Halaman

Rabu, 22 Februari 2012

Shooting star

Langit gelap tapi cerah. Tidak ada kehadiran awan, hanya hitam yang larut dengan sempurna dalam kanvas luas tanpa batas.

Sesaat sebuah cahaya melesat. Seperti sumbu yang tebakar tergesa, membara di ujung kemudian hilang di titik akhir lintasan. Mungkin di telan hitam, atau bisa jadi kehabisan bahan bakar. Tapi dalam kesesaatannya itu, dia menabur janji. Menggas mitos bahwa kesesaatannya bisa mengabulkan sebuah harapan. Membuatnya menjelma menjadi kenyataan.

Aku memupuk kepercayaan itu, seperti halnya percaya bahwa suatu saat kita akan bertemu. Entah dalam episode yang sudah kubuat dalam berbundel-bundel jalan cerita di kepala, atau malah justru dalam episode yang sebetulnya aku dan kamu hindari selama ini. Kita tidak pernah tahu. Yang pasti kita tahu adalah kita akan bertemu di satu titik pemberhentian.

Di titik itu pasti kita akan gamang. Dihadapkan pada pilihan untuk berjalan bersamaan atau saling bertolak belakang justru setelah saling mengenal. Berproses dalam lini masa terbatas waktu karena kita sama-sama tahu bahwa pemberangkatan akan segera diumumkan dari pengeras suara usang yang ada di hati kita masing-masing. Karenanya kita akan dipaksa segera memutuskan langkah mana yang akan dilakoni. Bersama atau kembali sendiri.

Malam tadi, ketika aku duduk di atas genteng rumah tetangga aku melihat lagi cahaya itu. Dia konsisten dengan kesesaatannya, membara di awal sua kemudian luruh di akhir batas penglihatan. Untuk kesekian kalinya aku merapal harap yang lagi-lagi sama setelah kehadirannya. Harap yang membuahkan cemas karena jangan-jangan cahaya itu ternyata hanya menabur ilusi dan bukan janji. Ilusi hanya menghilangkan dahaga semu dalam rongga dada, sedangkan janji menimbulkan penantian pasti karena ada proses bernama menepati. Kalau tidak sekarang ya mungkin nanti.

Kemudian aku bertanya, apakah kamu yang entah dimana juga melihat cahaya itu? Atau kamu terlambat dan hanya melihat gosong lintasan yang terbakar lecutan api seperti sumbu yang tersulut tergesa? Atau malah di tempatmu sekarang berada bukan gelap yang sedang terpasang melainkan siang? Otakku berputar keras dilimbung banyak kemungkinan, dan itu membuatku letih seperti di ajak berlari tiba-tiba tanpa awahan.

Aku berteriak, berusaha menghapus semua yang berkecamuk tanpa bukti di dalam kepala dan rongga dada. Aku tidak peduli kalau dia, yang nantinya sudah ditakdirkan akan bertemu denganku di satu titik pemberhentian tidak melihat cahaya itu. Aku tidak peduli, karena ini saatnya aku memupuk harap sendirian, tidak peduli kalau dia ternyata sedang tidak melakukan hal yang sama secara berbarengan. Karena aku yakin dia akan melakukan ritual dengan tujuan yang sama ketika mungkin aku sedang terlelap pulas. Aku yakin dia juga sedang berjalan mendekat ke arah pemberhentian yang sudah kami sepakati dulu ketika kami sama-sama dikirimkan Tuhan ke dunia.

Malam tadi, ketika aku duduk di atas genteng rumah tetangga dan melihat lesatan cahaya di angkasa aku mengucap doa. Semoga jodohku segera tiba.

3 komentar:

Jo mengatakan...

Caranya sampai diatas genteng tetangga gimana yaaa...
Eh amiiiin... Smoga jodohnya cepat datang yaaa

Chici mengatakan...

Amiiiin... moga jodohnya cepat dateng ya mas (J>o<)J

perjaka_kitchen mengatakan...

Hati hati jatoh...