Halaman

Senin, 19 November 2012

Sebuah Pertemuan


Siapa sangka ternyata saya masih bisa bertemu lagi dengannya. Seorang sahabat yang demi alasan mengejar kebahagiaan yang nyata berpindah ke belahan benua yang berbeda dengan saya.

Siapa sangka kalau ternyata saya justru bertemu dengannya di tempat yang tidak kami berdua duga sebelumnya. Sebuah tempat dimana banyak pelancong datang karena dijanjikan suguhan pantai dan laut biru sejauh kita melepaskan pandang.

Tuhan selalu bekerja dengan cara yang misterius. Cara yang kadang tidak bisa dicapai oleh nalar. Dan pertemuan saya dengan seorang sahabat yang saya sayang pasti karena ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Kalau tidak ada campur tangan Tuhan, mana mungkin saya dapat bertemu dengan sahabat saya di tempat yang jauhnya beratus kilo dari tempat yang kami rancang sebelumnya.

Awalnya kami berjanji untuk saling bertemu di Jakarta, kota yang punya sejuta cerita tentang persahabatan kami berdua. Kota yang melingkarkan banyak kenangan entah itu tentang rasa senang maupun tentang rasa muram. Kota yang langsung kami sepakati ketika dia, sahabat saya mengirim pesan kalau dia akan pulang ke Indonesia untuk berlibur.

Tanggal sudah disepakati. Ibarat anak kecil yang dijanjikan pergi tamasya oleh ayahnya, saya melingkari tanggalan denga spidol berwarna mencolok meskipun halaman tanggalan tersebut masih ditutupi oleh lembaran bulan-bulan yang akan datang lebih awal. Saya sangat antusias. Bagaimana tidak, hampir 2 tahun saya tidak pernah bertemu dengannya. Bahkan ketika dia pergi meninggalkan Indonesia, saya tidak bisa mengantarkannya ke bandara. Panggilan dinas membuat saya tidak berada di Jakarta saat itu.

Sahabat macam apa saya ini.

Waktu sudah semakin dekat. Lembar tanggalan yang menutupi tanggal berlingkarkan spidol sudah tidak sebanyak waktu awal. Tiba-tiba masalah mulai mengintai. Paper ilmiah yang saya kirimkan beberapa bulan ke belakang ke sebuah perhelatan konfrensi internasional ternyata diterima. Konsekuensinya saya harus mempresentasikan paper itu dalam acara tersebut. Dan tanggal pelaksanaannya ada dalam kisaran tanggal dimana seharusnya saya bertemu dengan sahabat saya yang akan pulang kandang.

Saya gamang. Ini adalah kesempatan saya untuk bertemu sahabat yang entah kapan lagi akan pulang. Tapi saya juga tidak mungkin mengingkari kehadiran saya ke acara konfrensi.  2 hal yang pastinya akan menerbangkan saya pada dimensi yang berlainan, meskipun ujungnya berupa pemenuhan kebutuhan hati.

Saya mengontak sahabat saya dan bilang kalau sepertinya kali ini saya tidak bisa menemuinya. Saya jelaskan semuanya, tanpa maksud ingin bisa dimengerti. Dan kemudian sahabat saya bertanya dimana saya akan menghadiri konfrensi tersebut. Tanpa diduga dia bilang “Oke kita bertemu tanggal segitu di Senggigi”.

Saya terkejut, cenderung melongo. Saya bilang kalau dia tidak perlu memaksakan diri sampai mengunjungi saya di Senggigi. Tapi belakangan saya tahu kalau ternyata dia memang akan berlibur ke Lombok untuk menyelam dengan pasangannya. Saya senang bukan kepalang, dalam satu kali kayuhan saya bisa memeperoleh 2 hal yang saya inginkan. Bertemu sahabat yang saya sayang, dan berbicara di sebuah konfrensi bertaraf internasional mengenai kekayaan hayati yang dimiliki negeri ini. Berkah Tuhan mana lagi yang harus saya dustakan?

Waktu yang ditentukan akhirnya datang. Selepas konfrensi hari pertama, malam harinya saya bertemu dengan dia. Sahabat yang sudah hampir 2 tahun tidak bisa saya pegang. Sahabat yang saya ikut bahagia karena dia untuk saat ini sudah menemukan kebahagiannya. Kami berpelukan. Lama. 2 tahun terasa baru terjadi kemarin saja, tidak ada yang berubah dengannya kecuali pendar kebahagiaan yang saya temui di matanya. Malam itu untuk pertama kalinya saya juga bertemu dengan pasangannya. Dan seperti yang pernah dia bilang, pasangannya memang sosok yang juga menyenangkan.

Duduk di sebuah restauran di tepi pantai. Menikmati suguhan makan malam sembari sesekali menghitung bintang, kami bertiga dilarutkan oleh keadaan. Ada saat mengenang, ada saat membayangkan masa depan. Hal-hal yang membuat saya semakin yakin kalau dia tidak salah menjatuhkan pilihan. Sahabat saya tidak salah mengejar mimpi yang dia yakini. Tidak salah memilih pasangan yang dia nikahi.

Waktu kalau bisa akan saya perintahkan untuk tidak berganti posisi. Kalaupun tidak, saya ingin dia berdetak selambat mungkin sehingga semua momen bisa saya potret dalam hati. Keintiman yang membuat iri, kebahagiaan yang mengajari. Dan saya terlempar dalam sebuah momen rasa puas hanya dengan mengamati. Menemukan kebahagiaan saya sendiri dalam kebahagiaan yang sudah seorang sahabat dapati.

Sahabat, seperti yang sudah saya bilang malam itu. Malam ketika kita bertiga mentertawakan banyak hal, malam ketika angin laut ikut menyuarakan kidung keceriaan. Saya ikut bahagia untuk setiap tahapan yang sedang kamu lewati. Mungkin tidak semudah apa yang saya bayangkan, tapi lihat kamu sudah berhasil selama 2 tahun ini. Tidak ada lagi keniscayaan ketika kamu mau berjuang. Tidak ada kemustahilan ketika kalian berdua saling mengandalkan. Dan saya sebagai pengamat di luar lingkaran cukup puas dengan apa yang selama 2 tahun ini sudah kalian capai. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia.

Kebahagiaan saya bertemu kalian tidak bisa ditakar. Hati saya penuh bahkan mungkin menggelembung memenuhi rongga yang disekat diafragma. Saya tidak lantas berhenti mendoakan, karena saya tahu kalau jalan untuk kalian masih terpampang panjang di depan. Semoga apa yang kalian sebut cinta terus beranak pinak sampai nanti saat senja. Saat uban kalian sudah tidak bisa ditahan tumbuh di kepala.

 Terima kasih untuk hadiah parfum dan body lotionnya. Ternyata kamu tidak pernah lupa mengenai apa yang saya suka.

Tidak ada komentar: