Pernah marah sama Tuhan?
Tidak
Pernah mempertanyakan?
Saya sudah berhenti
Kenapa?
Mempertanyakan tidak membuat saya menjadi siapa-siapa
Lantas?
Tidak ada lantas. Saya masih tetap hidup (mungkin) bahagia
Hidup dalam penyangkalan?
Tidak ada yang saya sangkal. Saya hanya menjaga perasaan
banyak orang.
Apakah itu kewajiban?
Bukan. Saya merasa cukup saya saja yang menanggung apa yang
tidak perlu mereka tanggung.
Ah lagi-lagi kamu menyangkal.
Mereka bilang saya hidup dalam penyangkalan padahal saya
tidak tahu apa yang saya sangkal. Takdir Tuhan? Tidak. Saya tidak menyangkal
itu. Tidak lagi. Dulu mungkin pernah. Tapi sekarang tidak. Buat apa disangkal
kalau ternyata saya bisa berdamai. Buat apa melelahkan diri dikejar aktivitas
mempertanyakan kalau sebetulnya saya sudah mengantongi sebuah jawaban.
Mereka bilang saya menyerah. Tidak berusaha menjadi siapa
saya yang seharusnya. Bagaimana mereka bisa sebegitu yakin padahal saya juga
tidak tahu harus menjadi apa saya seharusnya. Bisa jadi mungkin saya memang
menyerah, tidak lagi bertarung untuk hal-hal yang awalnya saya amini. Tapi
waktu mengajarkan itu. Bagaimanapun lantang menyuarakan ternyata tidak membuat
saya terbebaskan. Saya masih seperti saya yang dulu. Hidup (mungkin) bahagia
dengan banyak ketakutan di kepala.
Saya tidak bisa menyenangkan semua orang. Memuaskan
pihak-pihak yang merasa memiliki kewajiban mengingatkan saya untuk terus
bertahan pada apa yang sebetulnya tidak saya yakini dengan benar. Kata mereka
saya disuruh bertanya pada hati, padahal mereka tidak tahu hati saya sudah
sedemikian bebal. Kapalan karena ditindih berat beban dari awal saya
menyuarakan kegamangan.
Tapi apa yang saya dapatkan? Tidak ada kecuali kesakitan.
Penderitaan yang ternyata mendewasakan. Pelajaran yang membuat saya belajar
untuk bungkam. Membekap suara yang pernah lancang terlontar. Mengikat keliaran
imaji pada ranah yang dibuat oleh sebagian besar orang yang merasa dirinya
Tuhan.
Apakah karena saya melakukan itu semua lantas saya
dikatagorikan hidup dalam penyangkalan? Entahlah. Saya juga tidak tahu.
4 komentar:
Menyangkali diri sendiri itu memang melelahkan. Tapi kadang itu memang harus kita lakukan demi banyak hal.
@riyanto: dan seperti aku bilang, aku tidak menyangkal apapun. Aku menerima diriku apa adanya. Kemarin, sekarang dan (mungkin) nanti.
Apis kan terkenal dengan jawaban ambigu-nya he he he...
diam, seringkali disalah artikan orang sebagai; cuek, pasrah, marah, sombong, apatis, capek, dll. Semua tergantung persepsi yang melihatnya, tapi yang tau yang sebenarnya adalah diri kita sendiri.
@farrel: hahaha, masa sih terkenal karena jawabannya yang ambigu?? :P
setuju, kadang kita hidup dalam perspektif orang lain yang sering kali salah.
Posting Komentar