Halaman

Rabu, 23 Januari 2013

Teman dan Kemarahan


Sudah hampir beberapa hari saya mendiamkan seorang teman. Meskipun kami memang jarang bertemu secara langsung, tapi komunikasi melalui gadget selalu dilakukan hampir setiap saat.  Sejak beberapa hari ini tidak ada lagi komunikasi. Baik saya maupun dia tidak ada yang menggagas untuk memulai percakapan duluan. Terdengar kekanak-kanakan? Mungkin. Tapi saya benar-benar terluka.

Saya kecewa dengan sikapnya. Saya tersinggung dengan ucapannya. Mulut kami berdua memang tajam, seringkali melemparkan ungkapan-ungkapan yang sedikit sarkastik sebagai bahan becandaan. Semua tidak pernah jadi masalah, karena kami berdua faham benar di koridor mana kami berjalan. Kami menganggap bahwa semua becandaan itu adalah sebuah refleksi rasa sayang, suatu bentuk ekspresi yang justru merekatkan. Sampai beberapa hari yang lalu, ketika saya terlukai sampai batas nurani. Mungkin selama ini saya dianggap tidak memiliki nurani, jadi menurutnya tidak masalah melemparkan ungkapan yang kemudian membuat saya tersakiti.

 Semua hal sering kami jadikan bahan becandaan. Dari mulai kesendirian saya yang menurut dia janggal dan membuat saya seperti besi yang karatan sampai keberadaan pacarnya yang sering dia sembunyikan. Saya memanggil pacarnya sebagai pacar artifisial, sebuah rekaan. Bagaimana tidak, dia selalu berprilaku seperti layaknya seorang yang tanpa pasangan. Saya tidak peduli kalaupun dia berbohong toh saya tidak merasa dirugikan. Semua itu hanya jadi bahan banyolan, seperti halnya lelucon mengenai saya yang seringnya dibutakan keadaan. Menurutnya.

Kami saling mentertawakan kebodohan. Membuat masing-masing sadar dengan cara yang mungkin aneh terdengar. Kami menikmatinya karena mentertawakan hidup adalah salah satu cara untuk merawat kewarasan. Tapi kami tidak pernah bercanda ke area yang sensitif seperti keluarga, agama kami yang berbeda dan juga bagaimana kami memaknai takdir yang sudah tertuliskan. Kami sama-sama sadar area tersebut bukan hal yang patut untuk dijadikan bahan bully-an. Tabu untuk kami menistakan diri dengan membuat lelucon tak pandai yang akan melukai perasaan. Sampai kemarin. Akhirnya kejadian.

Saya memang seorang pegawai negeri sipil, dan semua orang tahu kalau jam kerja PNS memang yang paling menyenangkan. Masuk jam setengah delapan dan pulang tepat jam 4 petang. Seringnya tidak ada yang melembur dengan alasan mengejar jemputan atau memang tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan dalam deadline. Saya sudah kenyang dengan becandaan kalau PNS hanya makan gaji buta, makan pajak rakyat dengan kinerja yang tidak setimpal. Semua saya telan, karena menurut saya itu hanya sebuah penggeneralisasian. Saya mengamini karena mungkin memang banyak orang yang berlaku seperti itu di luaran. Selama saya tidak melakukan hal serupa, saya hanya tersenyum tanpa mengajukan gugatan pembenaran.

Tulisan ini dibuat bukan sebagai sebuah pembelaan. Penyangkalan dari semua stigma orang yang sudah terbentuk sedemikian kuat di masyarakat. Kalau tidak percaya, sekali-kali berkunjunglah ke laboratorium dimana saya bekerja, maka akan terlihat ratusan sampel yang harus dianalisis sebagai bahan penelitian. Akan didapati tumpukan data yang harus kami analisis sebagai alat untuk membuat rekomendasi di lapangan. Ah tapi mungkin kebanyakan akan menganggap itu hanya bualan. Tidak mengapa karena saya tidak hidup dalam jalan pikiran orang. Kalau saya melakukan pembelaan, saya akan masuk dalam jeratan pembenaran.

Dalam perbincangan dengan teman saya tersebut entah dari mana arahnya dan entah apa topiknya karena saya lupa, tiba-tia dia seperti menyerang apa yang selama ini saya kerjakan. Dia menyebut saya hanya memakan gaji buta karena jam 5 sore sudah ada di kosan dan bersiap mengunjungi area kebugaran. Saya tertawa seperti biasa, candaan klasik yang mungkin tidak akan bisa diperbaiki. Stigma sudah terbentuk, sulit untuk dihancurkan apalagi ada oknum-oknum yang masih berlaku seperti demikian. Saya membela diri dengan menyebutkan bahwa jam kerja saya memang sudah usai dan saya tidak punya tanggungan pekerjaan yang harus dikerjakan melebihi batas jam kantoran. Tapi dia menyerang, dia bilang sudah rugi membayar pajak negara hanya untuk membayar PNS yang bermental seperti saya.

Saya tertawa lagi. Sudah sangat terbiasa dengan ejekan seperti yang baru saja dia tujukan. Saya membalas dengan menyerang pacar artifisialnya yang tidak pernah dia perkenalkan tetapi selalu membelanjainya dengan barang-barang mahal. Candaan yang selalu kami ungkapkan sejak dulu berteman. Tidak pernah ada masalah. Tapi dia berekasi berlebihan, dia bilang saya tidak butuh seorang pacar yang bisa membelanjai barang-barang mahal karena saya bisa mengakses keuangan laboratorium saya dengan gampang. Dia bilang saya seorang koruptor, memakan uang yang sebetulnya bukan hak untuk didapatkan.

Ludah yang tertelan mulai pahit saya rasakan. Saya diam. Dan dia menganggap sikap diam saya adalah bentuk persetujuan. Dia mempertanyakan kenapa saya diam, dia bilang saya mengakui kalau saya pemakan uang haram. Padahal boleh dicek ke laboratorium saya bagaimana kondisi keuangannya. Badan pemerintah dimana saya bernaung bukan badan yang basah oleh uang, bahkan tidak ada anggaran untuk membayar seorang outsourcing sehingga peneliti seperti saya harus meluangkan waktu untuk mencuci Cawan Petri dan tabung reaksi yang berjumlah ratusan sendirian. Tapi saya hanya diam. Saya takut bereaksi ketika amarah mulai membakar kesadaran.

Melihat saya diam, dia terus mengejar. Mempertanyakan sikap saya yang lain dari kebiasaan melawan. Dia memborbardir saya dengan banyak pernyataan. Dia bilang pantas saja saya bisa belanja pakaian dengan brand terkenal ternyata saya mendapatkannya dengan memanipulasi cash flow keuangan bidang. Dia juga mempertanyakan dari mana uang yang biasa saya gunakan untuk pelesiran dan jalan-jalan. Gaji PNS yang kecil katanya tidak mungkin bisa menghidupi gaya hidup saya yang sangat berlebihan. Ketika saya bilang saya punya bisnis sampingan, dia menanggapinya dengan bilang bahwa bisnis sampingannya adalah melicinkan penyalur barang-barang kebutuhan kantor yang mau menyogok saya dengan setumpukan uang. Nauzubillah su’ma Nauzubillah.

Dia mungkin lupa kalau saya punya tabungan. Uang yang saya peroleh dari menyisihkan sedikit demi sedikit recehan. Dia mungkin lupa kalau sebelum menjadi abdi negara saya pernah bekerja di perusahaan multi-nasional dengan jabatan yang bisa dibilang menyilaukan. Kenyamanan yang kemudian saya tinggalkan demi ambisi untuk bisa sekolah lagi. Kenyamanan yang menyisakan pundi rupiah lumayan cukup di dalam rekening tabungan. Mungkin dia lupa kalau saya juga punya pekerjaan sampingan, menjadi master of ceremony dari satu acara ke acara lain sampai sekarang. Tapi dia dibutakan oleh status saya sebagai seorang abdi negara yang memiliki jam kerja dari jam setengah delapan sampai jam empat petang. Seseorang yang tidak pantas memiliki uang lebih meskipun saya membanting tulang mengerjakan proyek untuk kemajuan teknologi di negeri ini.

Sebelum saya meledak sore itu, saya menghapus pin BB-nya dari handphone saya. Terdengar drama. Terlihat seperti kemarahan anak umur belasan. Saya tidak peduli. Saya kemudian merefleksi betapa sebetulnya banyak pertanyaan yang ada dalam diri teman saya itu mengenai kehidupan yang saya jalankan. Selama kami berteman, rupanya dia menyimpan beribu pertanyaan besar hingga kemarin akhirnya dia menemukan jalan. Seperti tanggul yang hancur dia membanjiri saya dengan banyak kepenasaran. Kemudian saya hanya bisa bertanya, seperti itukah seharusnya seorang yang disebut teman?

4 komentar:

Anonim mengatakan...

dalam Islam, kita dilarang berlebih lebihan dalam banyak hal termasuk dalam bercanda dan memberi panggilan atau julukan yg tidak baik ke orang lain.Lagipula mood orang itu tak selalu sama sesuatu yg terasa biasa akan jadi luarbiasa disaat kondisi sedang sensitif. Jauhi candaan yg tidak cerdas.

Unknown mengatakan...

Kupikir sangat tidak bijak menilai pekerjaan seorang teman. Dan memang melelahkan berteman dengan teman yang seperti itu.

Hapun PIN kekanakan? Tidak juga! Itu sah-sah saja.

APis ... ini hidupmu! Kamu berhak melakukan apapun selagi tidak melanggar hukum dan nilai-2 sosial di masyarakat.

Kehilangan satu teman yang menyebalkan lebih baik daripada jiwamu lelah menghadapi teman misteriusmu itu.

Do your best, PIS!

LOV's BLOG mengatakan...

Begitulah proses pertemanan. Kita tidak selalu bisa mengamini semua keinginannya.

Berbeda pendapat itu sah-sah saja, bukan?

Soal mendelkon BB, itu hak kamu sepenuhnya. Kalau tidak nyaman dengan seseorang, hapus saja dia dari pertemanan.

Brom mengatakan...

Biasanya ada bagusnya kalau dalam amarah, kita diam sejenak. Supaya amarah kita tidak berubah menjadi pisau yang bisa menyakiti hati orang lain. Karena ucapan yang sudah keluar dari mulut itu sama seperti batu yang sudah dilempar, tidak bisa ditarik kembali, walaupun yang menjadi sasaran sudah berdarah-darah baik di kepala maupun di hati...