengugutan kepada Tuhan. Ketidakterimaan.

Apakah laki-laki itu sekarang sudah memperoleh jawaban? Entahlah. Yang pasti dia sudah mengantongi sebuah pemakluman hasil berjibaku dengan banyak pertanyaan yang dulu sering dia gadang. Hasil yang mungkin tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Hasil yang mungkin membuat orang justru mentertawakan. Laki-laki itu tidak peduli. Hidup bukan hanya pada koridor menyenangkan hati orang lain yang justru tidak mengenal siapa dia sebenarnya. Hidup adalah bagaimana meraih kebahagiaan dengan caranya. Meskipun sendirian.

Sendirian bukan halangan. Sendirian justru membuat laki-laki itu kuat dengan caranya sendiri. Terdengar klise? Pastinya. Mudah dijalani? Tentu saja tidak. Butuh waktu tidak sebentar untuk dia sampai pada fase seperti sekarang. Butuh banyak pemakluman seperti yang sudah dia bilang. Butuh banyak menebalkan telinga karena selalu sendirian menimbulkan banyak pertanyaan dari lingkungan, seakan kalau sendirian menjadikannya seorang pesakitan. Kesepian. Butuh dikasihani. Kasihan.

Kebiasaan sendirian bukan berarti laki-laki itu tidak lantas mencari pasangan. Lagi-lagi pengalaman mengajarkan banyak hal. Bukan berarti karena ingin lepas dari stigma kesendirian dia menjadi tidak lagi memilah. Angka dikepala tidak lagi muda. Bertualang dari satu pemberhentian sesaat ke pemberhentian sesaat yang lainnya bukan lagi saatnya untuk dilakukan. Sayang memboroskan waktu untuk sesuatu yang dari awal sudah  dia tahu bagaimana ujungnya, apalagi dengan kesadaran penuh bahwa ternyata dengan sendirian dia baik-baik saja.

Laki-laki itu sudah jauh berjalan sendirian. Mencoba menikmati apa yang sudah Tuhan beri sebagai jalan yang memang harus dijalankan. Tanpa pertanyaan walaupun terjal. Sudah jauh dia berjalan sendirian. Menyemai banyak doa di setiap kesempatan, berharap suatu saat ada sebagian doa yang dikabulkan. Tidak perlu semua, karena dia tahu tidak akan semua doa bertemu dengan jawaban. Sudah jauh dia berjalan sendirian. Mengetuk pintu-pintu virtual sampai bertemu dengan apa yang (mungkin) selama ini dia idam-idamkan.

Apa laki-laki itu bosan? Tidak jarang. Tapi dia punya keyakinan kalau bosan hanya akan membunuh harapan. Kesendirian membuatnya kreatif agar terbebaskan dari belenggu bosan. Kesendirian memaksanya memutar akal agar dia tidak lantas mati perlahan. Laki-laki itu tetap harus hidup untuk berbagai alasan.

Malam ini dia masih saja berjalan sendirian, seperti biasa dia akan mengetuk pintu yang sudah dia amati sejak lama. Awalnya ragu tapi kemudian dia menantang diri untuk terus berani. Lama tak ada jawaban. Dia  menunggu. Satu, dua, tiga sampai sembilan. Tetap tak ada jawaban hingga akhirnya dia memutuskan bahwa dia harus memutar badan dan kembali berjalan. Tepat di langkah pertama yang dilakukannya, sebuah pemikiran yang tiba-tiba membuatnya seperti seakan tersadar.

Sementara itu di sebuah dunia paralel, seorang perempuan berbaju biru yang dipadu dengan celana jins ketat tampak bergelendotan manja pada tangan kekasihnya. Mereka berjalan bersisian di sebuah pusat perbelanjaan ternama di kotanya. Tanpa riskan mereka masuk dari satu gerai ke gerai lainnya  sambil terus mempertontonkan kemesraan. Cinta yang diumbar seolah tidak ada yang keberatan.

Perempuan itu sumringah. Tidak tampak sama sekali sebuah beban di hidupnya. Bagaimana tidak, di sampingnya ada seorang laki-laki yang padanya dia menggantungkan banyak pengharapan. Sedih berada jauh dari jangkauannya karena dia sudah menemukan cinta. Rasa yang dia gadang akan mengantarkannya pada perasaan pulang. Cinta yang akan menerbitkan sebentuk lain dari sebuah harap yang selama ini dia bayangkan. Termiliki. Seutuhnya.

Laki-laki di sampingnya terus mengenggam tangan sang perempuan. Seperti berlekatan kedua tangan itu tidak terpisahkan. Sesekali laki-laki itu menggoda yang dibalas dengan cubitan manja si perempuan yang mendarat di perutnya. Laki-laki itu seperti ksatria, tahu betul apa yang dibutuhkan pujaan hatinya. Sementara si perempuan berlagak jinak, seperti sudah ditaklukan lewat serentetan kejadian yang melambungkannya ke nirwana.

Mungkin bagi mereka tidak ada istilah malam minggu karena semua malam adalah serupa. Berisi hanya cinta. Mungkin bagi mereka, entah perempuan yang berbaju biru dan bercelana jins ketat atau laki-laki yang menjelma ksatria semua sudah diaturkan Tuhan. Ditulis dalam sebuah perjanjian jauh sebelum mereka dilahirkan. Sekarang mereka hanya memainkan peran, berusaha memenuhi perjanjian banyak pasal yang tidak pernah mereka ingat pernah ditandatangani berbarengan.

Ketidakingatan pada sebuah perjanjian yang dibuatkan Tuhan kadang menyebabkan seseorang salah mengambil jalan. Salah menterjemahkan bunyi pasal yang maknanya tidak tersurat secara gamblang. Salah mengejawantahkan arti karena bunyi dibaca tidak terlalu teliti. Karenanya banyak orang salah meyakini. Banyak orang salah mengambil titian langkah yang justru berputar padahal tujuan terpampang jelas di hadapan.

Di gerai kopi yang mulai sepi, laki-laki yang seperti sedang berlari kembali menuliskan sesuatu di layar komputernya. Lama dia terdiam setelahnya. Mencermati satu demi satu kata yang dia tuliskan menjadi sepenggal kalimat lengkap. Terlihat ada sebuah kepuasaan di wajahnya, seperti menemukan pencerahan. Tangannya menggeser-geser kursor kemudian menghapus kalimat yang baru saja mengantarkannya pada sebuah kepuasan. Membuat kertas di layar komputernya kembali  putih tanpa coretan.

Sesaat setelah laki-laki di gerai kopi itu menghapus kalimat yang membuatnya orgasme, tiba-tiba perempuan berbaju biru bercelana jins ketat di sebuah dunia paralel merasakan sesuatu yang lain di hatinya. Sontak dia melepaskan genggaman tangannya yang seolah menempel dengan laki-laki yang selama ini dicintainya. Entah kenapa ada desir lain yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah keraguan yang timbul dalam sebuah keyakinan. Kegamangan yang hadir dalam sebuah kepercayaan. Absurd.


Laki-laki yang berselimut kesendirian beranjak dari gerai kopi yang didatanginya sejak dua jam silam. Mulutnya bergumam merapal kembali kalimat yang sudah dia hapal benar. Kalimat yang tadi dihapusnya setelah seketika mendapatkan pencerahan. Laki-laki itu terus mengulang dan mengulang. Dia bilang “Jodohku malam ini mungkin sedang sibuk mengumbar kemesraan dengan orang yang dia anggap jodohnya”. Lagi-lagi sesaat setelah laki-laki yang nampak sedang berlari selesai mengucapkan kalimat itu, hati perempuan berbaju biru bercelana jins ketat di dunia paralel mendadak hangat. Entah karena apa.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Jodoh ku manaaa.. Jodoh ku manaaa...