Halaman

Senin, 07 Juni 2010

Masa Lalu

Kami duduk berhadapan dalam dimensi yang tidak lagi sama. Hening seperti membelenggu kata dari mulut kami, membungkam setiap aksara yang seharusnya lancar tertata bagai prosa. Suara detak jantung mungkin bisa terdengar apabila disimak betul, saling berpacu dalam putaran waktu yang berputar tak mau diam.

Saya berusaha mencairkan suasana, saya menawarinya lagi minuman yang sudah terhidang di atas meja. Dia tetap menggeleng. Sesaat kemudian dia menatap tepat ke arah mata saya. Tatapan yang justru saya rasakan menghujam dada, mengoyaknya menjadi serpihan-serpihan yang tidak bisa saya gambarkan rasanya. Saya hanya merasa sakit. Saya sakit melihatnya dalam keadaan seperti ini.

Tolong jangan menangis! Saya membatin. Saya tidak tega melihatnya menitikan air mata. Cukuplah saja beberapa malam belakangan ini saya mendengarnya sesenggukan ketika kami tidur saling memunggungi. Tangisnya selalu tertahan, tapi saya bisa mendengarnya dengan jelas, dan itu meremukan pertahanan saya. Meruntuhkan ego saya sebagai seorang laki-laki.

“Saya butuh penjelasan!” dia berkata sambil terus memandangi saya yang seakan terlumat dalam samudera beriak matanya. “Saya hanya tidak ingin dibohongi”

Saya semakin kehilangan kata. Saya dilanda kebingungan, tidak tahu harus memulai dari mana. Saya tidak ingin salah merunut reka ulang banyak hal yang sekarang justru digugat paksa. Beragam kenangan yang sudah saya simpan jauh dalam kotak memori yang mungkin berdebu harus saya bongkar kembali. Sebetulnya saya ingin lupa mengenai banyak hal di masa lalu meski itu semua mendewasakan. Saya sudah berusaha memulai dari awal lagi ketika memutuskan terikat padanya. Seseorang yang justru memaksa saya sekarang untuk terhempas ke masa dulu.

“Saya menunggu!” ujar dia. Saya seperti tiba-tiba ditarik untuk kembali menapak bumi. Khayalan saya tentang banyak kejadian seperti dibelesakkan ke dalam dasar bumi yang tak berujung.

Saya memberanikan diri untuk mulai mengurai benang-benang ingatan. Saya tidak merasa bahwa yang akan saya lakukan adalah benar. Menguak tabir masa lalu justru akan membuat kami, saya dan dia berada dalam arah yang berlawanan. Jarak yang terbentang mungkin tidak akan bisa dijembatani, walaupun saya yakin kalau dia sudah dewasa dan bisa menerima penjelasan saya tanpa menghakimi.

“Saya seperti halnya kamu pasti punya masa lalu. Dan kita tidak hidup di masa lalu karena kita senantiasa melangkah. Meniti putaran waktu menuju apa yang kita sebut masa kini atau masa depan. Masa lalu saya mungkin muram, tapi semua tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Masa lalu saya mungkin menjadikan saya seorang pendosa yang tidak hanya hina di mata Tuhan tapi juga manusia, tapi masa lalu itu yang membentuk saya menjadi seperti sekarang. Seseorang yang kamu kenal, seseorang yang akhirnya menjadi tempat berlabuhmu selamanya”

“Jangan mempunyai pikiran kalau saya tetap berkubang di masa itu, saya sudah berubah semenjak saya bertemu kamu. Saya memulai titik nol lagi di hari pernikahan kita karena saya merasa kalau kita punya masa depan, dan saya beruntung bertemu kamu. Kamu adalah alasan saya untuk selalu menjadi lebih baik. Kamu adalah alasan terbesar saya untuk membuang masa lalu itu. Andai saja memori itu bisa dihapus dengan mudah maka saya rela menukarkan apa saja untuk melenyapkan selamanya”

“Masa lalu saya mungkin tidak bagus menurutmu, tapi apakah itu mempengaruhi rasa sayang dan cinta saya sama kamu? Tidak. Masa lalu itu hanya sepenggal jalan hidup yang justru membawa saya kepadamu. Menghantarkan kapal saya untuk menemukan dermaga terakhirnya. Dan sekalipun saya tidak pernah ingin kembali ke masa lalu itu. Menengok sesekali mungkin saya lakukan, karena kadang saya tergelitik untuk sekedar menoleh, tapi hanya itu. Kenapa? Karena sekarang saya sudah punya kamu. Istri yang harus saya jaga dan saya pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak”

“Percayalah, apapun masa lalu saya, saya sudah meninggalkannya. Kalaupun saya tidak menceritakannya dari awal karena saya merasa bahwa itu bukan lagi hal penting yang harus diumbar. Bukan sesuatu yang pantas untuk dijelaskan lagi. Saya tidak bermaksud membohongimu, jadi kalaupun sekarang kamu tahu tentang bagaimana saya dulu, saya minta maaf. Semua masa lalu itu memang tidak bisa dihapus, tapi saya bisa berubah”

“Jadi benar kalau dulu sebelum menikahi saya kamu adalah seorang…….?” Peluh membasahi sekujur tubuh saya, sesaat sebelum dia menuntaskan pertanyaannya saya mendengar bunyi yang memekakkan telinga. Saya membuka mata dan mengangkat badan, bunyi alarm handphone meraung-raung di atas meja.

Sial, ternyata saya sedang bermimpi.

Cerpen ini saya persembahkan untuk banyak orang di luaran sana yang sudah mengambil langkah untuk keluar dari masa lalunya yang kelam dan menata hidupnya yang baru. Menceritakan atau tidak masa lalu kita kepada pasangan adalah pilihan, dan saya tahu pasti banyak konsekuensi dari hasil pilihan tersebut. Selamat menikmati konsekuensi dari pilihan-pilihan itu.

8 komentar:

Ali Masadi mengatakan...

barlah masa lalu menjadi kenangan.. yg terpenting apa yg akan menjadi masa depan..

Farrel Fortunatus mengatakan...

jangan pernah kita menyebut kenangan itu sebagai 'masa lalu yang kelam'. bagaimanapun kita telah mereguk kenikmatan dan keindahan didalamnya. tidak perlu mnyesali sesuatu yang telah terjadi,tapi tariklah suatu hikmah dan jadilah bijak dari setiap kejadian itu. takkan ada masa depan tanpa hari ini, dan takkan ada hari ini tanpa masa lalu. masa lalu adalah bekal untuk masa depan... yang menjadikan kita lebih kuat dan lebih tangguh!!! (kok jadi serius amat ya? qiqiqi...)

Linda Tan mengatakan...

can't say anything selainstiap orang bertanggung jawab atas masa lalu dan masa depan mereka sendiri, Baik dan buruknya, tanpa ada penyesalan.

Apisindica mengatakan...

@ali: itulah kenapa disebut masa lalu. karena isinya hanya kenangan.

@Farrel: setuju!!! bagaimanapun masa lalu yang menjadikan kita seperti sekarang. Dengan melewati masa lalu itu kita menjadi belajar menjadi lebih kuat dan berarti.

@linda: betul, penyesalan tidak akan merubah apa-apa. masa lalu akan tetap menjadi masa lalu. selamanya akan tetap begitu.

-Gek- mengatakan...

sekarang yg penting liat ke depan aja Bro.. :)

Apisindica mengatakan...

@gek: i know. hidup itu maju tidak surut ke belakang, makanya jangan selalu menyiksa diri dengan senantiasa menoleh ke belakang. hidup dalam penyesalan tidak akan menjadikan kita orang yang jauh lebih baik!

thanks yap!

Anonim mengatakan...

setelah gw lihat tanggal posting ini, gw sadar.

just curious, will you follow me?

Apisindica mengatakan...

@anonim: i will...