Aku hampir lupa bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh
hati. Rasa beraroma kenangan lambat laun terkikis dan menghilang. Tidak ada
lagi jejak yang dapat disesap setidaknya untuk memuaskan perasaan bahwa hati
ini pernah ada yang memiliki. Waktu melunturkan semua, menggerusnya dalam
putaran-putaran yang tidak bisa ditahan. Meninggalkan aku dengan sebuah
perasaan kosong tak berisi yang dulu penuh oleh bilah-bilah kenangan usang.
Kasihan. Mungkin itu yang akan orang bilang ketika
menyaksikan apa yang selalu aku pertontonkan. Sebuah pertunjukan tidak mutu
yang ceritanya selalu itu melulu. Tidak saat hujan ataupun saat kemarau
panjang, yang digugat hanyalah tentang kesendirian. Cerita kesedihan yang
seharusnya bisa dengan mudah dienyahkan. Alur picisan yang membosankan seolah
kebahagiaan menjadi barang langka nan mahal.
Pernah aku mencoba untuk membawa hati ini berlari. Tapi
orang menganggapku bersembunyi. Gentar menghadapi kenyataan, takut menerima
buah perbuatan. Padahal dengan berlari aku pikir aku bisa terbebas dari segala
ketakutan yang mungkin tumbuh menjalar di dalam kepala. Ketakutan tidak
beralasan hanya karena banyak pertimbangan ketika melihat dan menimbang suatu
hal. Dengan berlari aku kira aku bisa lepas dari cengkraman perangkap yang mungkin
sebetulnya aku pasang sendiri.
Sembunyi bukan solusi. Tidak terinderai bukan berarti mati
suri. Kehidupan terus berjalan, tidak peduli hati yang sedang digenggam
mengeluarkan banyak intuisi untuk berhenti. Berhenti berarti mati, dan mati
menandakan harapan sudah tidak dapat lagi dikembangkan. Padahal masih banyak
harapan-harapan yang masih bisa diraih. Masih banyak sejumlah mimpi yang
sepertinya harus direalisasi. Problema hati hanya sekelumit kecil persoalan
yang bisa dihilangkan.
Sayangnya sekecil apapun masalah tentang hati selalu menjadi
batu sandungan untuk sekedar beringsut pergi. Perasaan dikebiri hanya karena
sudah sekian lama tidak termiliki menjadi bilur yang menggoyahkan langkah.
Perasaan diganduli kesendirian justru menjadi halangan terbesar untuk mendekati
tujuan. Tujuan yang belum jelas karena hati sedemikian bebal tidak memberi
ruang untuk mengikhlaskan apa yang sudah digariskan. Takdir yang sudah
ditentukan. Jalanan yang sudah dipilihkan.
Aku hanya tinggal berjalan. Melepaskan banyak keraguan,
menanggalkan semua pertanyaan yang semakin digadang justru akan menjadi
halangan. Biarkan pertanyaan-pertanyaan itu kandas tak bertemu jawaban karena
sunyi mungkin jawaban itu sendiri. Jawaban paling hakiki dibandingkan dengan
berlari atupun sembunyi. Jawaban yang tidak perlu digugat mengenai keabsahannya
tentang benar atau salah yang selama ini berputar-putar memusingkan.
Benar atau salah sudah ada yang menakar. Yang aku perlukan
mungkin hanya sebuah keyakinan bahwa semua yang sudah dan akan terjadi adalah
jalan Tuhan. Sendirian ataupun berpasangan bukan suatu persoalan besar. Langkah
bijak yang seharusnya dilakukan untuk siap menghadapi kenyataan. Berontak hanya
akan membuat riak menjadi gelombang. Pasrah hanya membuat mimpi selamanya
dibingkai imaji tanpa realisasi.
Aku hampir lupa bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh hati.
Kubunyikan genta, kuciptakan keriuhan. Andai bisa sesederhana apa yang aku
lakukan barusan.
1 komentar:
pertamaXXX
Posting Komentar