Di sebuah gerai kopi yang nyaman seorang laki-laki duduk
sambil sibuk mengetik di atas tuts-tuts keybord komputer jingjingnya. Dia
sendirian. Di atas meja bundar di depannya hanya ada komputer, gelas plastik
berisi es mocha milk kesukaannya dan sebuah asbak tak berpenghuni. Asbak yang
merepresentasikan dirinya. Sendirian. Dan kosong.
Entah apa yang tengah dituliskannya di lembaran kertas putih
yang kadang terisi beberapa kalimat tapi kemudian kosong lagi karena seketika
dipijitnya ctrl+a kemudian del. Sepertinya dia sedang kebingungan. Gagal
menuliskan sesuatu yang tengah berkecamuk di dalam pikirannya. Atau
jangan-jangan dia sedang berkutat dengan sebuah pekerjaan kantornya. Tapi ini
malam minggu, dan laki-laki itu bukan karyawan yang super sibuk sampai harus
bekerja di malam yang katanya banyak bergelimpangan cinta.
Lama dia terdiam. Sinar dari layar komputer menerangi hampir
seluruh wajahnya. Tidak tergambar raut kekalutan seperti saat dia terburu-buru
menghapus beberapa kalimat yang baru saja diketikannya sebelum membentuk sebuah
paragraf utuh. Tidak juga terlihat sebuah keputusasaan padahal beberapa saat
sebelumnya dia menghela nafas panjang sebelum menyeruput minuman dingin
favoritnya. Dia nampak biasa saja. Hanya terlihat sebagai laki-laki yang menikmati
malam minggu sambil berusaha menuliskan sesuatu yang mungkin dia juga tidak
tahu. Sendirian.
Laki-laki itu seperti memberikan pengumuman tidak tertulis
dengan bunyi “apa yang salah dengan menghabiskan malam minggu sendirian?” Dia
seolah tidak peduli dengan orang yang berlalu lalang sambil bermesraan atau
sekedar berpegangan tangan. Baginya mungkin itu hanya sebuah tontonan gratis
yang terlalu diobral. Romantisme yang diumbar seakan butuh pengakuan kalau
mereka adalah pasangan. Picisan.
Mendadak dia bersandar. Merebahkan punggungnya yang sedikit
terlihat tegang di bantalan kursi yang semula berjarak. Ada sebuah tanda tanya
di wajahnya. Tanda tanya yang mungkin bisa dengan jelas terlihat oleh orang
yang memperhatikannya dengan seksama. Tanda tanya di akhir pertanyaan yang
mungkin menggelumbung di dadanya. Pertanyaan yang kemudian dijawabnya dengan
cara berlari. Laki-laki itu seperti berlari dari berondongan pertanyaan kenapa
di malam minggu seperti ini dia hanya berdiam di rumah dan sendirian dari para
handai taulan. Karenanya dia berlari. Menghabiskan kesendirian di gerai kopi
favoritnya. Tempat yang dia anggap aman untuk terlihat seperti mencari
kesibukan.
Laki-laki itu tetap berada di dimensi yang sama. Sendirian.
Entah itu di rumah ataupun di tempat persembunyiannya sekarang. Bedanya dia
hanya terbebas dari serangkaian pertanyaan yang mungkin memekakkan gendang
pendengaran. Pertanyaan yang laki-laki itu bosan menelannya. Pertanyaan yang sering
kali tidak cukup dijawab hanya dengan diam. Apalagi sekumpulan angka terus
bergerak di lingkaran usianya.
Sementara itu di sebuah dunia paralel, seorang perempuan
berbaju biru yang dipadu dengan celana jins ketat tampak bergelendotan manja pada
tangan kekasihnya. Mereka berjalan bersisian di sebuah pusat perbelanjaan
ternama di kotanya. Tanpa riskan mereka masuk dari satu gerai ke gerai
lainnya sambil terus mempertontonkan
kemesraan. Cinta yang diumbar seolah tidak ada yang keberatan.
Perempuan itu sumringah. Tidak tampak sama sekali sebuah
beban di hidupnya. Bagaimana tidak, di sampingnya ada seorang laki-laki yang
padanya dia menggantungkan banyak pengharapan. Sedih berada jauh dari
jangkauannya karena dia sudah menemukan cinta. Rasa yang dia gadang akan
mengantarkannya pada perasaan pulang. Cinta yang akan menerbitkan sebentuk lain
dari sebuah harap yang selama ini dia bayangkan. Termiliki. Seutuhnya.
Laki-laki di sampingnya terus mengenggam tangan sang
perempuan. Seperti berlekatan kedua tangan itu tidak terpisahkan. Sesekali
laki-laki itu menggoda yang dibalas dengan cubitan manja si perempuan yang
mendarat di perutnya. Laki-laki itu seperti ksatria, tahu betul apa yang
dibutuhkan pujaan hatinya. Sementara si perempuan berlagak jinak, seperti sudah
ditaklukan lewat serentetan kejadian yang melambungkannya ke nirwana.
Mungkin bagi mereka tidak ada istilah malam minggu karena
semua malam adalah serupa. Berisi hanya cinta. Mungkin bagi mereka, entah
perempuan yang berbaju biru dan bercelana jins atau laki-laki yang menjelma
ksatria semua sudah diaturkan Tuhan. Ditulis dalam sebuah perjanjian jauh
sebelum mereka dilahirkan. Sekarang mereka hanya memainkan peran, berusaha
memenuhi perjanjian banyak pasal yang tidak pernah mereka ingat pernah ditandatangani
berbarengan.
Ketidakingatan pada sebuah perjanjian yang dibuatkan Tuhan kadang
menyebabkan seseorang salah mengambil jalan. Salah menterjemahkan bunyi pasal
yang maknanya tidak tersurat secara gamblang. Salah mengejawantahkan arti
karena bunyi dibaca tidak terlalu teliti. Karenanya banyak orang salah meyakini.
Banyak orang salah mengambil titian langkah yang justru berputar padahal tujuan
terpampang jelas di hadapan.
Di gerai kopi yang mulai sepi, laki-laki yang seperti sedang
berlari kembali menuliskan sesuatu di layar komputernya. Lama dia terdiam
setelahnya. Mencermati satu demi satu kata yang dia tuliskan menjadi sepenggal
kalimat lengkap. Terlihat ada sebuah kepuasaan di wajahnya, seperti menemukan
pencerahan. Tangannya menggeser-geser kursor kemudian menghapus kalimat yang
baru saja mengantarkannya pada sebuah kepuasan. Membuat kertas di layar
komputernya kembali putih tanpa coretan.
Sesaat setelah laki-laki di gerai kopi itu menghapus kalimat
yang membuatnya orgasme, tiba-tiba perempuan berbaju biru bercelana jins di
sebuah dunia paralel merasakan sesuatu yang lain di hatinya. Sontak dia
melepaskan genggaman tangannya yang seolah menempel dengan laki-laki yang
selama ini dicintainya. Entah kenapa ada desir lain yang tidak pernah muncul
sebelumnya. Sebuah keraguan yang timbul dalam sebuah keyakinan. Kegamangan yang
hadir dalam sebuah kepercayaan. Absurd.
Laki-laki yang berselimut kesendirian beranjak dari gerai
kopi yang didatanginya sejak dua jam silam. Mulutnya bergumam merapal kembali
kalimat yang sudah dia hapal benar. Kalimat yang tadi dihapusnya setelah
seketika mendapatkan pencerahan. Laki-laki itu terus mengulang dan mengulang.
Dia bilang “Jodohku malam ini mungkin sedang sibuk mengumbar kemesraan dengan
orang yang dia anggap jodohnya”. Lagi-lagi sesaat setelah laki-laki yang nampak
sedang berlari selesai mengucapkan kalimat itu, hati perempuan berbaju biru
bercelana jins di dunia paralel mendadak hangat. Entah karena apa.
2 komentar:
unik :)
nice post
Posting Komentar