Halaman

Jumat, 14 Januari 2011

Berujung Terang

Bukankah sudah pernah kukatakan sebelumnya kalau betapa beruntungnya dirimu? Kamu beruntung karena lebih dahulu menemukan terang. Keluar dari lorong gelap yang memabukkan, mencapai garis akhir yang menjanjikan sebuah kepastian.

Pasti tidak mudah, apalagi senandung tetaluan dari lorong gelap itu senantiasa mengalun. Memanggil untuk sekedar menoleh ke belakang, menghadirkan ribuan coba yang kadang menggoyahkan. Tapi lihat, sejauh ini kamu tetap kuat bertahan. Tidak goyah meski untuk sekedar bermain di tepi himpunan bahkan dengan orang-orang yang dulu sempat terlingkarkan. Bagaimanapun itu bentuk godaan, jadi aku sangat paham kalau kamu sama sekali tidak ingin bersentuhan. Beririsan dengan penggalan masa lalu yang pastinya masih menggoda untuk dijajal.

Aku kagum pada pendirianmu. Kukuh berpegangan pada janji yang pernah terlontar. Terpatri pada kata yang sudah diucapkan sebagai sumpah. Sudah sepantasnya kamu bersikukuh, karena imbalannya adalah kebahagiaan yang hakiki. Bukan hasil reka-reka seperti yang dijanjikan ketika kita berjalan di dalam terowongan itu. Gelap yang tergambar mungkin menjanjikan kebahagiaan, tapi itu semu. Akan berakhir dengan keambiguan.

Sekali lagi aku katakan betapa beruntungnya dirimu.

Kini kamu sudah bersahabat dengan cahaya. Tak perlu lagi naungan yang justru mengaburkan setiap bayangan yang semestinya tergambar dengan sempurna di halaman. Tidak perlu lagi ada keragu-raguan bahkan ketakutan untuk menjadi kelabu. Masa itu sudah berlalu, digilas putaran langkah yang membebaskan. Mengenyahkan belenggu yang memberongsong ketidakmampuan. Semua gelap sirna, diganti pencerahan. Aku bahagia karenanya, sebab sahabatku kini tak perlu lagi tertatih. Tak perlu lagi meraba-raba. Semua sudah jelas terpampang. Tanpa keraguan.

Jauh di dalam hatiku, aku iri padamu. Terang lebih dahulu menyambangimu, sementara aku di tingkat kesadaran yang paling kecilpun masih sedemikian betahnya dininabobokan abu-abu. Bukan tidak ingin keluar dari terowongan, hanya saja semua kemungkinan jalan yang terpampang belum mengantarkanku pada ujung yang berakhir pada terang. Masih buntu yang aku temui di setiap titian. Mungkin waktuku belum tiba. Belum saatnya aku bermuara pada sebuah kepastian.

Tidak pernah kusangka bahwa aku akan menerima lagi sapa darimu yang telah dimahkotai kebebasan. Tidak bisa berucap pada awalnya, semua kata diberangus bahagia mendengar apa yang sekarang kamu tengah alami. Jawaban atas semua doa sekarang terpapar jelas di beranda rumahmu. Menanti untuk direalisasi satu demi satu. Disyukuri sebagai anugerah dan berkah yang tak perlu lagi sangsi untuk direcap. Aku ikut bahagia.

Sahabat, meskipun ternyata kita tidak lagi bisa bersinggungan. Aku tetap mendoakan, agar apa yang telah kamu perjuangkan bisa terus diretas sampai ujung batas pencarian. Aku sadar benar bahwa apabila diantara kita kemudian beririsan, terlalu riskan untuk mempertaruhkan apa yang sudah kamu dapatkan. Aku mengerti. Tanpa kamu mintapun aku sudah membiasakan diri. Merilis sedikit demi sedikit ikatan batin yang dulu pernah direkatkan.

Aku bahagia, bukan karena terang yang sudah kamu dapatkan. Aku bahagia karena ternyata akhirnya kamu bahagia.

Ditulis untuk sahabatku si peranakan Padang-Arab dengan tinggi badan 180 cm. Jauh disini, aku merindukanmu.

4 komentar:

Poppus mengatakan...

Ini respon dari kiriman gw kemaren itu ya? heuheueh

Apisindica mengatakan...

@popus: iyaaaaa! :) emailnya udah diforward ke dia kaaaan? makasih lho yah!

sinmau mengatakan...

Daer, gw juga kangen lucky... hiks... hiks... hiks :'(

Apisindica mengatakan...

@sinmau: mari kita berdoa demi kebahagiaannya!