Pertunjukan tidak selalu ramai pendatang. Ada waktu dimana
pertunjukan seakan bisu, dan meski seperti itu pertunjukan tetap saja digelar.
Dimulai dengan pembukaan, konflik, klimaks dan penutup yang mengharukan atau
bisa jadi menyebalkan. Alurnya selalu begitu, tidak peduli ada yang bertepuk
tangan atau hanya dibalas oleh sunyi yang membahana. Pertunjukan seperti
putaran waktu yang setia berputar pada poros matahari. Berulang setiap hari.
Tanpa henti.
Tujuan awal dari pertunjukan yang selalu diputar hanyalah
sebuah eksistensi. Bermula dari sebuah pertanyaan besar yang tak kunjung
menemukan jawaban yang memuaskan. Kadang jelas seperti tuts piano yang ditekan
teramat dalam, seringnya samar seperti bunyi garputala di ujung getar yang
berangsur diam. Tidak ada jawaban seperti apa yang diharapkan, tidak untuk saat
ini. Mungkin nanti, atau mungkin tidak pernah ada karena keburu mati.
Pertunjukan sudah lama digelar, menyisakan banyak
pengharapan ketika tirai diturunkan tanda sebuah lakon telah usai.
Harapan-harapan yang tidak lebih akan berakhir serupa. Terserak bersama
bangku-bangku yang teronggok sendu. Berdebu. Bangku-bangku yang seharusnya
terisi oleh pengunjung yang dengan sukarela datang tanpa paksaan karena
sebetulnya pertunjukan yang digelar tidak pernah menarik bayaran.
Aku pemeran utama dari pertunjukan yang terus saja diputar
tanpa bosan. Merangkap sebagai pemeran pendukung, pengatur tata lampu,
sekaligus tukang bersih-bersih panggung setelah
pertunjukan usai digelar. Banyak yang datang hanya membawa kesakitan, datang
sekejap kemudian menghilang seperti tidak pernah terekam. Dan aku kembali harus
membersihkan kepedihan yang mereka tinggalkan, mengumpulkannya dalam jambangan
kesedihan yang sudah aku persiapkan dari awal.
Pertunjukan yang aku gelar lebih cocok disebut pentas
monolog. Hanya aku yang berbicara karena kebanyakan dari mereka justru tidak
bersuara. Datang hanya untuk mengotori hati dengan sebuah pengharapan semu yang
justru menyisakan kepedihan baru. Menyisakan jejak air mata. Tapi aku tetap
melakonkan cerita yang memang harus terus dimainkan, seperti takdir yang tidak
bisa dihadang atau ditanggalkan. Aku terus berlakon, tidak peduli dengan mereka
yang mulanya nyata kemudian berubah dusta.
Kusiapkan kursi spesial di jajaran paling depan. Berharap
bahwa akan ada yang teristimewa yang menempatinya nanti, karena sampai saat ini
belum ada yang berani. Kursi yang sunyi karena lebih sering diduduki sepi.
Kursi yang berdebu karena banyak dihinggapi ragu.
Ada yang salah dengan aku. Ada yang salah dengan pertunjukan
yang sudah sekian lama dimainkan. Sedemikian jujur aku mengejawantahkan hati,
tapi tidak pernah ada yang datang mendekati. Sebegitu lugas semua rasa aku
gagas, tapi tidak ada yang kemudian datang bergegas. Ada yang salah dengan aku.
Ada yang salah dengan doa yang sudah sekian lama aku rapal dalam diam. Aku
hanya tidak tahu sehingga aku hanya terbelenggu bisu.
Sedemikian tidak layaknyakah aku untuk sekedar dicintai?
Disayangi tanpa syarat yang membelenggu imaji? Aku tahu, pasti ada yang salah
dengan aku meski aku tidak tahu apa itu. Mungkin takdir dari pertunjukan yang
sudah lama digelar memang hanya ilusi. Mimpi yang tidak akan pernah bertemu
dengan apa yang dicari. Mimpi yang akan terus bergelung sebagai mimpi tanpa
realisasi.
Di akhir pertunjukan kali ini, sebuah pertanyaan akan
kembali ditabuh hingga gaduh. Sedemikian tidak layaknyakah aku untuk dicintai?
2 komentar:
karena cinta barang mahal. menunggunya datang tidak seperti menunggu Zara diskon yang hampir pasti kapan waktunya. ;)
@dewi srikandi : terima kasih sudah berkunjung teman. Salam kenal :))
Posting Komentar