Pernah suatu hari beberapa bulan yang lalu di shout box blog
saya ada yang nulis “Ini blog gay bukan sih?”
Kaget. Waktu itu saya tidak bereaksi apa-apa tapi kemudian
saya bertanya apakah tulisan saya
terlalu “girly” untuk seorang laki-laki? Mungkin jawabannya iya. Laki-laki
berperawakan lumayan besar menulis dengan bahasa mendayu-dayu berpedoman pada
kaidah diksi dan berlindung dalam makna-makna terselubung pasti akan dipikir
kemayu. Entah kemudian itu dianggap sebagai gay atau bukan. Siapa yang salah?
Saya? Bukan. Yang salah kultur kita yang mengkotak-kotakan jenis kelamin
berdasarkan patokan yang entah dari mana juga awalnya. Laki-laki itu harus suka
warna biru. Perempuan itu merah. Dan pink untuk banci. Stigma sudah terpola
turun menurun.
Soal tulisan-tulisan saya, malah banyak yang mengira kalau
saya adalah seorang perempuan. Perempuan yang dianiaya takdir dan jalan
kehidupan. Perempuan yang menulis dengan hati berdarah-darah atau paling tidak
menulis dengan air mata yang menetes perlahan. Saya tertawa. Sungguh. Tidak ada
niatan dari awal untuk membuat pencitraan semacam itu. Saya hanya menulis yang
kemudian menemukan pola tersendiri. Sebuah ciri. Cara yang membuat saya nyaman.
Cara yang membuat saya menulis mengalir seolah tanpa beban.
Salah saya. Dari permulaan tulisan-tulisan saya memang
ambigu sudut pandangnya. Orang yang membaca bisa mengartikan apa saja.
Membentuk karakter saya seperti siapa saja. Bisa perempuan, bisa laki-laki atau
bahkan bisa diantara keduanya seperti yang dipertanyakan seseorang di shout box
taman aksara. Apa saya keberatan? Tidak. Apa saya kemudian murka? Lebih tidak
terpikirkan.
Orang bilang tulisan saya memiliki ciri. Ciri yang saya
temukan ketika saya terus berjalan. Menuliskan kisah-kisah pendek yang saya
rasakan atau sesuatu yang muncul begitu saja dalam pikiran. Ciri yang kemudian
mengantarkan saya pada nyaman dan kekhasan. Pernah seorang sahabat menyampaikan
keberatannya ketika saya menulis tidak dengan “cara” saya. Katanya di tulisan
tersebut saya tidak menjadi saya. Padahal saya ingin belajar menulis dengan
banyak ragam. Mengkayakan kemampuan dalam menceritakan apa yang saya rasakan.
Tapi dia benar, cara yang lain itu tidak membuat saya nyaman karenanya saya
kembali lagi ke titian awal. Menulis dengan taburan diksi. Menjadi diri saya
sendiri.
Dan hari ini tempat saya belajar dan kemudian menemukan ciri
tengah berulang tahun. 5 tahun silam, sebuah taman dibangun sebagai tempat
bercerita. Apa saja. Dari mulai hal konyol hingga percintaan dan penderitaan,
meski dua hal yang saya sebutkan belakangan adalah tema yang paling sering
ditampilkan. Di taman tersebut, apisindica si lebah madu mengalami
berulang-ulang metamorfosis sempurna, membentuknya menjadi pribadi yang
(mudah-mudahan) tangguh. Tidak hanya dalam menulis tetapi juga dalam kehidupan
nyata di luarnya.
5 tahun bukan waktu yang sebentar. Ratusan tulisan sudah
terpampang dihidangkan. Tidak pernah terpikir kalau akan dibaca oleh sekian
banyak orang. Tidak pernah terbanyang lewat tulisan, saya mendapatkan sekian banyak
teman. Sahabat yang menjadi alasan terkuat untuk saya tidak berhenti mengurai
cerita. Tidak lantas mati dalam menuliskan apa saja. Kalianlah alasan kenapa
taman aksara masih ada sampai sekarang.
Memang saya tidak seproduktif dulu. Kesibukan memberangus
banyak alur cerita yang temanya sebetulnya sudah ada di kepala. Terlalu sering
bergulat dengan tulisan ilmiah, membuat otak saya buntu menulis sesuatu di luar
itu. Tapi saya berusaha. Tetap merawat taman aksara lewat kedatangan yang tidak
bisa dipaksakan. Tidak rutin sehingga saya tidak bisa menjanjikan kapan
bougenville di pojokan taman mengeluarkan kembang, atau kapan sakura stek-kan yang
saya curi batangnya dari halaman kampus ranggas hingga bunganya berserakan.
Saya tidak bisa menjanjikan. Tapi saya pasti bakal datang.
Di ulang tahunnya yang ke-5 seperti biasa taman aksara ingin
mengucapkan banyak terima kasih untuk orang-orang yang telah melungkan waktu
datang menyambangi. Orang-orang terkasih yang sering menjadi sumber inspirasi,
sahabat, kawan bahkan lawan. Kalian semualah yang menjadikan semuanya indah.
Kalianlah yang membuat matahari di taman aksara tidak pernah bosan menyinari.
Kalianlah yang membuat metamorfosis apisindica terus berlangsung tak kenal
perubahan iklim alam.
Terima kasih sudah menjadi saudara dengan cara yang tidak
biasa. Terima kasih sudah banyak mengapresiasi dan mengkritisi. Apisindica
bukan penulis profesional, jadi mohon dimaafkan apabila banyak yang kemudian
tidak berkenan. Baik dalam hal bentuk penyampaian, ataupun dalam hal tema yang
dikembangkan. Apisindica hanya berusaha menuliskan apa yang sedang dia rasakan.
Bergumul dengan sebegitu banyak perasaan yang membuatnya terus mensyukuri apa
yang sudah dikaruniakan Tuhan.
Apisindica juga bersyukur memiliki kalian. Sumber kehidupan
sebuah taman yang semoga tidak pernah pernah kerontang dilindas pergerakan
zaman, sehingga masih bisa bertemu dengan hari ini di tahun-tahun mendatang.
1 komentar:
Selamat ultah ya ..
Ciri jangan dihilangkan karena itu menjadi character identity kita. Bayangkan kalau kita identity malah menjadi tidak khas kita. Tidak merasakan apa yang kita ekspresikan. Jadi tetaplah berkarakter sesuai ciri kita yang sudah di berikan Tuhan.
Mengenai gay atau bukan, percaya lah itu bukan karakter. Itu pencitraan yang kalau diyakini nanti malah jadi beneran. Bisa liat kan SBY? Banyak pencitraan maka lama kelamaan org lain melihatnya seperti yg ingin dicitrakan oleh SBY hehehe
So . Congrats .. keep on your writing style
Posting Komentar