Halaman

Jumat, 19 November 2010

Turus Waktu

Bukankah cinta itu seharusnya membebaskan? Memberangus semua perbedaan menjadi semacam jembatan dari dua kepentingan. Membebaskan hati yang terpasung ketidakberdayaan, membuatnya menemukan jalan pulang.

Aku melihat jalanan terpampang di hadapan. Tidak mulus memang karena masih dapat kuinderai adanya terjal dan kerikil yang menghadang, tapi aku merasa bahwa itu adalah jalan pulang. Jalan yang akan mengantarkanku pada ujung sebuah pencarian. Jalan yang akan membuatku terbebas dari gelap berkepanjangan. Aku hanya mengharapkan adanya rumah di akhir jalan yang tak lagi temaram. Rumah tempat merebahkan semua bentuk kebahagiaan.

Bukannya cinta itu seharusnya membebaskan? Membuat jernih semua kalut yang menggelayut muram. Menjadi sebuah pemberhentian untuk sekedar berteduh kala hujan yang datang tanpa pesan. Memberi naungan.

Cinta membebaskan, bukan membelenggu. Kalaupun cinta itu membelenggu, pasti karena ulah waktu. Seringkali apa yang disebut waktu tidak berpihak pada sesuatu yang sedang kita anyam. Berdiri bersebrangan seakan menantang untuk ditaklukan, memberi rintang yang seharusnya bisa dienyahkan ketika kita berjuang.

Sekarang waktu sedang tidak berpihak kepadaku. Dia bersekongkol dengan jarak memberiku batasan dalam ruang yang menyesakan. Waktu seperti memperlambat putarannya, berjalan mungkin tanpa awahan sehingga lebih lama sampai tujuan. Aku pikir hanya jarak yang membelot, tapi ternyata waktu juga. Keduanya berkontemplasi, memberiku sebuah arena untuk berjuang. Memaksaku untuk beringsut melawan.

Bukankah cinta itu seharusnya membebaskan? Memberi kelonggaran dalam mengekspresikan apa yang disebut kasih sayang. Menyibak aturan-aturan normatif yang seringkali menyusahkan. Membenarkan atas semua bentuk usaha yang dilakukan berdasar keyakinan. Yakin kalau semua halang rintang bisa dilalui dengan benar.

Aku ingin cinta segera membebaskanku dari jerat waktu yang mengungkung. Waktu yang memaksa aku untuk membuat turus dari hari yang berlalu di dinding reka imaji. Setiap hari goresan turus bertambah satu, memapah sebuah perjumpaan yang dirasa langka. Perjumpaan yang baru akan terlaksana setelah hitungan turus genap sempurna. Aku setia menanti sambil mengores turus demi turus, karena aku yakin bahwa ini memang sudah jalannya. Ditasbihkan untuk aku lalui bersamanya.

Waktu, aku tahu kalau kamu hanya memainkan perananmu. Karenanya aku tidak akan menggugat, tidak akan pula menyumpah. Aku hanya minta satu hal, temani aku melewati detik. Menjemput setiap pertemuan yang pastinya akan berjarak. Jadilah saksi dari setiap turus yang kugores, turus yang juga menggambarkan kerinduanku yang mendalam.

Sayang, aku rindu padamu. Dan apabila kamu bertanya seberapa aku merindukanmu, genggamlah jantungku dan hitung denyutannya. Sebanyak itulah aku merindukanmu.

3 komentar:

BaS mengatakan...

Hey, lama tidak berkunjung ke blog apisindica ternyata lebah sedang diuji sama jarak dan waktu ya.....LDR itu emang susah, tapi bukan berarti ga bisa berhasil khan? Good luck ya! Semoga langgeng dari sekarang sampai 50 tahun lagi!! Hohoho *berasa yuni shara ma raffi ahmad

Alil mengatakan...

Tuhhhh kaaannn beneeerrrr...
Akhirnya..
LDR itu membelenggu mu..., dear Apis...

Apisindica mengatakan...

@BaS: hehehe, amiiiiiiin. Doakan langgeng yah....

@alil: membelenggu tapi menyenangkan kok Lil. Aku jadi belajar banyak hal. sabar, ikhlas, nrimo. Pokoknya menyenangkanlah...

doakan aku kuat yah....