Halaman

Jumat, 04 Februari 2011

Bocah Berselubung Mendung

Aku tidak pernah tahu kapan tepatnya mendung itu mulai menggelayutiku, yang aku tahu dia terus menguntitku kemanapun aku pergi. Seakan kandungan uapnya tidak pernah jenuh, padahal ketika jenuh pasti airnya akan tercurah menunggang hujan. Mengikis mendung menjadi biru.

Mendung itu tidak hanya tinggal di atas kepalaku, dia juga memblokade penglihatanku. Tumbuh tidak lagi menutupi hanya lensa mata tapi meluas sampai ke sklera. Bagian warna putih mata. Bagai selaput dia membuatku terjangkiti katarak, tak lagi jelas melihat terang yang terpapar.

Kadang dia menyelusup lebih dalam, menyambangi gendang telinga melalui tulang orbital di belakang retina. Disana dia akan membisikiku dengan beragam mantra penuh dendam. Tidak hanya itu, seringkali dia membodoh-bodohi aku karena ketidakberdayaanku memberangus semua ketidakadilan. Ketika aku tidak menggubrisnya dan berontak dengan menutupkan tangan di lubang telinga, maka dia akan murka. Diperintahkannya guntur agar dia meraung-raung di rongga kedap pendengaranku. Memekakkan.

Kalau sudah seperti itu biasanya aku akan beringsut ke pojokan kemudian menangis dalam diam. Menangis tanpa air mata. Sekuat apapun aku menangis tak pernah ada air mata disana, kelenjarnya mengering seperti dihajar kemarau panjang tak berkesudahan. Tapi aku tidak lagi heran, tidak lagi banyak mempertanyakan. Dulu aku pernah dibisiki mendung, katanya tidak akan ada lagi hujan bahkan genangan sekalipun. Mendung tidak ingin tergantian sebelum aku berhasil mendobrak semua belenggu, membebaskan jiwaku sendiri dari pasungan masa lalu. Begitulah sumpah mendung, entah kepada siapa.

Hari itu perasaanku sangat damai, serasa tidak ada lagi beban yang mengelayuti dada. Udara sangat bersahabat, angin kecil mengalir seraya menyapu segala debu yang dilewatinya, dibawanya terbang untuk kemudian dijatuhkannya lagi di suatu tempat. Aku terkejut menyadari posisiku, terbaring lemah di tempat tidur dan rasanya seperti di rumah sakit. Pergelanganku dibalut perban dan sesaat kurasakan perih disana. Kucoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi dan aku menemukan titik terang, tadi pagi aku mengerat urat nadiku sendiri.

Mengapa aku tidak mati? Bukankah tujuan akhirku adalah mengakhiri hidup? Untuk apa aku diberi kesempatan kedua kalau aku tidak diberi kemampuan untuk melawan? Aku protes pada Tuhan. Mengajukan banyak pertanyaan dengan jawaban hanya berupa diam. Tuhan tidak menjawab, mungkin Dia memilih bisu atau mungkin Dia tidak habis pikir bagaimana seorang bocah berusia 7 tahun berencana mengakhiri hidupnya dengan mengerat nadinya sendiri. Sejak itu aku diselubungi mendung. Membalut bagai aura yang mudah dibaca.

Semua diawali ketika laki-laki itu menyewa paviliun di bagian depan rumahku. Ibu sengaja menyewakannya dengan alasan keadaan. Sejak ayah meninggal setahun lalu keadaan memang berubah drastis, kami menjadi jauh lebih prihatin. Roda kehidupan keluarga berjalan seiring roda mesin jahit yang diputar ibu, kadang cepat tapi seringnya terhambat. Paviliun disewakan guna menambah pemasukan untuk makan kami bertiga. Ibu, kakak dan aku.

Laki-laki itu jatuh cinta pada kakak. Sering aku mengamati dia mengajak kakak pergi atau sekedar ngobrol di beranda sambil sesekali berpegangan. Ibu tidak keberatan apalagi laki-laki itu juga menyayangiku dengan sering memberiku jajanan. Bukan hanya makanan, dia juga suka membelikanku mainan seperti sore itu saat gerimis memapah di halaman. Sebuah boneka anjing dikeluarkan dari dalam tasnya dan diberikan kepadaku. Tentu saja aku senang, tak henti aku mainkan bonekanya sambil terus duduk di pangkuannya. Dia memang suka memangkuku, dan sesekali membelai pahaku.

Mendung lagi-lagi berkomplot dengan guntur menghasilkan gaduh di dalam kepalaku. Rasanya seperti dibentur-benturkan pada tembok, berdenyut tak karuan. Mendung marah karena aku tidak bereaksi ketika melihat lagi laki-laki itu. Laki-laki yang menghilang sekian belas tahun lalu setelah menoreh luka yang sampai sekarang masih menganga. Mendung berteriak membodoh-bodohiku, meloncat dari telinga kiri ke telinga kanan. Menendang gendang pendengaran dari segala bagian, meracap mantra yang masih penuh dendam.

Aku tetap bergeming. Berusaha meredam kegaduhan yang diciptakan mendung dengan membenturkan sungguhan kepala ke tembok, berharap sakitnya bisa menyaingi kesakitan semu yang ditimbulkan kontemplasi mendung dan guntur. Tetap tidak ada air mata. Mendung konsisten tidak mau luruh menjadi badai atau sekedar gerimis.

Sekian belas tahun dia merapal mantra di kepala, membisikan dendam untuk membuat perhitungan ternyata belum cukup mujarab. Aku hanya diam ketika melihat laki-laki itu seperti dia juga yang bingung melihatku. Mungkin dia lupa, mungkin ingatannya sudah kopong digerus putaran waktu. Aus. Tapi aku tidak akan pernah lupa, masih kuingat semuanya bahkan dengan detail. Dia tetap menjadi bagian masa laluku. Akan tetap begitu.

Laki-laki yang mencintai kakakku juga mencintai aku. Itu diucapkannya berulangkali. Aku tidak mengerti, otak polosku tidak dapat mencerna semuanya. Terlalu ruwet untuk menguntai benang yang terlanjur kusut bagi seorang bocah yang belum mengerti apa-apa. Ketika aku bertanya kenapa, dia tidak mau menjelaskan. Sulit untuk dipaparkan katanya. Ketika aku bilang itu tidak boleh dilakukan, dia bilang aku dan kakakku berbeda sehingga boleh baginya mencintai kami berdua. Aku tidak cukup paham apa maksudnya boleh mencintai kami berdua. Hanya saja semenjak dia hadir, aku merasakan lagi kasih sayang seorang laki-laki. Seperti ayah.

Sebetulnya di satu sisi aku sudah memaafkannya. Berusaha memaafkan tepatnya, karena semakin dewasa aku semakin sadar bahwa aku harus lepas dari pasung masa lalu. Sepahit apapun itu. Melakukan perhitungan tidak akan menghilangkan noktah yang sudah terlanjur tergambar, membuat pembalasan hanya akan membuatku selalu hidup di masa lampau. Terbelenggu. Tapi mendung tidak setuju. Dia yang sudah menjelma menjadi sebagian jiwaku tetap menuntut untuk menuntaskan dendam. Merinci apa-apa yang harus laki-laki itu bayar atas apa yang pernah dilakukannya.

“Coba kamu pejamkan matamu dan jangan berteriak, maka kamu tidak akan merasakan sakit” begitu katanya ketika pertama kali melakukan sesuatu yang menurutku baru. Tidak pernah sebelumnya aku diperlakukan seperti itu oleh laki-laki, tidak juga oleh ayah yang mencintaiku. Tapi dia bohong, rasanya tetap sakit di bawah sana. Tidak kuat aku menahan kesakitan itu dan aku akhirnya berontak. Tapi dia terlalu kuat untuk aku lawan. Semakin berontak maka semakin keras dia mencengkram. Semakin meronta, dia semakin puas menari di atas kesakitanku. Aku hanya bisa menangis, dan mungkin itu tangisanku yang terakhir.

“Mengapa kamu menyakitiku?” tanyaku ketika tariannya telah selesai. Tarian yang diakhiri dengan lenguhan panjang dan perubahan tubuhnya yang menjadi lunglai.

“Itu bukan menyakiti. Itu bentuk rasa sayang aku padamu” begitu katanya sambil mengelus kepalaku. “Aku juga melakukan hal yang sama kepada kakakmu. Karena aku menyayangi kalian berdua. Dan lihat, kakakmu tidak pernah bercerita pada ibu, jadi kamupun tidak boleh bercerita pada ibu atau pada orang lain” Seingatku kakak memang tidak pernah bercerita tentang apapun kecuali tentang kecintaannya kepada laki-laki yang ternyata juga mencintaiku.

“Tapi itu menyakitkan. Bukankah kata ibu sayang itu tidak pernah menyakiti” protesku yang masih tidak mengerti mengenai konsep sayang yang laki-laki itu jelaskan. Otakku belum tumbuh maksimal untuk mencerna sesuatu yang diluar jangkauan nalar. “Aku tidak mau lagi disakiti. Aku tidak mau lagi disayangi dengan caramu”

“Makanya aku menyuruhmu memejamkan mata. Dengan terpejam maka kamu tidak akan merasakan sakit. Tapi baiklah, aku tidak akan menyakitimu lagi” Itu janjinya. Tapi dia lagi-lagi berbohong, karena dia tetap melakukan ritual tariannya yang menyakitkan itu. Malah semakin menjadi. Aku berontak, tapi dia seperti kemasukan arwah setan. Ketika aku meronta maka tidak segan dia membekap mulutku bahkan mengadu-ngadukan kepalaku ke dinding kamar tidurnya. Aku terlalu kecil untuk melawan tubuhnya yang kekar. Aku terlalu lemah untuk menyaingi tenaganya yang kuat terpompa.

Aku sudah tidak kuat lagi karena semakin hari dia semakin menjadi. Di hadapan ibu dia tetap menjadi laki-laki baik seperti dulu ketika pertama kali mengisi paviliun di rumahku. Di hadapan kakak dia tetap menjadi kekasih tanpa cela. Tapi di mataku dia adalah raksasa yang setiap saat siap memangsa. Ingin aku bercerita kepada ibu, tapi aku takut. Aku tidak ingin ibu marah karena aku menolak disayangi oleh laki-laki itu. Aku mendapati jalan buntu, tidak tahu harus bagaimana berlaku. Ingin rasanya pergi tapi tak tahu harus kemana. Aku putus asa. Tiba-tiba aku teringat adegan di film yang aku lihat tempo hari. Dengan pisau berkarat yang biasa ibu gunakan untuk memotong anggrek, aku mengerat nadiku sendiri.

Mendung masih marah. Dia masih berteriak-teriak di ruang kepalaku, membuatnya berdenyut. Dia mengutukiku yang tidak bertindak ketika akhirnya aku bertemu lagi dengan laki-laki itu. Laki-laki yang dulu ketika aku dilarikan ke rumah sakit ternyata juga melarikan diri. Entah kemana. Mendung mengacak-ngacak tatanan dalam kepalaku. Merombak total konsep memaafkan yang selama ini aku rintis perlahan. Dia tidak suka aku tetap menjadi lemah, katanya sudah terlalu lama dia membiarkan aku dipenjara ketidakberdayaan. Katanya lagi dia tidak mungkin meledak sendirian menjadi badai karena dia butuh sarana. Aku.

Seperti tidak mau menyerah dia terus membabi buta memberondongku dengan rapalan penuh makian. Tidak hanya di kepala dan telinga, kali ini dia menyelusup ke pembuluh arteri kemudian menyumbatnya disana-sini. Aliran darah yang tidak lancar membuatku seperti akan meledak. Hanya merah yang kulihat disana sini, menggenangi rongga-ronga dalam tubuhku menjadikannya seperti kubangan. Nafasku makin menderu, tidak kuat lagi rasanya menahan amarah yang diakibatkan mendung. Diujung keputusasaan akhirnya aku menyerah, takluk pada apa yang ditawarkannya.

Aku mengambil pistol yang disodorkan mendung. Gemetar. Tidak pernah terbayangkan kalau akhirnya aku menggadaikan keberanianku pada amarahnya. Terbujuk pada apa yang sudah dia bisikan sejak nadiku tersambung kembali belasan tahun lalu.

“Tidak perlu ragu. Kamu cukup mengarahkan pistol itu tepat ke jantung laki-laki itu dan menarik pelatuknya. Sesederhana itu. Jangan takut, aku akan selalu disampingmu meniupkan keberanian agar kamu tidak lagi mundur” Mendung kemudian mengelusku dan mengecup keningku. Kecupan pertama sejak aku bersahabat dengannya dulu. Aku hanya menunduk kemudian mengangguk.

“Satu hal yang ingin aku tanyakan, kenapa kamu tidak pernah memintaku untuk memberikan air mata? Kamu bisa memaksa, tapi kamu tidak pernah melakukannya. Kenapa?” Dengan ujung tangannya dia mengangkat daguku sehingga kami berhadapan.

Lama aku terdiam. Sejurus kemudian aku menatap tepat ke arah matanya “Ibu bilang, laki-laki tidak boleh cengeng”

Serpong, 4 Februari 2011

7 komentar:

Poppus mengatakan...

aaah like this!!!

you are a very good story teller

Unknown mengatakan...

Aku hampir menjadi bocah itu. Tapi Tuhan berkehendak lain.

Apisindica mengatakan...

@poppi: aiiih, dipuji penulis sekaliber poppi suatu kehormatan loh..

makasih yah sistah...

@andre: Tuhan bekerja dengan caranya sendiri, dan selalu indah!

Natta mengatakan...

Ehmm...
Kenapa tta dari awal udah menganggap kalo si "aku" itu laki-laki ya?
hehehe

Apisindica mengatakan...

@natta: Mungkin karen kamu merasa berkaca kali. uups.. hihihihihi

nita mengatakan...

Wuaaah ini juga crt yang apik :)

Apisindica mengatakan...

@nita: terima kasih...